Bid'ah

Unknown Reply 19.48

Lubis adalah seorang keturunan Arab dengan latar belakang keluarga muslim yang taat. Ia dilahirkan dilingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Setiap hari lubis menghabiskan waktunya untuk mushola dari mulai kegiatan jamaah sholat hingga bersih-bersih, ia lakukan sendiri diusianya yang hampir memasuki kepala empat. Hasil pernikahanya dengan Masruroh dikaruniai dua orang anak, putra dan putri.

Meskipun ia sudah lama tinggal di kampung. Ia kesulitan berinteraksi dengan masyarakat yang ada. Dimata Lubis masyarakat kampungnya masih dipertanyakan keislamanya, karena masih sering melakukan ritual kejawen yang kontra ajaran agama seperti sedekah bumi dan lainya.
Sampai suatu hari putra lubis yang kedua jatuh sakit. Suhu tubuhnya begitu tinggi, dan sering batuk mengeluarkan bercak darah. Sontak keluarga Lubis dirundung duka atas musibah yang ditimpanya. Bebarapa dokter dan rumah sakit belum juga bisa menyembuhkan penyakit anak Lubis. Sampai tiada lagi dana untuk berobat. Setiap hari lubis semakin jarang melakukan aktivitas sosial. Waktunya dihabiskan untuk beribadah dan memohonkan kesembuhan anaknya.
Selepas sholat dzuhur berjamaah. Ada seorang warga yang memberanikan diri mendekati tempat Lubis berdzikir. 

“Pak Lubis, nuwun sewu apa benar putra bapak belum kunjung sembuh?” tanya pak kardiman salah satu kepala adat di desa.

“iya, pak kardi. Sudah kami bawa berobat kebeberapa rumah sakit dan dokter namun belum kunjung sembuh”

“Sabar pak. Kalo bapak berkenan kita buat acara istighosah. Dengan hajjat semoga putra bapak lekas diberi kesembuhan oleh gusti Allah”

“Owh tidak usah pak. Dalam pemahaman agama saya, acara istighosah bukan tergolong praktik bid’ah. Serta mendekati praktik budaya hindu-budha”

Pak kardiman hanya membalas dengan senyum. Nampaknya pak kardiman mengerti betul bagaimana cara menyerukan kebaikan dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Kardiman menghormati keputusan dan pendirian Lubis. Bukankah dalam agama saja tidak ada suatu paksaan bukan?. Hingga pak kardiman undur diri dengan sopan dan menghargai keputusan Lubis yang enggan mengadakan istighosah untuk kesembuhan anaknya. Namun pak Kardiman tidak sampai hati melihat anak Lubis yang terus sakit tanpa pengobatan. Akhirnya Kardiman mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan warga adat untuk mengadakan Istighosah dan sumbangan uang bagi pengobatan putra Lubis.

***
Dalam heningnya malam ketika semua penduduk terlelap, yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan katak di pekarangan sawah dekat rumah Lubis. Terdengar langkah gamang menuju rumah Lubis.
“Tok..tok..tok. Assalamualaikum

Terdengar ketukan dan ucapan salam dari balik pintu rumah Lubis. “Wa’alaikumsalam” jawab Lubis sambil berjalan menuju pintu dengan rasa penasaran siapa gerangan bertamu dilarut malam. Sontak Lubis agak terkejut setelah tau bahwa sang tamu adalah kepala suku adat. 
“Pak Kardiman, Monggo pak silahkan masuk”
Selang beberapa waktu, setelah mereka duduk di ruangan tamu sembari menikmati pahit dan manisnya secangkir kopi. Kardiman pun menyampikan maksud kedatanganya.

“Maaf pak menganggu istirahat keluarga. Maksud kedatangan saya kemari sebagai perwakilan dari warga setempat untuk memberikan sedikit uang hasil sumbangan warga selepas Istighosah untuk biaya pengobatan anak bapak. Mohon diterima pak” Jelas Kardiman sambil menyodorkan amplop kepada Lubis.

“Terima kasih banyak Pak Kardiman. Tapi mohon maaf kita belum bisa menerima uang tersebut dengan alasan tertentu. Biarkan musibah ini kami anggap sebagai ujian dari Allah”

“Pak..Anakmu pak anakmu” Terdengar jeritan istri Lubis dari belakang bilik kamar anaknya yang terbujur sakit.

Lubis dan Kardiman langsung beranjak menghampiri. Dengan dihantui rasa penasaran atas apa yang telah terjadi.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un

Suasana berubah menjadi haru. Hanya isak tangis yang terdengar dari istri Lubis. Kardiman mencoba menenangkan Lubis agar tetap sabar dalam menghadapi cobaan ini. Tidak lama kemudian suara kentongan desa membangunkan para warga dan berduyung-duyung datang untuk nyelawat dan mengurusi pemakaman anak Lubis.
 
Selepas jenazah dikebumikan Kardiman dan warga berdoa bersama. Lubis yang tidak mempercayai sampainya doa pada ahli kubur terisak haru dan tersentu hatinya melihat para warga dan tetangganya mendoakan jenazah anaknya. Lubis menanti sampai bacaan yasin dan doa warga selesai. Mereka kembali dari pemakaman bersama. Ditengah langkah gontai menuju desa, tiba-tiba Lubis berpesan kepada Kardiman dan warga memecah keheningan malam. 

“Pak Kardiman tolong besok selepas maghrib saya undang bapak dan warga semua untuk datang kerumah saya untuk tahlilan atas kematian anak saya”

Angin malam berhembus menyapa para warga yang berjalan menuju desa. Rembulan  dilangit berbentukan bulan sabit, seakan tersenyum menyaksikan kerukunan dan kebaikan para warga. Ya, masyarakat desa adalah cerminan manusia Indonesia yang hidup rukun ditengah perbedaan yang ada. Kemanusiaan harus diutamakan diatas segala perbedaan.




Tolak 'Hate Speech' : Indonesia Bukan Bangsa Pembenci

Unknown Reply 20.01
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti membenarkan telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). kurang lebih diksi tersebut yang hari ini mewarnai surat kabar dan berita nasional. Dunia digital dengan perkembangan media sosial mempermudah untuk diakses siapa saja dan kapan saja. Lewat perkembangan technologi banyak kabar dunia dapat dengan mudah kita akses dengan sekali 'klik'.

Dalam memanfaatkan media tentu kita harus sepintar mungkin dalam mengunakanya. lewat media dapat memperkaya informasi dan pengetahuan atau sebaliknya membodohkan dan berujung kesengsaraan. Hate Speech adalah peraturan tentang larangan menebar kebencian. Benih-benih kebencian dapat dengan mudah diprofokasikan lewat sosial media maupun media cetak yang lain. Orang saling debat kusir memaki, menghardik sesamanya dengan alasan perbedaan pendapat baik tentang politik, ekonomi, pengetahuan, bahkan Agama.

Tentu tidak semua orang mengunakan media untuk memprofokasi dan menebar kebencian. Pro-kontra peraturan ini tentu tidak akan terhindar. Para aktivis/kritikus tentunya akan merasa hak dan kebebasanya dalam mengespresikan pendapatnya kembali terbatasi setelah reformasi. Disisi lain para elite pejabat/artis dengan senang hati menyambut peraturan ini agar mereka mempunyai payung hukum dalam menerima kritikan dan sindiran pedas dari rakyat sipil.

Namun semuanya harus berjalan tetap pada batasnya. Kita semua tahu bahwa hukum di negeri kita hanya tajam ke'bawah' tumpul ke'atas', dengan bukti maraknya ketimpangan kasus dan penegakan keadilan yang sudah menjadi rahasia publik. Peraturan ini jangan sampai dijadikan alat bagi pemilik modal untuk mengatasi semua haters-nya. Begitu pula sebaliknya peraturan ini adalah pelajaran bagi kita semua agar berhati-hati dalam mengkritik dipastikan kritik yang kreatif, inovatif tanpa menjatuhkan siapapun, terlebih mengandung unsur SARA.

Kita perlu merefleksikan watak dan karakter kita sebagai manusia Indonesia. Bangsa kita terlahir dari semangat kecintaan terhadap tanah air, dan mengutuk aksi imperialisme tak berprikemanusiaan. Betapa bangsa kita sangat menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. Aksi penebar kebencian dan profokasi media bukanlah karakter dan watak bangsa kita. Manusia bangsa kita hidup dalam lingkungan saling asah, asih dan asuh. Mari kita sikapi kecanggian technologi dengan penuh kemanfaatan. Dengan menjadikanya sebagai media penebar cinta, kearifan, serta kebijaksanaan. Bukan permusuhan, kebencian lewat caci makian yang tak mengindahkan kemanusiaan. Jika semuanya berjalan harmonis maka peraturan Hate speech tidak penting bukan.?
Wa Allahu A'lam.

Malang-03-11-2015

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut