Muktamar NU ke-33; Menyoal urgensi Islam Nusantara sebagai sebuah identitas

Unknown 1 22.13



                                                Oleh: M. Abduh Rouf Hanifuddin

Nahdlatul Ulama’ sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan eksistensinya mempunyai peran penting bagi kehidupan berbangsa dan beragama. Sehubungan akan dihelatnya Muktamar NU ke-33 yang  berlangsung di Jombang, Jawa Timur 1-5 Agustus mendatang, muktamar kali ini mengangkat tema penting. “Yakni meneguhkan Islam Nusantara untuk peradaban Indonesia dan Dunia” diskursus ini penting mengingat maraknya ideologi transnasional yang mengiring masyarakat pada gerakan radikalisme.

Pasca Muktamar NU 1984 di Situbondo menghasilkan konsensus bersejarah mengenai Khittah NU 1926. Keputusan untuk kembali kepada tujuan awal NU sebagai organisasi agama dan kemasyarakatan bukan berarti menghilangkan substansi politik dari tubuh NU, namun sebuah upaya pelebaran jangkauan dari politik praktis, menuju politik kebangsaan yang dilakukan para ulama’ dalam menyelesaikan problematika keumatan dan kebangsaan yang dinilai KH. Said Aqil Siroj sebagai hight politic. Termasuk masalah keumatan yang akhir-akhir ini menyedot perhatian umat islam mengenai gerakan ideologi transnasional dan radikalismenya, penting kiranya Islam Nusantara sebagai bentuk pemahaman sekaligus respon atas tercerabutnya nilai-nilai keislaman Indonesia yang hari ini telah mengiring sebagian muslim untuk menempuh lajur radikalisme.

Kemunculan terminologi Islam Nusantara sendiri menurut Syaiful Arif (akademisi ISNU) merupakan salah satu bukti perkembangan pemikiran dikalangan warga nahdliyin hari ini. Istilah Islam Indonesia sendiri pertama kali muncul di era KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), kita dikenalkan gagasan pribumisasi Islam yang berisikan pentingnya membumikan nilai-nilai ajaran Islam yang universal kedalam budaya lokal. Namun meminjam istilah Syaiful Arif telah terjadi “Bom Intelektual” NU di akhir 1990-an, menjadikan gagasan Islam Indonesia diradikalkan dalam rangka sekularisasi, liberalisasi, dan pluralisme. 

Syaiful Arif juga menilai penyebab kelahiranya reaksi berupa post-tradisionalisme Islam (postra). Beliau menilai gagasan ini menjadi pembeda titik pijak antara Gus Dur dan Nurcholis Madjid. Bagi postra, pijakan Gus Dur ialah tradisi. Sedangkan Cak Nur tentu modernitas Eropa. Maka, beliau menilai gerakan pemikiran NU mengalami arus balik, dari liberalisme menuju tradisi. sayangnya pertarungan pemikiran di atas terhenti pada level paradigmatis dan belum menyentuh pada aspek epistemologi dan metodologi. Yang menurut analogi Syaiful Arif layaknya “dentuman besar dari balon, yang ketika meledak, ia hancur dan kosong.!” Tandas beliau.

Diskursus Islam Nusantara harus terus berkembang dan menghasilkan sebuah konsepsi yang baku tentang Islam dalam bingkai Nusantara.bukan hanya sekedar buah pikir, namun juga gerakan pemikiran (ideologi). Belajar dari ledakan intelektual diakhir dekade 90-an perlu dibangunya sebuah episteme dengan menjadikan pribumisasi Islam sebagai metodologi agar dimasa mendatang gagasan Islam Nusantara bukan hanya sekedar ledakan momentuman tanpa suatu isi.

Telah banyak teori dari akademisi maupun peneliti mengenai Islamisasi Nusantara sebagaimana dituliskan oleh Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya “Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal” namun dari banyaknya peneliti belum menyantuh pada ranah karakteristik yang menjadi identitas gerak islam Indonesia. Maka dari itu perlu kiranya perumusan karakteristik sebagai sebuah identitas Islam Nusantara. Islam sebagai agama yang universal dan nusantara yang kaya akan budaya adalah dua sifat yang signifikan dalam terbentuknya wajah Islam Nusantara yang adil, toleran, seimbang, dan independen. Karena kebanyakan tradisi keislaman kita adalah hasil sinergitas maupun pertemuan antara dua nilai yang berbeda dimensi yakni keislaman dan kearifan lokal (budaya), buah perbenturan kebudayaan (teori Samuel Hantington : “Clash of Civilisation”) ini yang menjadikan keislaman Nusantara mempunyai karakter tersendiri dalam gerak spiritualnya. Nah pada ranah ini lah debatable sering muncul dipermukaan mengenai gerak spiritualitas warga nahdliyin yang dinilai mengandung unsur TBC (Takhayul, bid’ah, Churafat). 

Selain itu NU dan pesantren adalah satu entitas yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana penjelasan KH. Said Aqil Siroj “Pesantren adalah NU kecil, NU adalah pesantren besar” sebagai orang pesantren maka karakteristik warga nahdliyin adalah melakukan pendekatan secara religius melalui teks-teks Al-Qur’an, hadis, ijma’, maupun qiyas, sebagai filosofi paradigma dan gerakan dalam berbagai bidang. Tak terkecuali internalisasi nilai Islam dalam bidang kebudayaan lokal, merujuk pada kaidah “al-‘adah al-muhakkamah”. tradisi bahsul masa’il juga merupakan ruang diskusi ilmiah mengenai problematika kontemporer hukum Islam yang menjadi karakteristik tersendiri. melalui dunia pesantren pula transformasi gerakan tradisi dibangun ditengah masyarakat luas.
Peneguhan Islam Nusantara sendiri berperan signifikan dalam pembangunan peradaban keislaman maupun secara kebangsaan. Mejaga tradisi klasik yang baik, serta Inklusifisme atas pembaharuan-pembaharuan yang mampu memberi maslaha untuk kemajuan peradaban. Sebagaimana kaidah “Al-muhafadotu ala qodimi sholih, wa al aqdu bijadidl  ashlah” kaidah ini perlu kiranya difahami sebagai sebuah metodologi atas islam Nusantara yang terbuka untuk dunia.

Wa ba’du, harapan atas tema Islam Nusantara pada muktamar NU ke-33 harus dapat menciptakan jembatan antara kajian teoritis dan aplikatif-empirik. Serta mampu benar-benar meneguhkan karakteristik Islam Nusantara sebagai identitas wajah islam Nusantara yang berperadaban dan rahmatan lil alamin. Selamat bermuktamar.  Wallahu A’lam

Malang 15-April-2015




Refrensi :
Syaiful Arif, “NU dan Islam Nusantara”. Harian Kompas, senin 13 april 2015
Abdurrahman Wahid, “Menggerakan Tradisi”. LkiS 2001
Azyumardi Azra, “Islam Nusantara”. Mizan 2002



Related Posts

Artikel 6664304431248445993

1 komentar

Monggo tulisan sederhana

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut