Pak Raden; Politik kebudayaan melawan arus global

Unknown Reply 21.26
Dunia kesenian Indonesia telah dirundung duka setelah Drs.Suyadi telah dipanggil keharibaan-Nya. Siapa yang tidak mengenal sosok Pak Raden, namanya begitu familiar terutama pada generasi 90-an setelah sukses mengenalkan dongeng bergambar dan perintis acara mendidik 'si Unyil'. Dengan tampilan priyayi dan kumis tebal bak Hos.Tjokroaminoto pak raden menghibur dan mendidik kita bagaimana cara menghargai budaya serta pentingnya nation and carakter building.

Pria lulusan seni rupa ITB tersebut sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter generasi bangsa. kepiawianya dalam mendidik lewat dongen dan ilustrasi gambar menjadikanya sosok yang tidak tergantikan dihati anak-anak. Peranan Pak Raden dalam mendidik lewat dongeng adalah karakter kebudayaan pendidikan bangsa kita. Betapa dongeng dapat menjadi mediator dalam menanamkan budi pekerti yang luhur terhadap anak-anak ditengah gencarnya arus global. konsistensi serta prinsip ini yang menjadikan Pak Raden sebagai legenda bangsa Indonesia dalam bidang kesenian dan pendidikan dengan mengangkat tema-tema kearifan lokal.

Sosok Pak Raden adalah potret dimana budaya mengapresiasi kita sebagai suatu bangsa sangatlah minim terhadap aset-aset kekayaan budaya lokal. Diakhir usianya Pak Raden hidup ditengah kesederhanaan bahkan bisa dikatakan menengah kebawah. Tidak ada harta yang ditinggalkan oleh beliau selain karya-karya beliau baik lukisan maupun karakter tokoh si unyil. Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok beliau, terutama konsistensinya dan keuletanya dalam mendidik anak-anak. Karena pada fase dini merupakan masa yang tepat dalam pembentukan karakter serta kepribadian generasi bangsa untuk perubahan Indonesia, terutama ditengah kerasnya benturan kebudayaan yang hilir mudik mengerus kebudayaan bangsa kita. Dogeng dan ilustrasi gambar adalah gambaran kecil dari kearifan lokal bangsa kita untuk terus dipertahankan.Pak Raden telah membuktikan sampai akhir hayatnya bahwa keuletan dan semangat yang tinggi dalam menjaga dan menularkan kearifan lokal adalah cara melawan arus globalisasi yang sulit terbendung.

Bagi Weber, sistem kebudayaan adalah otonom. Ia berevolusi sendiri tanpa terpengaruh oleh yang lain. Namun penulis lebih sepakat pada tesis Antonio Gramsci bahwa faktor politik turut serta mempengaruhi gerak kebudayaan global dan antara kebudayaan satu dan yang lain dapat berbentur dan saling mempengaruhi. Maka tugas kita hari ini adalah meruwat benar-benar semangat Pak Raden dan para seniman penjaga kearifan lokal yang lain dalam melestarikan dan mengajarkan keakayaan budaya kita pada generasi bangsa.

Selamat jalan Pak Raden, terimakasih telah mewarnai masa kecil kami.

Gus Dur tidak perlu ‘dibela’

Unknown Reply 00.44



KH. Abdurrahman Wahid, tokoh ini menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat peran Gus Dur dalam reformasi tahun 1998. Konsistensi Gus Dur dan keberpihakanya kepada rakyat merupakan faktor penting yang mengantarkan beliau pada kursi kepresidenan. Gus Dur menjadi tokoh penting yang harus dikenal oleh generasi bangsa baik lewat pemikiran maupun tindakan. Mengenalkan Gus Dur pada generasi pasca reformasi adalah hal yang ‘susah-susah mudah’. Tingkat kesusahanya karena pengaruh global terhadap lingkungan indifidualistik, tradisi konsumeris dan budaya hedonisme yang menjangkit kawula muda anak bangsa. Namun kita juga harus bersyukur karena literatur tentang Gus Dur semakin banyak kita jumpai baik berbentuk hasil riset maupun fiksi, sehingga mempermudah akses generasi bangsa mengenal lebih dekat sosok beliau.

Membaca Gus Dur seakan tidak pernah lepas dari kontrofersi. Pemikiran dan tindakan beliau sering kali dianggap ‘nyeleneh’ baik bagi warga Nahdliyin maupun masyarakat luas. Kecintaan Gus Dur terhadap sesama manusia beliau tunjukan dengan aksi pembelaan terhadap kaum minoritas dan mustad‘afin. Dengan segala resiko Gus Dur seakan tidak perduli atas cercaan dan pandangan negatif dari penilaian publik. Gus Dur seakan mengajarkan kepada kita semua bahwa kemanusiaan tidak mengenal kelas. 

Lingkungan pesantren dan keluarga juga mempengaruhi aspek spiritualitas Gus Dur. Nur Khalik Ridwan penulis Suluk Gus Dur menjelaskan secara detil laku sufistik seorang Abdurrahman seperti Sholat malam, Dzikir langgeng, sabar, syukur, memaafkan, tawakal ,qona’ah, cinta kasih sayang, berziarah dan bersholawat. Laku sufisme Gus Dur inilah merupakan faktor tresenden yang membuat Gus Dur tidak pernah takut dimata manusia dan dicintai sesama manusia. 

Kebesaran Gus Dur tidak pernah terkurang meski banyak cercaan dan pendzoliman terhadap beliau. Terbukti setelah beliau wafat orang berduyun-duyun datang hilir mudik menziarahi makam beliau. Baik masyarakat sipil, politisi, budayawan, agamawan. Apapun jabatanya, rasnya, agamanya mereka datang kepada Gus Dur sebagai ‘manusia’ seperti halnya Gus Dur yang selalu membela sesamanya atas dasar kemanusiaan.

Gus Dur sendiri tidak pernah melakukan pembelaan terhadap dirinya atas tindakan dan pikiran beliau yang dinilai kontrofersial. Membiarkan sejarah yang akan berbicara siapa yang benar dan siapa yang salah. Selagi tidak melanggar perintah dan larangan-Nya kenapa kita harus takut salah dimata manusia.? Gitu Aja kok repot. 

Betapa penting meneladani sosok Gus Dur. Dan mendemonstrasikan nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, keksatriyaan, dan menghargai kearifan lokal. Implementasi dan kontekstualisasi adalah kunci dari nilai-nilai diatas sebagai fondasi untuk menjadi umat yang bhineka namun tetap ‘ika’ dalam harmoni. Maka Gus Dur tidak pernah ‘mati’ dan akan selalu membela kaum lemah tanpa menuntut dan perlu untuk dibela. Wallahu A’lam.

Malang-30-10-2015.

'Menjual' Gus Dur

Unknown Reply 23.26
Tradisi mengagumi tokoh dapat dikapitalisasi dalam mendapat pundi-pundi rizqi. Hal ini banyak dilakukan oleh kecenderungan manusia abad 21. Termasuk eksistensi dan pengaruh tokoh dapat dilihat dari seberapa besar tokoh tersebut dikomersilkan oleh pengagumnya. Contoh sederhana sudah berapa exlemprar buku dan marchindise tentang Soekarno di Indonesia.?

Namun tokoh yang ingin penulis bahas kali ini adalah Gus Dur. Berawal saat menikmati kopi dengan teman-teman Gusdurian. Terdapat inisiatif dalam rangka menyebarluaskan Gus Dur dan pemikiranya lewat menjual buku-buku beliau, dan marchindise yang inspiring bagi pengagum beliau. Agenda menjual Gus Dur ini bukanlah kali pertama digagas oleh teman-teman Gusdurian. Sudah berapa banyak para penulis dan industri konveksi yang mendapat rizki dari agenda tersebut. Bila dipandang dari segi positif akan nampak betapa Gus Dur bukan hanya memberi manfaat bagi masyarakat semasa beliau hidup saja, namun pasca kematian beliau pun masih memberi maslahat bagi masyarakat luas. Dilihat dari jumlah pedagang di kompleks pemakaman Tebuireng yang tidak terhitung jumlahnya, mereka bak ketiban berkah dari kebesaran pengaruh dan kharisma sang Guru bangsa.

Istilah menjual Gus Dur mungkin dinilai kurang etis bila dilihat dari segi etika. Namun apalah makna sebuah istilah jika niatan yang baik menyertainya. Bagi saya pribadi, para 'penjual' Gus Dur ibarat santri yang mengharap barokah dari kyainya. Tentunya niatan yang baik dan hasil rizki yang ditasharufkan dijalan yang benar adalah pelengkap keberkahan.
Upaya teman-teman Gusdurian dalam mengumpulkan hasil tulisan tentang 9 nilai Gus Dur dari beragam prespektif adalah bentuk kontribusi peluasan khazanah pemikiran dan ranah praktik dalam meneladani Gus Dur.

'Menjual' Gus Dur bukanlah sekedar mencari pundi-pundi rupiah dengan menjadikan Gus Dur sebagai obyek jualan, Seperti industri kapital berjalan. Namun project ini bukan sekedar berdalih tanpi arti. Proyeksi akan concernt dalam menyebarluaskan pemikiran Gus Dur  dan hasilnya sebagai fondasi finansial organ. Semangat kemandirian ini yang harus dipupuk dan dikembangkan dalam strategi-strategi kreatif, inofatif dan memberi kemanfaatan bersama. Tanpa harus meniru kerja kapitalisme bukan.?
Gitu aja kok repot
Malang-26-10-2015

Menulis itu 'Tidak' Penting

Unknown Reply 03.35
Catatan ini tentang pergulatan diri dengan keinginan-keinginan yang melangit. Sudah terlalu banyak para penulis dan motifator membual tentang pentingnya menulis. Apa yang kau banggakan dengan budaya menulis jika tanpa dibarengi dengan semangat berbagi?

Pramoedya mengatakan bahwa menulis adalah kerja keabadian. Tapi apalah guna menulis jika untuk mengabadikan tulisan saja kita tidak berani. Orang tidak akan mengenal Pram jika buku-buku dan karya tulisnya tidak dipublikasi. Maka keberanian menulis tanpa dibarengi dengan keberanian membagikan hasil tulisanya adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu.

Berdialektika dengan tulisan memang bukanlah hal yang mudah. namun sering kali para penulis mengalami fase keraguan dalam membagikan tulisan baik lewat sosial media, terlebih mengabadikan dalam bentuk karya buku. Kegiatan menulis akan menjadi penting jika keberanian menulis diseimbangkan dengan tradisi membagikan dan mengabadikan tulisan.

Agus Noor seorang sastrawan kontemporer dalam diskusinya semalam seolah membuat down para penulis pemula. Beliau mengatakan bahwa kecenderungan dunia sastra hari ini banyak yang mengangkat kisah-kisah yang kurang penting dengan gaya bahasa yang minus estetik. Menurut saya bagaimanapun suatu tulisan atau hasil karya baik sastra maupun tulisan artikel, essay bahkan penelitian. Mempunyai porsi dan bobot tersendiri dalam dunia kepenulisan. Apapun tulisanya jika sang penulis berani membagikan dan mengabadikan menjadi karya buku adalah keberanian tersendiri yang perlu untuk diapresiasi.

Maka point penting dari catatan tidak penting ini adalah yang lebih penting dari tradisi menulis adalah tradisi mengabadikan tulisan. Sejarah dan peradaban tidak akan terbangun jika para masyarakatnya kurang berani mengabadikan tulisan dalam bentuk karya. karena dari dunia literaturlah suatu bangsa dapat dinilai keberadaban dan kemajuan peradabanya. Lewat kekayaan yang direkam lewat tulisan. Selamat berkarya.

Senja Bersujud.

Kedai Kopi Kriwul
Malang. 24-10-2015


Selamat Hari 'Nyantri' ; Memoar dari Gresik

Unknown Reply 01.39



Dunia Pesantren meninggalkan banyak kenangan. Pada bilik-bilik pesantrenlah para santri mengantungkan asah, cita dan cintanya. Dalam tradisi saling asah, asih dan asuh. Tidak terhitung jumlahnya para agamawan, negarawan, ilmuwan jebolan pesantren. Tidaklah berlebihan jika pesantren sebagai instansi pendidikan tertua di Indonesia harus kita akui perananya dalam andil pembangunan peradaban bangsa.

22 Oktober telah resmi diperingati sebagai hari santri Nasional. Beragam kegiatan dihelat untuk memeriahkan hari santi Nasional dari beragam elemen dan organisasi masyarakat. Penulis hanya bisa merefleksikan semangat hari santri dengan kolom sederhana ini sebagai dedikasi untuk seluruh santri di belahan negeri dan para guru tercinta.

Secara kebetulan saya dilahirkan pada lingkungan dan tradisi pesantren. Orang tua dan pendahulu saya semuanya dibesarkan dan ditempa dalam tradisi yang sama. Kurang lebih 8 tahun masa kecil saya hingga remaja saya habiskan untuk menimba ilmu di pondok pesantren asuhan KH. Masbuhin Faqih Suci, Manyar, Gresik. Tradisi integrasi pesantren salaf dan modern di Mambaus Sholihin telah mengajarkanku banyak hal tentang bagaimana menghargai tradisi klasik dan menerima hal baru yang baik. Di pesantren saya dikenalkan dengan hukum fiqih berhaluan 4 madzhab sebagaimana pesantren NU lainya. Bahkan nama-nama besar imam madzhab di pesantren dijadikan nama marhala/mabna pada masing-masing asrama santri putra sehingga para santri diajarkan untuk terbiasa menerima perbedaan dan saling menghormati.

KH. Masbuhin Faqih adalah sosok inspiratif bagi para santrinya. Sebagai seorang kyai besar Hadratus syaikh mengajarkan bagaimana untuk tetap rendah hati dan rendah diri pada siapapun lebih-lebih pada para guru
. Pelajaran kitab kuning adalah pelajaran literatur yang mengedepankan teori. Laku seorang kyai di pesantren adalah teladan dan pelajaran berarti bagi para santri. Setiap senja menjelang maghrib tiba, hobi saya adalah menunggu sang kyai datang dengan mengayuh speda tuanya dari dalem asrama putri yang berseberangan dengan asrama putra. Bagi saya pribadi romansa ngaji bersama beliau adalah kenangan indah yang ingin selalu terulang. Kiyasan-kiyasan renyah dari penjelasan kitab kuning yang rumit untuk difahami adalah karakter beliau dalam mengajar.

Sampai saat ini pesan beliau yang paling saya kenang adalah "Tidak ada mantan Santri dan Kyai". Betapa hubungan batiniah telah mengalahkan status legal formal lainya. Selamat hari Nyantri bagi kita semua sebagai satu bangsa. Bahwa semangat resolusi jihad dengan terus belajar melawan kebodohan dan terus menyampaikan kebenaran lewat halaqoh/forum ilmu adalah tradisi dari para leluhur dan guru-guru kita ajarkan terhadap kita semua.
Hari santri bukan milik NU, maupun Muhamadiyah. Hari santri adalah milik kita sebagai bangsa yang beradab dan menghormati sejarah.
Selamat Hari Nyantri Kang.!

Malang-22-10-2015
Dedikasi Hadratus syaikh KH. Masbuhin Faqih semoga Allah memberikan kesehatan dan umur yang barokah. Amin.

UIN sandang nama perpustakaan Gus Dur. Pantaskah (?)

Unknown Reply 05.59
Nama Gus Dur memang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Nama Gus Dur juga masuk dalam rentetan tokoh besar dunia lainya. Di kampus saya kebesaran nama Gus Dur diabadikan dalam salah satu gedung penting dalam lingkungan kampus, yakni perpustakaan KH. Abdurrahman Wahid. Sejak 2011 silam nama besar Gus Dur resmi menjadi nama besar perpustakaan kampus UIN Malang. Namun hingga kini selama saya menuntut ilmu di UIN dan mengunjungi perpustakaan UIN belum saya temukan semangat dan karakter Gus Dur baik dilingkungan kampus maupun perpus.

Inisiatif memberi nama Gus Dur sebagai nama gedung di UIN selain sebagai tradisi yang ditancapkan oleh mantan rektor Prof. Imam Suprayogo dalam mengabadikan nama-nama mantan presiden republik Indonesia pada bangunan gedung di UIN Malang. Penamaan Abdurrahman Wahid menyimpan harapan dan impian besar.

Pada saat peresmian nama gedung dihadiri langsung oleh bu Shinta Nuriyah beliau berharap Gagasan menjadikan nama Gus Dur sebagai nama perpustakaan ini, semoga mampu menjadi obor yang menjadi sumber penerangan, inspirasi dan juga energi bagi ilmu pengetahuan dan pemikiran agama. Tidak hanya itu semangat meneladani Gus Dur juga semoga dapat terbangun pada mahasiswa UIN Malang.

Hingga hari ini harapan itu nampaknya belum terlihat hadir bila kita melihat aktivitas dan kualitas perpustakaan UIN Malang. Semangat Gus Dur salah satunya dapat dipelajari lewat karya-karya beliau semasa hidup. Namun di perpustakaan Gus Dur sayangnya sangat minim literatur otentik karya Gus Dur. Hal ini menjadi klise antara harapan besar dibalik nama Gus Dur dan kenyataan ketersediaan literatur karya beliau. Kita juga mengenal sosok Gus Dur lewat semangat membacanya yang tinggi. Sangat disayangkan dari ribuan mahasiswa UIN Malang yang melewatkan untuk sekedar mampir membaca diluar tugas kuliah sangat minim. Apalagi dalam konteks membudayakan tradisi membaca dan menulis dikalangan mahasiswa jika para dosenya saja krisis teladan. Sosok Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang membebaskan baik dalam konteks kemanusiaan maupun keilmuan. Sayangnya lagi, buku-buku di perpustakaan Gus Dur terbatas pada batasan ideologi yang terbilang 'normatif' dikalangan mahasiswa PTAIN. Buku-buku di perpustakaan juga kurang up to date dalam mengikuti perkembangan keilmuan, sangat kontra spirit sosok Gus Dur yang reformis dalam hal pengetahuan. Terlebih eksklusifisme pemikiran para dosen UIN Malang dalam menerima perkembangan wacana yang berseberangan dengan ideologi masing-masing.

Maka dengan beberapa hal yang kurang ideal diatas adalah sebuah tanda tanya besar atas nama Gus Dur di perpustakaan UIN Malang. Apakah hanya sekedar formalitas karena Gus Dur mantan presiden ataukah hanya sekedar numpang keren tanpa sebuah nilai yang membekas dalam aktivitas sosial dan pembelajaran di UIN Malang. Itu semua bukanlah tugas rektor atau pejabat kampus lainya. Semuanya adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada kata terlambat dalam melakukan perubahan sosial jika kesadaran kolektif terbangun dan saling bahu membahu membenahi diri kita dan lingkungan kita. Bukankah itu yang diajarkan Gus Dur pada kita masyarakat Indonesia.?
Wallahu A'lam.

Malang-21-10-2015
Kriwul coffee

‘Agama’ Balsem

Unknown 1 21.39



Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali nafu ilahiyah (Naluri ketuhanan). Maka wajar kiranya nenek moyang kita di Indonesia dahulunya adalah penganut kapitayan. Menyembah batu/pohon yang diyakini menyimpan kekuatan suprastruktur, sebelum datang saudagar dari timur tengah maupun imperialis eropa yang mengenalkan apa itu Tuhan dan Agama. Naluri ketuhanan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an lewat kisah Ibrahim yang bergulat dengan pencarian Tuhan. Besarnya pengaruh naluri ke-Tuhanan manusia juga dibuktikan oleh ilmuan barat Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, Sebagaimana yang dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya History of God. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa/tuhan.

Sejarah panjang Agama di dunia bukan hanya diwarnai oleh doktrin ajaran semata. Atmosfer dan konteks sejarah keagamaan pula disertai dengan berkembangnya politik dan kebudayaan. Dua hal tersebut juga turut serta menopang eksistensi Agama sebagai doktrin maupun wacana. Dalam Islam sendiri Ad-diin oleh kalangan ulama’ diartikan sebagai Agama. Belakangan ini makna Ad-diin oleh pemikir kontemporer diartikan sebuah proses, kepasrahan, penyerahan diri.

Fungsi Agama terhadap umatnya sangat banyak. Tergantung bagaimana cara kita memahami ajaran Agama dan kontekstualisasinya dalam kehidupan sosial. Namun yang paling menonjol adalah pengayoman terhadap umat. Agama dengan kaum agamawanya memberikan narasi-narasi indah nan menenangkan hati disaat para umat gelisah akan persoalan dunia. Maka wajar kiranya penuturan Karl Marx mengenai Agama sebagai sebuah opium bagi penganutnya. Fungsi Agama disini layaknya balsem, yang hanya menenangkan untuk sesaat. 

Sayangnya di Indonesia wacana-wacana Islam progressif kurang mendapat sambutan hangat oleh elite Agamawan. Mereka cenderung mendengungkan narasi sufistik dan praktik suluk ketimbang harus berdialog dan memperjuangkan hal ikhwal duniawi. Semangat Agama dalam seruan memperjuangkan perlawanan terhadap ketimpangan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan semuanya terdapat dalam sendi setiap Agama. Namun sendi-sendi progressif seakan tercerabut dengan dominasi praktik keagamaan yang ‘normatif’ (Hanya mengejar kehidupan akherat). Persoalan minimnya pengetahuan dikalangan umat beragama pula sebagai faktor utama. 

Waba’du. Stabilitas dalam beragama antara proggresifitas dan spiritualitas (ubudiyah) harus dinamis dan saling melengkapi. Keduanya merupakan point penting dalam memahami dan implementasi nilai-nilai ajaran Agama. Antara kelompok pecinta suluk dan ulama’ proggresif harus mampu menjadi gas dan rem dalam Agama. Seperti yang dikatakan Gus Dur jika yang dominan hanya remnya saja maka Agama tidak akan bergerak, begitu juga sebaliknya jika yang dominan hanya gasnya maka Agama akan kebablasan. Semoga pemahaman dan praktik keagamaan kita tidak seperti fungsi balsem yang hanya menenangkan untuk sesaat. Wallahu A’lam.
Malang-21-10-2015

Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita tentang Indonesia

Unknown Reply 03.08
Bukanlah hal yang berlebihan jika seorang tokoh yang masyhur mendirikan suatu komunitas atau followers untuk tujuan dan maksud tertentu. Sebenarnya tradisi fanatisme terhadap tokoh, kelompok dll. Sudah ada sebelum manusia mengenal apa itu Agama. Di Indonesia sendiri begitu marak figur-figur masyarakat entah dari golongan artis, politisi, pendakwah, hingga cendekia. Diantara mereka banyak yang mendirikan negara/republik yang sifatnya imagi atau bahkan utopis.

Seorang budayawan Sujiwo Tejo misalnya mereka-reka dengan kecerdasan imaginasinya membangun sebuah tatanan masyarakat imaginer yang ia sebut sebagai Republik Jancukers.
Ahmad Dhani musisi cerdas pecinta pengetahuan dan sufistik ini menamai rumah produksinya dengan Republik Cinta. lain lagi dengan Emha Ainun Najib, Cak Nun panggilan akrabnya memberi nama halaqoh-halaqoh diskusi dan majlisnya dengan nama yang lebih merakyat yakni Masyarakat Maiyah. Entah siapa selanjutnya yang akan mengembangkan dunia imaginernya tentang sekelompok masyarakat atau tatanan negara yang ideal menurut prespektif mereka.

Tentu tindakan tersebut sah-sah saja. Dan tidak melanggar hukum selagi tidak disalah gunakan untuk merugikan masyarakat luas lebih-lebih negara. Kreatifitas manusia Indonesia perlu diapresiasi terlepas apapun motif dari imaginasi mereka. Seperti ada suatu doa maupun harapan dibalik setiap nomanklato imaginatif mereka. Tentu dengan acuan realitas masyarakat Indonesia dengan problematika yang kompleks. Rasa jenuh pasti ada melihat curat-marut perjalanan bangsa Indonesia. Dan Republik/Negara imaginer adalah kritik kreatif yang dilakukan oleh para pegiat seni maupun kaum cendekia.

Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika para tokoh diatas boleh berimaginasi. Maka penulis pun ingin berimaginasi pula. Saya bermimpi tentang kongkow para pemilik imaginasi untuk bersatu dalam mewujudkan mimpi harapan dan impian mereka dalam republik mimpinya menjadi nyata. dengan menyatukan visi dan harapan dari setiap pemilik "power" dalam menggerakan massa disetiap pengikutnya. Sehingga tidak ada lagi kekerasan atas nama Agama, suku dan ras
. Tidak ada penguasa yang lalim dan rakus, tidak ada masyarakat yang terbelakang dan kelaparan. Semua makmur guyub dalam kesejahteraan.

Belakangan ini bukanlah hal yang aneh jika fatwa pemimpin Negara/Agama akan dikalahkan oleh wejangan para tokoh yang diidolakan. Maka shadow state bisa lahir dan hadir dalam realitas dengan spirit kemajuan bangsa. Mensupport kinerja pemerintah dengan kritik solutif bukan makar atau aksi kekerasan yang membuang tenaga dan pikiran.

Benar kata Gus Dur selera humor bangsa kita tinggi, Gus Mus pun mengimaginasikan negeri kita ini seperti Negeri Ha..Ha..Hi..Hi. Ya mari bermimpi dan berharap pada hari esok dengan kerja keras dan cerdas. Mari satukan mimpi, Mimpiku, Mimpimu, Mimpa kita tentang Indonesia.

Menjemput Senja di kedai pustaka.
Malang. 20-10-2015

Apa kabar dunia pergerakan.?

Unknown Reply 21.43
2012 awal kali saya mengenyam bangku akademik diluar pesantren. Pada masa mahasiswa langka study saya dihiasi dengan beragam organisasi. Salah satu organisasi yang membekas dan berjasa besar dalam pembentukan karakter, kematangan profesional, spiritual, dan intelektual adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Meski diluar organ ini saya juga aktif diberagam organ lainya.

Ketertarikanku dengan organ ini tidak lain dan tidak bukan karena organ ini mampu mengakomodir semangat relegiusitas dan nasionalisme dengan bingkai intelektualitas mahasiswa. Berproses didalamnya adalah sebuah pelajaran berarti dalam perjalanan hidup saya. Meski didalam berproses harus mengalami jatuh bangun semangat mengabdi dan bertoleransi dengan kolega organ yang beragam karakter. Tapi semuanya bukanlah suatu masalah, hingga kini saya tetap ingin mengabdikan diri untuk kepentingan organisasi dan masyarakat luas. Meski periode kepengurusan dalam organisasiku telah habis masanya.


Semangat berorganisasi ini saya pinjam dari sosok Gus Dur. Begitu Abdurrahman Ad-Dakhil sangat menginspirasi dalam gerak fikir dan laku keseharian saya. Rasa kagum saya terhadap Gus Dur tidak cukup hanya sebatas berjejaring dalam komunitas Gusdurian kota malang. Namun yang lebih penting adalah membawa semangat 9 nilai Gus Dur dimanapun dan kapanpun saya berada.

Di PMII saya belajar banyak bagaimana menjadi seorang pemikir, penulis, pemimpin, hingga pemimpi. Organisasi menjadikan Mahbub Junaidi sebagai ikon tokohnya ini belakangan ini telah kembali menjadi banom ormas terbesar Nahdlotul Ulama'. Bagi saya sejarah baru PMII sebagai banom pasca independensi dan interindependensi bukanlah persoalan besar jika subtansi dari semangat perjuangan masih tetap terjaga.

Banyak tokoh yang terlahir dari organisasi ini baik dalam kanca perpolitika maupun gerak sosial lainya. Transformasi nilai yang dibawah dari status mahasiswa kedalam masyarakat luas harus senada dengan kemaslahatan bersama. Perubahan demi perubahan jangan hanya sekedar slogan dan wacana kusam. perlu langka kongkrit dan gerakan massif dari setiap elemen masyarakat untuk pembangunan peradaban bangsa. PMII harus hadir sebagai nafas dan lokomotif gerakan disetiap perubahan dan tantangan zaman yang berkembang.

Waba'du, Kegagalan saya dalam meniru laku Gus Dur dalam dunia organisasi yakni mengenai  menempati jabatan setrategis dalam struktural organ. Namun jejak pengabdian saya selalu saya upayakan se-setrategis mungkin agar dapat diteladani dan diteruskan generasi mendatang. Bukankah substansi telah mengalakan segala status dan legal formal bukan.?


Kopi dan industri kapital

Unknown Reply 09.32
"Ngopi.." sebuah kata yang tidak asing ditelinga setiap kalangan masyarakat di Indonesia. Dari mulai pejabat, hingga masyarakat sipil semua menikmati ramuan kopi yang diseduh dengan gula pasir. Tidak jarang pula penikmat kopi 'ekstrem' yang lebih menikmati pekatnya kopi tanpa gula. Salah satu bagian masyarakat sipil yang doyan menghabiskan waktunya untuk menikmati secangkir kopi adalah mahasiswa.

Dalam budaya ngopi mahasiswa didalamnya terdapat beragam aktivitas. Dari sekedar menikmati kopi bersama teman dan obrolan, mengerjakan tugas, rapat bersama organ, hingga menikmati seduhan kopi dengan kekasih.

Saya sendiri sangat menikmati aktivitas disetiap kedai-kedai kopi yang pernah saya kunjungi. Meski saya harus mengeluarkan uang besar untuk dapat menikmati secangkir kopi kelas unggul dari keringat para petani kopi. Disetiap saya menikmati kopi saya ingat akan dua hal. Pertama, tentang Max Havellar karya Multatuli/Dowes Dekker. Kedua, tentang Dee dengan filosofi kopinya.

Satu hal yang dapat saya refleksikan dalam nikmatnya kopi yang selalu menemani keseharian saya. Yakni tentang bagaimana eksploitasi dan kerja kapital dalam meramu kopi terbaik dari tangan petani.
Masyarakat pribumi hanya menikmati kopi kelas menenggah kebawah. Tradisi eksploitasi biji kopi dari era kolonial hingga sekarang terus berlangsung meski cara dan technisnya sudah berbeda.

Ketimpangan yang begitu menonjol antara upah pemilik kebun dan petani kopi. Dan hasil yang didapat industri kapital kopi. Mungkin dalam konteks ini maksud Alienasi dari Karl Marx terjadi. bagaimana petani dan pekerja terasingkan oleh hasil kerjanya. Biji kopi alami yang dipetik petani diolah ditangan industri kapital menjadi sachet-sachet kopi yang mahal.

Setidaknya penikmat kopi seperti saya harus sadar diri bahwa budaya dan tradisi minum kopi di Indonesia yang sanggat tinggi ini perlu diapresiasi dan ditunjang dengan produktifitas baik etos kerja maupun karya. meski sadar atau tidak yang kita nikmati bukanlah kopi unggul dari para petani sebangsa kita.
selamat menikmati kopimu kawan.

Malang-19-10-2015
kedai kopi rezzen. menjemput senja.

Kemanusiaan sang burung-burung manyar

Unknown 2 09.30




Kemanusiaan adalah salah satu butir fondasi kebangsaan bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam bunyi sila ke-2 dalam pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.  Sejarah panjang kolonialisme telah menyatukan kita sebagai satu bangsa satu nasib sepenanggungan. Setidaknya hal  tersebut yang membuat faunding father bangsa kita dalam menetapkan butir kemanusiaan dalam pancasila sebagai asas bernegara bersama. 

Dalam sejarah dunia kita mengenal tokoh-tokoh kemanusiaan diantaranya Muhammad SAW di Makkah, Sidarta Gautama di Nepal, Mahatma Gandhi di India, Che Guevara di Kuba, Nelson Mandela di Afrika dan sederet tokoh kemanusian diberbagai belahan dunia lainya. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menuliskan pejuang kemanusiaan dari bangsa kita bukan Soekarno yang mengusir penjajah dengan gagah, bukan pula Gus Dur yang selalu melindungi kaum minoritas dan tertindas. 

Namanya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya putra terbaik bangsa ini terlahir di semarang pada tanggal 6 Mei 1929. Romo Mangun adalah seorang rohaniawan Katolik yang mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan rakyat lemah yang terpinggirkan. Baginya, bertuhan berarti juga memuliakan martabat manusia. Memuliakan martabat manusia tak cukup hanya dengan berbicara, tetapi mengambil suatu sikap dan tindakan nyata untuk melindungi kemanusian itu sendiri dari berbagai macam penindasan. Inilah pesan yang didengungkan oleh Romo Mangun sebagai imam umat Katolik, suatu pilihan hidup yang ia anggap sebagai upaya ‘membayar hutang’ kepada rakyat yang telah berkorban demi kemerdekaan bangsa ini.

Semasa mudanya ia pernah bergabung ke dalam prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) batalyon X divisi III yang betugas di Benteng Vrederburg, Yogyakarta. Bersama dengan para prajurit TKR lainnya, ia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Kecintaannya pada negeri ini ia wujudkan kembali dengan bergabung ke dalam wadah perjuangan Tentara Pelajar (TP) Brigade XVII sebagai komandan Tentara Pelajar Kompi Kedu setelah lulus dari STM Jetis Yogyakarta yang bersamaan dengan berlangsungnya Agresi Militer Belanda I. 

Rangkaian peristiwa hidup di atas membuat Romo Mangun mengenal arti humanisme. Ia menyaksikan sendiri bagaimana rakyat Indonesia menderita, kelaparan, terancam jiwanya, dan bahkan mati sia-sia akibat aksi militer Belanda yang mencaplok wilayah republik. Kata bijak komandan Romo Mangun, Mayor Isman semasa perjuangan dahulu ikut berpengaruh terhadap sisi kemanusiannya. Mayor Isman mengumandangkan bahwa yang paling banyak memberikan pengorbanan dan sekaligus menjadi korban dari perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia adalah rakyat kebanyakan. 

Tindakan nyata yang merupakan cerminan dari pemikiran tersebut adalah ketika Romo Mangun berani berdiri di depan untuk menolak rencana penggusuran 30-40 keluarga yang menghuni kawasan kumuh Kali Code pada tahun 1980-an. Ia pun rela mogok makan untuk menolak penggusuran itu. Dengan lantang ia menyuarakan kepada pemerintah daerah yang hendak melakukan penggusuran bahwa masyarakat Kali Code bisa memperbaiki pemukimannya sendiri asal diberi kesempatan. Tercatat ada tiga peran yang ia lakukan untuk memperbaiki pemukiman warga Kali Code. 

Pertama, ia berjasa dalam mengubah mentalitas membuang sampah sembarangan masyarakat bantaran Kali Code. Dalam mengubah sikap seseorang atau sekelompok orang, tentunya hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah dengan mengubah mentalitas. Hal ini disadari betul oleh Romo Mangun. Namun baginya bicara saja tak cukup, sehingga memberikan teladan kepada masyarakat Code adalah cara yang tepat. Romo Mangun tinggal dan membaur dengan anggota masyarakat Kali Code selama 6 tahun masa pendampingannya. Ia mengamati dan memahami perilaku masyarakat Kali Code, kemudian memberi teladan lewat lisan dan tindakan bagaimana merawat lingkungan. 

Kedua, inisiasi perbaikan tata pemukiman dan lingkungan bantaran Kali Code ia tempuh, sehingga hasilnya kawasan itu menjadi bersih dan tertata. Keterlibatan Romo Mangun dalam revitalisasi Kawasan Code sangatlah vital. Sebagai seseorang yang pernah belajar arsitektur di ITB dan merupakan lulusan Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman, Ia menyumbangkan daya kreatifitasnya dalam merancang konsep hunian, desain rumah, dan tata pemukiman yang dianggap layak. Material bahan bangunan yang akrab dengan rakyat, seperti bambu sebagai tiang, gedeg (anyaman bambu) sebagai tembok, serta seng sebagai atap dipilih untuk mengisi bangunan.

Ketiga, bersama dengan dua orang temannya, Romo Mangun merupakan pendiri Yayasan Pondok Rakyat (YPR). YPR merupakan wadah pemberdayaan masyarakat dalam bidang lingkungan dan pendidikan kritis melalui pendekatan sosio-kultural. Organisasi ini menjadi semacam jembatan bagi sekelompok orang dengan latar belakang profesi yang berbeda, mulai dari arsitek, agamawan, intelektual, penulis, dan seniman untuk mengaktualisasikan ilmunya dalam pemberdayaan masyarakat bawah. 

Romo mangun juga dikenal lewat tulisan-tulisanya yang membangun rasa nasionalisme dan jiwa kekesaktriaan. Salah satu karya Romo Mangun yang monumental adalah Burung-Burung Manyar. Romo Mangun juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh negara, salah satunya kedekatanya dengan Gus Dur. Sang Romo mendapat tempat istimewa dalam perjalanan hidup Gus Dur. Terbukti dengan dituliskanya kisah Gus Dur dengan Romo Mangun yang diterbitkan dalam kumpulan kolom terbitan kompas dengan judul kolom “Perjalanan sang Romo yang bijak”. 

Kini 16 tahun sudah sang Romo telah meninggalkan kita. Namun semangat pemikiran dan tindakanya akan tetap hidup bersama para pegiat kemanusiaan. Selamat jalan Romo sang Burung-Burng Manyar telah tenang disana.

Malang-19-10-2015
Kedai Kopi Java Corner

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut