Gus Ulil yang saya kenal
“Menyampaikan buah pikir bagi seorang intelektual adalah sebuah panggilan jiwa” –Uil Abshar Abdallah
Tulisan ini sengaja saya tulis sebagai upaya saya dalam mengenali pikiran Ulil Abshar Abdalla yang kurang bisa diterima pada pemahaman ke-islaman di Indonesia. Pasca memberikan orasi ilmiahnya pada salah satu seminar di UIN Malang saya berkesempatan bertemu langsung dengan Ulil Abshar Abdallah untuk wawancara majalah kampus. Sosok yang ramah ini mempersilahkan saya untuk masuk kedalam mobil dan melakukan dialog dalam mobil, pada mulanya saya sudah mempersiapkan list pertanyaan yang ingin saya lontarkan namun saya terbawa asik dengan dialog yang memicu rasa penasaran saya terhadap pemikiran sosok Ulil yang terkenal kontrofersial. Esai sederhana ini adalah sebuah rangkuman dari perbincangan kita yang kurang lebih berlangsung selama 2-3 jam.
Ulil dan Pesantren
Adalah sebuah rahasia umum bahwa sosok Ulil tidak bisa terlepas dengan dunia pesantren, bukan karena beliau adalah menantu dari seorang kyai besar di pulau jawa. Namun sejak kecil Ulil sangat akrab dengan dunia pesantren, beliau nyantri di kajen pada Alm. KH. Sahal Mahfud. Beliau menyatakan pemikiran saya terbangun sejak dari pesantren, peran pesantren dalam membentuk pemikiran beliau sangat signifikan. Dari pesantrenlah beliau belajar membaca kitab klasik (Kitab kuning), dari pesantren juga beliau membaca literatur-literatur pemikiran kontemporer. “Saya membaca buku “Islam” karangan Prof. Fazlur Rahman ya sejak nyantri di kajen, saya membaca buku tersebut dengan bantuan kamus dan bekal bahasa inggris yang pas-pasan”. Dari pesantren juga beliau membaca jurnal prisma, pemikiran cak Nur, Gus Dur, Ahmad Wahib, Jalaludin Rahmat dan pemikir kontemporer lainya, ujar beliau kepada saya.
Gus Ulil mengakui bahwa kebiasaanya diatas adalah terinspirasi oleh sosok Alm. KH. Sahal Mahfud. “Beliau sangat inspired bagi saya, sosok kyai yang ideal selain mahir mengotak-atik kitab klasik, beliau juga cas-cis-cus mengunakan terminologi-terminologi kontemporer dan menjelaskan perkembangan keilmuan kontemporer, saya selalu mengikuti setiap pengajian dan ceramah beliau di pesantren.”. Namun tidak semua pemikiran Ulil sama persis seperti halnya Kh. Sahal, terbukti setelah Ulil mengembangkan pikiranya banyak ketidak sesuaian antara pemikiran Ulil dan Kh. Sahal dan hal ini diakui oleh beliau.
Ulil dan JIL
Banyak yang mengatakan bahwa pemikir-pemikir neo-modernis Indonesia seperti cak Nur, Gus Dur, kang Jalal, Harun Nasution pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh basic keilmuan yang berkembang di barat, artinya pemikiran neo-modernis banyak dipengaruhi oleh kegiatan akademik barat dimana mereka ditempa. Tesis ini saya lontarkan kepada Ulil apakah pengalaman dan keilmuan di Boston University mempengaruhi paradigma pemikiran Ulil dalam JIL.? Ulil menepis tesis saya dengan mengatakan bahwa “Saya membentuk JIL tahun 2001 jauh sebelum saya belajar ke Amerika, jadi pemikiran-pemikiran itu sudah saya kembangakan ketika belajar di Jakarta”. Namun tidak menutup kemungkinan pemikiran JIL pra Ulil belajar di Boston dan pasca belajar di Boston mengalami perbedaan yang signifikan, seiring berkembangnya keilmuan yang Ia geluti.
Gus Ulil juga memaparkan tentang sekte yang kurang bisa menerima pemikiran JIL. “Pada dasarnya kita tidak bisa memaksakan suatu pikiran agar diakui kebenaranya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Asal tidak saling mengklaim kebenaran dan saling mengkafirkan antar sesama, bahkan saya merasa bangga lewat JIL saya bisa membantu ruang diskursus kajian keislaman di Indonesia. Saya tidak mengiginkan JIL di ikuti semua umat islam Indonesia atau NU, bagi saya asal ada ruang untuk berbeda pendapat dan ruang ini tidak dilarang sudah cukup untuk menciptakan diskursus keislaman”. Sejarah telah mencatat di Timur maupun Barat pemikir-pemikir yang berani mendobrak kenyamanan pemikiran dominan status quo, akan di singkirkan dengan berbagai cara seperti kasus hukuman mati Sokrates, Galilei Galileo, Giurdano Bruno di barat, di timur ada Al Hallaj, Ibnu Araby, Suhrawardi, Siti Jenar, Faraq Fauda mereka adalah pemikir-pemkir yang berani menerima segala resiko. “Karena sejatinya seorang pemikir/intelektual ketika tidak bisa menyampaikan gagasan pikiranya ada rasa sakit tersendiri, karena menyampaikan pikiran bagi intelektual adalah sebuah panggilan jiwa,” ucap Gus Ulil pada saya.
Tokoh-Tokoh yang membentuk pemikiran Ulil
Ulil muda sangat dipengaruhi oleh KH. Sahal Mahfud ketika nyantri di Matholiul Falah kajen. Lewat LSM yang dibentuk utuk mengadvokasi dunia pesantren dan pengembangan sosial. Disana Ulil mulai bergelut dengan dunia sosial. Perpustakaan pondok KH. Sahal juga membentuk keluasan khazanah keislaman Ulil dengan menemukan banyak buu-buku pemikiran islam kontemporer.
“Benih-benih pemikiran saya dibukakan oleh kyai Sahal. Saya mengenal Cak Nur, Gus Dur, Masdar Farid Masdudi, Jalaludin Rahmat, A. Wahib, Djohan Efendi, Abu Ala Maududi, Fazlur Rahman, sayyid Quttub, Yusuf Qordawi. saya membaca berbagai macam aliran pemikiran semuanya saya akses dari pesantren kyai Sahal. Namun terus terang yang membangun pemikiran saya adalah Cak Nur, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat, dan Masdar farid Masdudui.” Jelas Gus Ulil.
Di akhir pertemuan saya sodorkan buku karya Ulil “membakar rumah Tuhan” dan “Menyegarkan pikiran Islam” salah satu koleksi buku saya karya beliau. Beliau membubuhkan tanda tangan dan berpesan pada saya “Kamu masih mudah, terus belajar, berpikir dan berkarya. Cuma ini yang bisa orang tua pesankan pada anaknya”. Terima kasih Gus pertemuan yang asik dan semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Posting Komentar