Hari Santri Nasional; momentum persatuan bukan perpecahan

Unknown Reply 05.46
Hari santri nasional bukan sekedar janji politik rezim Jokowi, melainkan bentuk penghormatan terhadap perjuangan santri dalam kemerdekaan republik tercinta. Setidaknya kalimat awal tersebut yang harus kita fahami atas kebijakan pemerintah dalam menetapkan 22 oktober sebagai hari santri nasional dengan landasan resolusi Jihad. Akhir-akhir ini banyak beredar pemikiran pro-kontra yang dilontarkan lewat tulisan baik dimedia masa maupun sosial media. Agaknya persingungan pemikiran pro-kontra hari santri berbau politis dan ideologis. Pasalnya kelompok pro mayoritas adalah warga nahdliyin, kelompok yang kontra diwakili oleh ormas Muhammadiyah. Kedua kelompok organisasi kemasyarakatan besar di Indonesia dengan paradigma dan tradisi yang berbeda ini seakan beradu hujjah dan fatwa. Melegitimasikan kebenaran dengan kepentingan masing-masing.
NU yang akrab dengan tradisi pesantren tentunya dengan penuh gegap gempita menyambut kebijakan yang dinilai sangat apresiatif terhadap kelompok pesantren terkhusus santri. Muhammadiyah organisasi pembaharuan dengan basis modernisasi pendidikan pula secara wajar menilai ketimpangan yang terjadi dalam penetapan hari santri nasional. Banyak dari kalangan Muhammadiyah yang kurang setuju dikarenakan hari santri urgensinya perlu dipertanyakan, dan terkesan hanya pemenuhan janji politik atas rezim Jokowi-Jk. 
Penolakan atas hari santri Nasional diungkapkan secara terang oleh ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir organisasi Muhammadiyah menolak Hari Santri Nasional. “Semangat Muhammadiyah itu semangat ukhuwah yang lebih luas di tubuh umat Islam, agar umat utuh, tidak terkotak-kotak pada kategorisasi santri dan non-santri,” ucapnya setelah membuka Tanwir II Nasyatul Aisyiyah di Bandung, Kamis, 15 Oktober 2015. Sedangkan landasan filosofis usulan Said Aqil Siroj selaku ketua umum PBNU bahwa "Resolusi jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan sebagai sebuah negara dan bangsa". 
Bila wacana hari santri hanya difahami sebagai dikotomisasi dan penghususan pada kelompok tertentu dengan nomanklato santri. Perlu kita fahami bahwa istilah pengklasifikasian antara kelompok muslim di Indonesia dimulai dari hasil penelitian Cliford Greatz dalam bukunya "the relegion of java", Greatz membedakan antara kelompok santri, abangan, dan priyayi. Tesis klasifikasi oleh Greatz telah tertanam dalam alam bawah sadar muslim indonesia dalam memandang kelompok muslim tertentu. Namun seiring berkembangnya zaman semakin banyak generasi muslim yang sadar akan peranan dan fungsi pada masing-masing kelompok dalam andil hubungan keagamaan dan kebangsaan.
Harapan saya pribadi sebagai santri bahwa penetapan hari santri nasional jangan dipandang dari sudut pandang politis semata. Namun hari santri nasional adalah milik kita semua sebagai satu bangsa dan negara. Dalam tradisi penulisukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah yang harus terus diruwat. Bukankah perjalanan panjang kita sebagai satu bangsa penuh akan keragaman. Namun ditangan para pemimpin-pemimpin bangsa keragaman tersebut disulap sebagai kekuatan dengan saling menghormati dan tradisi toleransi.
berkembang, penulis mengenal
Kita harus terus belajar dari seorang Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Soekarno dan Abdurahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Bahwa semangat persatuan harus diutamakan, diatas keberagaman. Baik kelompok Muhammadiyah maupun Nahdlotul Ulama' momentum hari santri nasional adalah momentum persatuan bukan momentum saling berebut eksistensi organ. Mari saling berjabat tangan dan menebar kasih sayang. Kaum santri wajib hukumnya untuk merefleksikan perjuangan dan semangat resolusi jihad pada konteks kekinian, dan non-santri wajib pula hukumnya untuk menghormati dan mensuport atas kemajuan peradaban bangsa. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarah bangsanya dan pahlawanya.?
Gitu aja kok repot.!
Malang, 18/10/2015

Related Posts

Artikel 1670322244004782283

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut