Hari Santri Nasional; momentum persatuan bukan perpecahan
Hari santri nasional bukan sekedar janji politik rezim Jokowi, melainkan
bentuk penghormatan terhadap perjuangan santri dalam kemerdekaan
republik tercinta. Setidaknya kalimat awal tersebut yang harus kita
fahami atas kebijakan pemerintah dalam menetapkan 22 oktober sebagai
hari santri nasional dengan landasan resolusi Jihad. Akhir-akhir ini
banyak beredar pemikiran pro-kontra yang dilontarkan lewat tulisan baik
dimedia masa maupun sosial media. Agaknya persingungan pemikiran
pro-kontra hari santri berbau politis dan ideologis. Pasalnya kelompok
pro mayoritas adalah warga nahdliyin, kelompok yang kontra diwakili oleh
ormas Muhammadiyah. Kedua kelompok organisasi kemasyarakatan besar di
Indonesia dengan paradigma dan tradisi yang berbeda ini seakan beradu hujjah dan fatwa. Melegitimasikan kebenaran dengan kepentingan masing-masing.
NU yang akrab dengan tradisi pesantren tentunya dengan penuh gegap
gempita menyambut kebijakan yang dinilai sangat apresiatif terhadap
kelompok pesantren terkhusus santri. Muhammadiyah organisasi pembaharuan
dengan basis modernisasi pendidikan pula secara wajar menilai
ketimpangan yang terjadi dalam penetapan hari santri nasional. Banyak
dari kalangan Muhammadiyah yang kurang setuju dikarenakan hari santri
urgensinya perlu dipertanyakan, dan terkesan hanya pemenuhan janji
politik atas rezim Jokowi-Jk.
Penolakan atas hari santri Nasional diungkapkan secara terang oleh ketua
Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir organisasi Muhammadiyah
menolak Hari Santri Nasional. “Semangat Muhammadiyah itu semangat
ukhuwah yang lebih luas di tubuh umat Islam, agar umat utuh, tidak
terkotak-kotak pada kategorisasi santri dan non-santri,” ucapnya setelah
membuka Tanwir II Nasyatul Aisyiyah di Bandung, Kamis, 15 Oktober 2015.
Sedangkan landasan filosofis usulan Said Aqil Siroj selaku ketua umum
PBNU bahwa "Resolusi jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan sebagai sebuah negara dan bangsa".
Bila wacana hari santri hanya difahami sebagai dikotomisasi dan
penghususan pada kelompok tertentu dengan nomanklato santri. Perlu kita
fahami bahwa istilah pengklasifikasian antara kelompok muslim di
Indonesia dimulai dari hasil penelitian Cliford Greatz dalam bukunya "the relegion of java",
Greatz membedakan antara kelompok santri, abangan, dan priyayi. Tesis
klasifikasi oleh Greatz telah tertanam dalam alam bawah sadar muslim
indonesia dalam memandang kelompok muslim tertentu. Namun seiring
berkembangnya zaman semakin banyak generasi muslim yang sadar akan
peranan dan fungsi pada masing-masing kelompok dalam andil hubungan
keagamaan dan kebangsaan.
Harapan saya pribadi sebagai santri bahwa penetapan hari santri nasional
jangan dipandang dari sudut pandang politis semata. Namun hari santri
nasional adalah milik kita semua sebagai satu bangsa dan negara. Dalam
tradisi penulisukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah
yang harus terus diruwat. Bukankah perjalanan panjang kita sebagai satu
bangsa penuh akan keragaman. Namun ditangan para pemimpin-pemimpin
bangsa keragaman tersebut disulap sebagai kekuatan dengan saling
menghormati dan tradisi toleransi.
berkembang, penulis mengenal
Kita harus terus belajar dari seorang Nelson Mandela, Mahatma Gandhi,
Soekarno dan Abdurahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Bahwa semangat persatuan
harus diutamakan, diatas keberagaman. Baik kelompok Muhammadiyah maupun
Nahdlotul Ulama' momentum hari santri nasional adalah momentum persatuan
bukan momentum saling berebut eksistensi organ. Mari saling berjabat
tangan dan menebar kasih sayang. Kaum santri wajib hukumnya untuk
merefleksikan perjuangan dan semangat resolusi jihad pada konteks
kekinian, dan non-santri wajib pula hukumnya untuk menghormati dan
mensuport atas kemajuan peradaban bangsa. Bukankah bangsa yang besar
adalah bangsa yang menghormati sejarah bangsanya dan pahlawanya.?
Gitu aja kok repot.!
Malang, 18/10/2015
Posting Komentar