Belajar membaca dari Gus Dur
Membaca buku merupakan aktivitas yang jarang disukai kolega
saya. Namun mereka yang membenci kegiatan ini ia tidak tahu betapa membaca memberi
manfaat yang luar biasa bagi kita sebagai makhluk paripurna. Banyak diantara
kolega saya yang mencibir para “pembaca buku” entah dari ejekan kutu buku, anti
sosial, maupun tukang bacot. Senyum adalah jawaban bagi mereka yang mencibir
para pembaca dengan apapun alasanya. Tentunya para pecinta pengetahuan dan
pembaca buku akan merasa risih bila dicibir seperti diatas, tapi kegiatan membaca
bagi para book lover telah menjadi candu yang memiliki kenikmatan tersendiri
bahkan telah menjadi kebutuhan pokok yang asupanya sangat dibutuhkan untuk
keluasan berpikir dan bertindak. Tentunya hal ini tidak dirasakan oleh mereka
yang kurang intens dalam membaca, atau intens namun kurang menikmati kegiatan
tersebut.
Belajar dari Abdurahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Patung Gus Dur
kecil yang ada di taman Amir Hamzah Jakarta tersebut memberi inspirasi yang
begitu mendalam tentang urgensi membudayakan membaca sejak dini. Patung tersebut
adalah representatif dari sosok Gus Dur yang luas dalam berpikir dan bertindak
dalam problematika keumatan dan kebangsaa.
Tentunya hukum kausalitas berlaku.dimana kita melihat sosok
Gus Dur yang meski kurang bagus dalam bidang akademik, namun berpengetahuan
melampaui para akademisi semstinya. Betapa Gus Dur sesungguhnya telah memetik
buah dari hasil menanamnya sejak dini. Koleksi buku KH. Wahid Hasyim adalah
saksi sejarah betapa rakusnya Abdurrahman kecil dalam menghabiskan malam demi
malam untuk membaca buku koleksi ayahnya. Dari mulai buku yang paling kanan
hingga kiri beliau lahap dengan penuh keriangan tanpa adanya suatu paksaan dari
ayahnya. Embrio ini yang kemudian beliau kembangkan dalam dunia tulis menulis. Sehingga
terjadilah persingunggan antara dunia wacana dan realita yang beliau tuliskan
dalam kolom-kolomnya yang renyah.
Terbentuknya sikap kritis, dewasa, humoris, dan retorika
yang lugas dalam berbagai bahasa adalah buah ketekunan dalam membaca. Namun kegiatan
membaca juga harus diimbangi oleh praktik atas gagasan-gagasan dalam teks
sehingga terjadilah proporsionalitas alam ide dan alam materi. Sehingga teks-teks
yang dikonsumsi tidak membusuk dalam alam ide yang absurd.
Mari kita teladani sosok Abdurrahman Ad-Dakhil dalam segala
aspek. Lewat membaca tradisi pembentuk epistemologinya. Terutama dengan cara
membudayakan membaca. Wallahu A’lam.
Malang-16-juni-2015
Menjemput datangnya bulan penuh berkah “Ramadhan”
Posting Komentar