‘Agama’ Balsem

Unknown 1 21.39



Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali nafu ilahiyah (Naluri ketuhanan). Maka wajar kiranya nenek moyang kita di Indonesia dahulunya adalah penganut kapitayan. Menyembah batu/pohon yang diyakini menyimpan kekuatan suprastruktur, sebelum datang saudagar dari timur tengah maupun imperialis eropa yang mengenalkan apa itu Tuhan dan Agama. Naluri ketuhanan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an lewat kisah Ibrahim yang bergulat dengan pencarian Tuhan. Besarnya pengaruh naluri ke-Tuhanan manusia juga dibuktikan oleh ilmuan barat Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, Sebagaimana yang dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya History of God. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa/tuhan.

Sejarah panjang Agama di dunia bukan hanya diwarnai oleh doktrin ajaran semata. Atmosfer dan konteks sejarah keagamaan pula disertai dengan berkembangnya politik dan kebudayaan. Dua hal tersebut juga turut serta menopang eksistensi Agama sebagai doktrin maupun wacana. Dalam Islam sendiri Ad-diin oleh kalangan ulama’ diartikan sebagai Agama. Belakangan ini makna Ad-diin oleh pemikir kontemporer diartikan sebuah proses, kepasrahan, penyerahan diri.

Fungsi Agama terhadap umatnya sangat banyak. Tergantung bagaimana cara kita memahami ajaran Agama dan kontekstualisasinya dalam kehidupan sosial. Namun yang paling menonjol adalah pengayoman terhadap umat. Agama dengan kaum agamawanya memberikan narasi-narasi indah nan menenangkan hati disaat para umat gelisah akan persoalan dunia. Maka wajar kiranya penuturan Karl Marx mengenai Agama sebagai sebuah opium bagi penganutnya. Fungsi Agama disini layaknya balsem, yang hanya menenangkan untuk sesaat. 

Sayangnya di Indonesia wacana-wacana Islam progressif kurang mendapat sambutan hangat oleh elite Agamawan. Mereka cenderung mendengungkan narasi sufistik dan praktik suluk ketimbang harus berdialog dan memperjuangkan hal ikhwal duniawi. Semangat Agama dalam seruan memperjuangkan perlawanan terhadap ketimpangan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan semuanya terdapat dalam sendi setiap Agama. Namun sendi-sendi progressif seakan tercerabut dengan dominasi praktik keagamaan yang ‘normatif’ (Hanya mengejar kehidupan akherat). Persoalan minimnya pengetahuan dikalangan umat beragama pula sebagai faktor utama. 

Waba’du. Stabilitas dalam beragama antara proggresifitas dan spiritualitas (ubudiyah) harus dinamis dan saling melengkapi. Keduanya merupakan point penting dalam memahami dan implementasi nilai-nilai ajaran Agama. Antara kelompok pecinta suluk dan ulama’ proggresif harus mampu menjadi gas dan rem dalam Agama. Seperti yang dikatakan Gus Dur jika yang dominan hanya remnya saja maka Agama tidak akan bergerak, begitu juga sebaliknya jika yang dominan hanya gasnya maka Agama akan kebablasan. Semoga pemahaman dan praktik keagamaan kita tidak seperti fungsi balsem yang hanya menenangkan untuk sesaat. Wallahu A’lam.
Malang-21-10-2015

Related Posts

Artikel 6172317296935199175

1 komentar

ayok bersama menjadi beragama yang progresive

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut