Muktamar NU ke-33; Menyoal urgensi Islam Nusantara sebagai sebuah identitas
Nahdlatul
Ulama’ sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan eksistensinya mempunyai
peran penting bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Sehubungan akan dihelatnya
Muktamar NU ke-33 yang berlangsung di
Jombang, Jawa Timur 1-5 Agustus mendatang, muktamar kali ini mengangkat tema
penting. “Yakni meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia”
diskursus ini penting mengingat maraknya ideologi transnasional yang mengiring
masyarakat pada gerakan radikalisme.
Pasca
Muktamar NU 1984 di Situbondo menghasilkan konsensus bersejarah mengenai
Khittah NU 1926. Keputusan untuk kembali kepada tujuan awal NU sebagai
organisasi agama dan kemasyarakatan bukan berarti menghilangkan substansi
politik dari tubuh NU, namun sebuah upaya pelebaran jangkauan dari politik
praktis, menuju politik kebangsaan yang dilakukan para ulama’ dalam
menyelesaikan problematika keumatan dan kebangsaan yang dinilai KH. Said
Aqil Siroj sebagai hight politic. Termasuk masalah keumatan yang
akhir-akhir ini menyedot perhatian umat islam mengenai gerakan ideologi
transnasional dan radikalismenya, penting kiranya Islam Nusantara sebagai
bentuk pemahaman sekaligus respon atas tercerabutnya nilai-nilai keislaman Indonesia
yang hari ini telah mengiring sebagian muslim untuk menempuh lajur radikalisme.
Kemunculan
terminologi Islam Nusantara sendiri menurut Syaiful Arif (akademisi ISNU) merupakan
salah satu bukti perkembangan pemikiran dikalangan warga nahdliyin hari ini. Istilah
Islam Indonesia sendiri pertama kali muncul di era KH. Abdurahman Wahid (Gus
Dur), kita dikenalkan gagasan pribumisasi Islam yang berisikan pentingnya
membumikan nilai-nilai ajaran Islam yang universal kedalam budaya lokal. Namun
meminjam istilah Syaiful Arif telah terjadi “Bom Intelektual” NU di akhir
1990-an, menjadikan gagasan Islam Indonesia diradikalkan dalam rangka
sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme.
Syaiful
Arif juga menilai penyebab kelahiranya reaksi berupa post-tradisionalisme Islam
(postra). Beliau menilai gagasan ini menjadi pembeda titik pijak antara Gus Dur
dan Nurcholis Madjid. Bagi postra, pijakan Gus Dur ialah tradisi. Sedangkan Cak
Nur tentu modernitas Eropa. Maka, beliau menilai gerakan pemikiran NU mengalami
arus balik, dari liberalisme menuju tradisi. sayangnya pertarungan pemikiran di
atas terhenti pada level paradigmatis dan belum menyentuh pada aspek
epistemologi dan metodologi. Yang menurut analogi Syaiful Arif layaknya
“dentuman besar dari balon, yang ketika meledak, ia hancur dan kosong.!” Tandas
beliau.
Diskursus
Islam Nusantara harus terus berkembang dan menghasilkan sebuah konsepsi yang
baku tentang Islam dalam bingkai Nusantara.bukan hanya sekedar buah pikir,
namun juga gerakan pemikiran (ideologi). Belajar dari ledakan intelektual
diakhir dekade 90-an perlu dibangunya sebuah episteme dengan menjadikan
pribumisasi Islam sebagai metodologi agar dimasa mendatang gagasan Islam
Nusantara bukan hanya sekedar ledakan momentuman tanpa suatu isi.
Telah
banyak teori dari akademisi maupun peneliti mengenai Islamisasi Nusantara
sebagaimana dituliskan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya “Islam
Nusantara; Jaringan Global dan Lokal” namun dari banyaknya peneliti belum
menyantuh pada ranah karakteristik yang menjadi identitas gerak islam
Indonesia. Maka dari itu perlu kiranya perumusan karakteristik sebagai sebuah
identitas Islam Nusantara. Islam sebagai agama yang universal dan nusantara
yang kaya akan budaya adalah dua sifat yang signifikan dalam terbentuknya wajah
Islam Nusantara yang adil, toleran, seimbang, dan independen. Karena kebanyakan
tradisi keislaman kita adalah hasil sinergitas maupun pertemuan antara dua nilai
yang berbeda dimensi yakni keislaman dan kearifan lokal (budaya), buah perbenturan
kebudayaan (teori Samuel Hantington : “Clash of Civilisation”) ini yang
menjadikan keislaman Nusantara mempunyai karakter tersendiri dalam gerak
spiritualnya. Nah pada ranah ini lah debatable sering muncul dipermukaan
mengenai gerak spiritualitas warga nahdliyin yang dinilai mengandung unsur TBC
(Takhayul, bid’ah, Churafat).
Selain
itu NU dan pesantren adalah satu entitas yang tidak dapat dipisahkan
sebagaimana penjelasan KH. Said Aqil Siroj “Pesantren adalah NU kecil, NU
adalah pesantren besar” sebagai orang pesantren maka karakteristik warga nahdliyin
adalah melakukan pendekatan secara religius melalui teks-teks Al-Qur’an, hadis,
ijma’, maupun qiyas, sebagai filosofi paradigma dan gerakan dalam berbagai
bidang. Tak terkecuali internalisasi nilai Islam dalam bidang kebudayaan lokal,
merujuk pada kaidah “al-‘adah al-muhakkamah”. tradisi bahsul masa’il
juga merupakan ruang diskusi ilmiah mengenai problematika kontemporer hukum
Islam yang menjadi karakteristik tersendiri. melalui dunia pesantren pula
transformasi gerakan tradisi dibangun ditengah masyarakat luas.
Peneguhan
Islam Nusantara sendiri berperan signifikan dalam pembangunan peradaban
keislaman maupun secara kebangsaan. Mejaga tradisi klasik yang baik, serta
Inklusifisme atas pembaharuan-pembaharuan yang mampu memberi maslaha untuk
kemajuan peradaban. Sebagaimana kaidah “Al-muhafadotu ala qodimi sholih, wa
al aqdu bijadidl ashlah” kaidah ini
perlu kiranya difahami sebagai sebuah metodologi atas islam Nusantara yang
terbuka untuk dunia.
Wa
ba’du, harapan atas tema Islam Nusantara
pada muktamar NU ke-33 harus dapat menciptakan jembatan antara kajian teoritis
dan aplikatif-empirik. Serta mampu benar-benar meneguhkan karakteristik Islam
Nusantara sebagai identitas wajah islam Nusantara yang berperadaban dan rahmatan
lil alamin. Selamat bermuktamar. Wallahu
A’lam
Malang
15-April-2015
Refrensi :
Syaiful Arif, “NU dan Islam
Nusantara”. Harian Kompas, senin 13 april 2015
Abdurrahman Wahid, “Menggerakan
Tradisi”. LkiS 2001
Azyumardi Azra, “Islam Nusantara”.
Mizan 2002
1 komentar
Monggo tulisan sederhana
Posting Komentar