‘Agama’ Balsem
Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan
dibekali nafu ilahiyah (Naluri ketuhanan). Maka wajar kiranya nenek
moyang kita di Indonesia dahulunya adalah penganut kapitayan. Menyembah
batu/pohon yang diyakini menyimpan kekuatan suprastruktur, sebelum datang
saudagar dari timur tengah maupun imperialis eropa yang mengenalkan apa itu
Tuhan dan Agama. Naluri ketuhanan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an lewat kisah
Ibrahim yang bergulat dengan pencarian Tuhan. Besarnya pengaruh naluri
ke-Tuhanan manusia juga dibuktikan oleh ilmuan barat Wilhelm Schmidt dalam The
Origin of the Idea of God, Sebagaimana yang dikutip oleh Karen Amstrong
dalam bukunya History of God. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu
monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa/tuhan.
Sejarah panjang Agama di dunia bukan
hanya diwarnai oleh doktrin ajaran semata. Atmosfer dan konteks sejarah
keagamaan pula disertai dengan berkembangnya politik dan kebudayaan. Dua hal
tersebut juga turut serta menopang eksistensi Agama sebagai doktrin maupun
wacana. Dalam Islam sendiri Ad-diin oleh kalangan ulama’ diartikan
sebagai Agama. Belakangan ini makna Ad-diin oleh pemikir kontemporer
diartikan sebuah proses, kepasrahan, penyerahan diri.
Fungsi Agama terhadap umatnya sangat
banyak. Tergantung bagaimana cara kita memahami ajaran Agama dan
kontekstualisasinya dalam kehidupan sosial. Namun yang paling menonjol adalah
pengayoman terhadap umat. Agama dengan kaum agamawanya memberikan narasi-narasi
indah nan menenangkan hati disaat para umat gelisah akan persoalan dunia. Maka
wajar kiranya penuturan Karl Marx mengenai Agama sebagai sebuah opium bagi
penganutnya. Fungsi Agama disini layaknya balsem, yang hanya menenangkan untuk
sesaat.
Sayangnya di Indonesia wacana-wacana
Islam progressif kurang mendapat sambutan hangat oleh elite Agamawan. Mereka
cenderung mendengungkan narasi sufistik dan praktik suluk ketimbang harus
berdialog dan memperjuangkan hal ikhwal duniawi. Semangat Agama dalam seruan memperjuangkan
perlawanan terhadap ketimpangan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan semuanya
terdapat dalam sendi setiap Agama. Namun sendi-sendi progressif seakan
tercerabut dengan dominasi praktik keagamaan yang ‘normatif’ (Hanya mengejar
kehidupan akherat). Persoalan minimnya pengetahuan dikalangan umat beragama
pula sebagai faktor utama.
Waba’du. Stabilitas dalam beragama antara
proggresifitas dan spiritualitas (ubudiyah) harus dinamis dan saling
melengkapi. Keduanya merupakan point penting dalam memahami dan implementasi
nilai-nilai ajaran Agama. Antara kelompok pecinta suluk dan ulama’ proggresif
harus mampu menjadi gas dan rem dalam Agama. Seperti yang dikatakan Gus Dur
jika yang dominan hanya remnya saja maka Agama tidak akan bergerak, begitu juga
sebaliknya jika yang dominan hanya gasnya maka Agama akan kebablasan. Semoga
pemahaman dan praktik keagamaan kita tidak seperti fungsi balsem yang hanya
menenangkan untuk sesaat. Wallahu A’lam.
Malang-21-10-2015
1 komentar
ayok bersama menjadi beragama yang progresive
Posting Komentar