KIRI ; Ideologi dalam karya sastra

Unknown Reply 19.23


Judul Buku : KIRI
Genre                   : Fiksi (Sastra)
Penulis        : AR. Hanifuddin
Penerbit      : Nulis Buku (2015)
Tebal                    : 104 Halaman
Peresensi     : Zainul Muttaqin







Meresensi buku ini adalah sebuah kebanggan tersendiri bagi saya dan keluarga besar jurusan PBA. Pasalnya buku ini lahir dari pikiran dan tulisan teman seangkatan saya di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab angkatan 2012. AR. Hanifuddin adalah nama pena dari mahasiswa M. Abdur Rouf Hanifuddin. Selama studi di UIN Malang ia telah menerbitkan empat buku dalam jangkah waktu 3 tahun. 3 diantaranya antologi, dan satunya adalah karya sastra yang kali kesempatan ini saya resensi. Sebuah prestasi yang harus kita apresiasi bersama di tengah minimnya tradisi menulis dikalangan mahasiswa.

Oke, diatas adalah sekapur sirih tentang penulis buku kumpulan cerita KIRI. Sekarang saya akan mencoba merensi substansi cerita demi cerita yang tertulis dalam buku kiri ini. mengutip pada salah satu endorsmen dari Syaiful Arif seorang dosen STAINU Jakarta dan penulis buku “humanisme Gus Dur”. Bahwa buku ini adalah singkretisme antara gagasan pikiran yang dituangkan dalam bentuk karya sastra, yang nantinya diharapkan menjadi genre sastra baru dalam kesusastraan bangsa kita. Dalam buku ini juga mengulaskan betapa beratnya kehidupan aktivis yang penuh tekanan dengan membela idealismenya. Kurang lebih terdapat 13 cerita pendek dengan beragam tema menarik yang diusung oleh penulis. Dari mulai kisah tentang perjuangan, kebenaran, agama, kemanusiaan, kebudayaan dan kasih sayang tercover dalam kumpulan cerita di buku KIRI ini. 

Pada lembaran-lembaran akhir penulis menyisipkan sajak-sajak indah yang mempunyai muatan pesan yang begitu mendalam tentang realitas kehidupan bangsa kita. Tema korupsi, HAM, kekerasan Agama masih menjadi tema utama yang diusung penulis. 

Dengan diluncurkanya buku ini ada harapan besar, bahwa tradisi menulis dikalangan mahasiswa UIN Malang belum mati. Serta untuk mencetak sastrawan juga tidak harus mengambil jurusan sastra, tinggal seberapa besar kemauan kita untuk membaca dan menulis. Pada akhirnya saya ucapkan Selamat untuk lahirnya buku berbobot ini kawan. Semoga bisa memberi manfaat dan menginspirasi kita semua. (ZM)



Bid'ah

Unknown Reply 19.48

Lubis adalah seorang keturunan Arab dengan latar belakang keluarga muslim yang taat. Ia dilahirkan dilingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Setiap hari lubis menghabiskan waktunya untuk mushola dari mulai kegiatan jamaah sholat hingga bersih-bersih, ia lakukan sendiri diusianya yang hampir memasuki kepala empat. Hasil pernikahanya dengan Masruroh dikaruniai dua orang anak, putra dan putri.

Meskipun ia sudah lama tinggal di kampung. Ia kesulitan berinteraksi dengan masyarakat yang ada. Dimata Lubis masyarakat kampungnya masih dipertanyakan keislamanya, karena masih sering melakukan ritual kejawen yang kontra ajaran agama seperti sedekah bumi dan lainya.
Sampai suatu hari putra lubis yang kedua jatuh sakit. Suhu tubuhnya begitu tinggi, dan sering batuk mengeluarkan bercak darah. Sontak keluarga Lubis dirundung duka atas musibah yang ditimpanya. Bebarapa dokter dan rumah sakit belum juga bisa menyembuhkan penyakit anak Lubis. Sampai tiada lagi dana untuk berobat. Setiap hari lubis semakin jarang melakukan aktivitas sosial. Waktunya dihabiskan untuk beribadah dan memohonkan kesembuhan anaknya.
Selepas sholat dzuhur berjamaah. Ada seorang warga yang memberanikan diri mendekati tempat Lubis berdzikir. 

“Pak Lubis, nuwun sewu apa benar putra bapak belum kunjung sembuh?” tanya pak kardiman salah satu kepala adat di desa.

“iya, pak kardi. Sudah kami bawa berobat kebeberapa rumah sakit dan dokter namun belum kunjung sembuh”

“Sabar pak. Kalo bapak berkenan kita buat acara istighosah. Dengan hajjat semoga putra bapak lekas diberi kesembuhan oleh gusti Allah”

“Owh tidak usah pak. Dalam pemahaman agama saya, acara istighosah bukan tergolong praktik bid’ah. Serta mendekati praktik budaya hindu-budha”

Pak kardiman hanya membalas dengan senyum. Nampaknya pak kardiman mengerti betul bagaimana cara menyerukan kebaikan dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Kardiman menghormati keputusan dan pendirian Lubis. Bukankah dalam agama saja tidak ada suatu paksaan bukan?. Hingga pak kardiman undur diri dengan sopan dan menghargai keputusan Lubis yang enggan mengadakan istighosah untuk kesembuhan anaknya. Namun pak Kardiman tidak sampai hati melihat anak Lubis yang terus sakit tanpa pengobatan. Akhirnya Kardiman mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan warga adat untuk mengadakan Istighosah dan sumbangan uang bagi pengobatan putra Lubis.

***
Dalam heningnya malam ketika semua penduduk terlelap, yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan katak di pekarangan sawah dekat rumah Lubis. Terdengar langkah gamang menuju rumah Lubis.
“Tok..tok..tok. Assalamualaikum

Terdengar ketukan dan ucapan salam dari balik pintu rumah Lubis. “Wa’alaikumsalam” jawab Lubis sambil berjalan menuju pintu dengan rasa penasaran siapa gerangan bertamu dilarut malam. Sontak Lubis agak terkejut setelah tau bahwa sang tamu adalah kepala suku adat. 
“Pak Kardiman, Monggo pak silahkan masuk”
Selang beberapa waktu, setelah mereka duduk di ruangan tamu sembari menikmati pahit dan manisnya secangkir kopi. Kardiman pun menyampikan maksud kedatanganya.

“Maaf pak menganggu istirahat keluarga. Maksud kedatangan saya kemari sebagai perwakilan dari warga setempat untuk memberikan sedikit uang hasil sumbangan warga selepas Istighosah untuk biaya pengobatan anak bapak. Mohon diterima pak” Jelas Kardiman sambil menyodorkan amplop kepada Lubis.

“Terima kasih banyak Pak Kardiman. Tapi mohon maaf kita belum bisa menerima uang tersebut dengan alasan tertentu. Biarkan musibah ini kami anggap sebagai ujian dari Allah”

“Pak..Anakmu pak anakmu” Terdengar jeritan istri Lubis dari belakang bilik kamar anaknya yang terbujur sakit.

Lubis dan Kardiman langsung beranjak menghampiri. Dengan dihantui rasa penasaran atas apa yang telah terjadi.

Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un

Suasana berubah menjadi haru. Hanya isak tangis yang terdengar dari istri Lubis. Kardiman mencoba menenangkan Lubis agar tetap sabar dalam menghadapi cobaan ini. Tidak lama kemudian suara kentongan desa membangunkan para warga dan berduyung-duyung datang untuk nyelawat dan mengurusi pemakaman anak Lubis.
 
Selepas jenazah dikebumikan Kardiman dan warga berdoa bersama. Lubis yang tidak mempercayai sampainya doa pada ahli kubur terisak haru dan tersentu hatinya melihat para warga dan tetangganya mendoakan jenazah anaknya. Lubis menanti sampai bacaan yasin dan doa warga selesai. Mereka kembali dari pemakaman bersama. Ditengah langkah gontai menuju desa, tiba-tiba Lubis berpesan kepada Kardiman dan warga memecah keheningan malam. 

“Pak Kardiman tolong besok selepas maghrib saya undang bapak dan warga semua untuk datang kerumah saya untuk tahlilan atas kematian anak saya”

Angin malam berhembus menyapa para warga yang berjalan menuju desa. Rembulan  dilangit berbentukan bulan sabit, seakan tersenyum menyaksikan kerukunan dan kebaikan para warga. Ya, masyarakat desa adalah cerminan manusia Indonesia yang hidup rukun ditengah perbedaan yang ada. Kemanusiaan harus diutamakan diatas segala perbedaan.




Tolak 'Hate Speech' : Indonesia Bukan Bangsa Pembenci

Unknown Reply 20.01
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti membenarkan telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). kurang lebih diksi tersebut yang hari ini mewarnai surat kabar dan berita nasional. Dunia digital dengan perkembangan media sosial mempermudah untuk diakses siapa saja dan kapan saja. Lewat perkembangan technologi banyak kabar dunia dapat dengan mudah kita akses dengan sekali 'klik'.

Dalam memanfaatkan media tentu kita harus sepintar mungkin dalam mengunakanya. lewat media dapat memperkaya informasi dan pengetahuan atau sebaliknya membodohkan dan berujung kesengsaraan. Hate Speech adalah peraturan tentang larangan menebar kebencian. Benih-benih kebencian dapat dengan mudah diprofokasikan lewat sosial media maupun media cetak yang lain. Orang saling debat kusir memaki, menghardik sesamanya dengan alasan perbedaan pendapat baik tentang politik, ekonomi, pengetahuan, bahkan Agama.

Tentu tidak semua orang mengunakan media untuk memprofokasi dan menebar kebencian. Pro-kontra peraturan ini tentu tidak akan terhindar. Para aktivis/kritikus tentunya akan merasa hak dan kebebasanya dalam mengespresikan pendapatnya kembali terbatasi setelah reformasi. Disisi lain para elite pejabat/artis dengan senang hati menyambut peraturan ini agar mereka mempunyai payung hukum dalam menerima kritikan dan sindiran pedas dari rakyat sipil.

Namun semuanya harus berjalan tetap pada batasnya. Kita semua tahu bahwa hukum di negeri kita hanya tajam ke'bawah' tumpul ke'atas', dengan bukti maraknya ketimpangan kasus dan penegakan keadilan yang sudah menjadi rahasia publik. Peraturan ini jangan sampai dijadikan alat bagi pemilik modal untuk mengatasi semua haters-nya. Begitu pula sebaliknya peraturan ini adalah pelajaran bagi kita semua agar berhati-hati dalam mengkritik dipastikan kritik yang kreatif, inovatif tanpa menjatuhkan siapapun, terlebih mengandung unsur SARA.

Kita perlu merefleksikan watak dan karakter kita sebagai manusia Indonesia. Bangsa kita terlahir dari semangat kecintaan terhadap tanah air, dan mengutuk aksi imperialisme tak berprikemanusiaan. Betapa bangsa kita sangat menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan. Aksi penebar kebencian dan profokasi media bukanlah karakter dan watak bangsa kita. Manusia bangsa kita hidup dalam lingkungan saling asah, asih dan asuh. Mari kita sikapi kecanggian technologi dengan penuh kemanfaatan. Dengan menjadikanya sebagai media penebar cinta, kearifan, serta kebijaksanaan. Bukan permusuhan, kebencian lewat caci makian yang tak mengindahkan kemanusiaan. Jika semuanya berjalan harmonis maka peraturan Hate speech tidak penting bukan.?
Wa Allahu A'lam.

Malang-03-11-2015

Pak Raden; Politik kebudayaan melawan arus global

Unknown Reply 21.26
Dunia kesenian Indonesia telah dirundung duka setelah Drs.Suyadi telah dipanggil keharibaan-Nya. Siapa yang tidak mengenal sosok Pak Raden, namanya begitu familiar terutama pada generasi 90-an setelah sukses mengenalkan dongeng bergambar dan perintis acara mendidik 'si Unyil'. Dengan tampilan priyayi dan kumis tebal bak Hos.Tjokroaminoto pak raden menghibur dan mendidik kita bagaimana cara menghargai budaya serta pentingnya nation and carakter building.

Pria lulusan seni rupa ITB tersebut sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter generasi bangsa. kepiawianya dalam mendidik lewat dongen dan ilustrasi gambar menjadikanya sosok yang tidak tergantikan dihati anak-anak. Peranan Pak Raden dalam mendidik lewat dongeng adalah karakter kebudayaan pendidikan bangsa kita. Betapa dongeng dapat menjadi mediator dalam menanamkan budi pekerti yang luhur terhadap anak-anak ditengah gencarnya arus global. konsistensi serta prinsip ini yang menjadikan Pak Raden sebagai legenda bangsa Indonesia dalam bidang kesenian dan pendidikan dengan mengangkat tema-tema kearifan lokal.

Sosok Pak Raden adalah potret dimana budaya mengapresiasi kita sebagai suatu bangsa sangatlah minim terhadap aset-aset kekayaan budaya lokal. Diakhir usianya Pak Raden hidup ditengah kesederhanaan bahkan bisa dikatakan menengah kebawah. Tidak ada harta yang ditinggalkan oleh beliau selain karya-karya beliau baik lukisan maupun karakter tokoh si unyil. Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok beliau, terutama konsistensinya dan keuletanya dalam mendidik anak-anak. Karena pada fase dini merupakan masa yang tepat dalam pembentukan karakter serta kepribadian generasi bangsa untuk perubahan Indonesia, terutama ditengah kerasnya benturan kebudayaan yang hilir mudik mengerus kebudayaan bangsa kita. Dogeng dan ilustrasi gambar adalah gambaran kecil dari kearifan lokal bangsa kita untuk terus dipertahankan.Pak Raden telah membuktikan sampai akhir hayatnya bahwa keuletan dan semangat yang tinggi dalam menjaga dan menularkan kearifan lokal adalah cara melawan arus globalisasi yang sulit terbendung.

Bagi Weber, sistem kebudayaan adalah otonom. Ia berevolusi sendiri tanpa terpengaruh oleh yang lain. Namun penulis lebih sepakat pada tesis Antonio Gramsci bahwa faktor politik turut serta mempengaruhi gerak kebudayaan global dan antara kebudayaan satu dan yang lain dapat berbentur dan saling mempengaruhi. Maka tugas kita hari ini adalah meruwat benar-benar semangat Pak Raden dan para seniman penjaga kearifan lokal yang lain dalam melestarikan dan mengajarkan keakayaan budaya kita pada generasi bangsa.

Selamat jalan Pak Raden, terimakasih telah mewarnai masa kecil kami.

Gus Dur tidak perlu ‘dibela’

Unknown Reply 00.44



KH. Abdurrahman Wahid, tokoh ini menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat peran Gus Dur dalam reformasi tahun 1998. Konsistensi Gus Dur dan keberpihakanya kepada rakyat merupakan faktor penting yang mengantarkan beliau pada kursi kepresidenan. Gus Dur menjadi tokoh penting yang harus dikenal oleh generasi bangsa baik lewat pemikiran maupun tindakan. Mengenalkan Gus Dur pada generasi pasca reformasi adalah hal yang ‘susah-susah mudah’. Tingkat kesusahanya karena pengaruh global terhadap lingkungan indifidualistik, tradisi konsumeris dan budaya hedonisme yang menjangkit kawula muda anak bangsa. Namun kita juga harus bersyukur karena literatur tentang Gus Dur semakin banyak kita jumpai baik berbentuk hasil riset maupun fiksi, sehingga mempermudah akses generasi bangsa mengenal lebih dekat sosok beliau.

Membaca Gus Dur seakan tidak pernah lepas dari kontrofersi. Pemikiran dan tindakan beliau sering kali dianggap ‘nyeleneh’ baik bagi warga Nahdliyin maupun masyarakat luas. Kecintaan Gus Dur terhadap sesama manusia beliau tunjukan dengan aksi pembelaan terhadap kaum minoritas dan mustad‘afin. Dengan segala resiko Gus Dur seakan tidak perduli atas cercaan dan pandangan negatif dari penilaian publik. Gus Dur seakan mengajarkan kepada kita semua bahwa kemanusiaan tidak mengenal kelas. 

Lingkungan pesantren dan keluarga juga mempengaruhi aspek spiritualitas Gus Dur. Nur Khalik Ridwan penulis Suluk Gus Dur menjelaskan secara detil laku sufistik seorang Abdurrahman seperti Sholat malam, Dzikir langgeng, sabar, syukur, memaafkan, tawakal ,qona’ah, cinta kasih sayang, berziarah dan bersholawat. Laku sufisme Gus Dur inilah merupakan faktor tresenden yang membuat Gus Dur tidak pernah takut dimata manusia dan dicintai sesama manusia. 

Kebesaran Gus Dur tidak pernah terkurang meski banyak cercaan dan pendzoliman terhadap beliau. Terbukti setelah beliau wafat orang berduyun-duyun datang hilir mudik menziarahi makam beliau. Baik masyarakat sipil, politisi, budayawan, agamawan. Apapun jabatanya, rasnya, agamanya mereka datang kepada Gus Dur sebagai ‘manusia’ seperti halnya Gus Dur yang selalu membela sesamanya atas dasar kemanusiaan.

Gus Dur sendiri tidak pernah melakukan pembelaan terhadap dirinya atas tindakan dan pikiran beliau yang dinilai kontrofersial. Membiarkan sejarah yang akan berbicara siapa yang benar dan siapa yang salah. Selagi tidak melanggar perintah dan larangan-Nya kenapa kita harus takut salah dimata manusia.? Gitu Aja kok repot. 

Betapa penting meneladani sosok Gus Dur. Dan mendemonstrasikan nilai-nilai ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan, kesederhanaan, keksatriyaan, dan menghargai kearifan lokal. Implementasi dan kontekstualisasi adalah kunci dari nilai-nilai diatas sebagai fondasi untuk menjadi umat yang bhineka namun tetap ‘ika’ dalam harmoni. Maka Gus Dur tidak pernah ‘mati’ dan akan selalu membela kaum lemah tanpa menuntut dan perlu untuk dibela. Wallahu A’lam.

Malang-30-10-2015.

'Menjual' Gus Dur

Unknown Reply 23.26
Tradisi mengagumi tokoh dapat dikapitalisasi dalam mendapat pundi-pundi rizqi. Hal ini banyak dilakukan oleh kecenderungan manusia abad 21. Termasuk eksistensi dan pengaruh tokoh dapat dilihat dari seberapa besar tokoh tersebut dikomersilkan oleh pengagumnya. Contoh sederhana sudah berapa exlemprar buku dan marchindise tentang Soekarno di Indonesia.?

Namun tokoh yang ingin penulis bahas kali ini adalah Gus Dur. Berawal saat menikmati kopi dengan teman-teman Gusdurian. Terdapat inisiatif dalam rangka menyebarluaskan Gus Dur dan pemikiranya lewat menjual buku-buku beliau, dan marchindise yang inspiring bagi pengagum beliau. Agenda menjual Gus Dur ini bukanlah kali pertama digagas oleh teman-teman Gusdurian. Sudah berapa banyak para penulis dan industri konveksi yang mendapat rizki dari agenda tersebut. Bila dipandang dari segi positif akan nampak betapa Gus Dur bukan hanya memberi manfaat bagi masyarakat semasa beliau hidup saja, namun pasca kematian beliau pun masih memberi maslahat bagi masyarakat luas. Dilihat dari jumlah pedagang di kompleks pemakaman Tebuireng yang tidak terhitung jumlahnya, mereka bak ketiban berkah dari kebesaran pengaruh dan kharisma sang Guru bangsa.

Istilah menjual Gus Dur mungkin dinilai kurang etis bila dilihat dari segi etika. Namun apalah makna sebuah istilah jika niatan yang baik menyertainya. Bagi saya pribadi, para 'penjual' Gus Dur ibarat santri yang mengharap barokah dari kyainya. Tentunya niatan yang baik dan hasil rizki yang ditasharufkan dijalan yang benar adalah pelengkap keberkahan.
Upaya teman-teman Gusdurian dalam mengumpulkan hasil tulisan tentang 9 nilai Gus Dur dari beragam prespektif adalah bentuk kontribusi peluasan khazanah pemikiran dan ranah praktik dalam meneladani Gus Dur.

'Menjual' Gus Dur bukanlah sekedar mencari pundi-pundi rupiah dengan menjadikan Gus Dur sebagai obyek jualan, Seperti industri kapital berjalan. Namun project ini bukan sekedar berdalih tanpi arti. Proyeksi akan concernt dalam menyebarluaskan pemikiran Gus Dur  dan hasilnya sebagai fondasi finansial organ. Semangat kemandirian ini yang harus dipupuk dan dikembangkan dalam strategi-strategi kreatif, inofatif dan memberi kemanfaatan bersama. Tanpa harus meniru kerja kapitalisme bukan.?
Gitu aja kok repot
Malang-26-10-2015

Menulis itu 'Tidak' Penting

Unknown Reply 03.35
Catatan ini tentang pergulatan diri dengan keinginan-keinginan yang melangit. Sudah terlalu banyak para penulis dan motifator membual tentang pentingnya menulis. Apa yang kau banggakan dengan budaya menulis jika tanpa dibarengi dengan semangat berbagi?

Pramoedya mengatakan bahwa menulis adalah kerja keabadian. Tapi apalah guna menulis jika untuk mengabadikan tulisan saja kita tidak berani. Orang tidak akan mengenal Pram jika buku-buku dan karya tulisnya tidak dipublikasi. Maka keberanian menulis tanpa dibarengi dengan keberanian membagikan hasil tulisanya adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu.

Berdialektika dengan tulisan memang bukanlah hal yang mudah. namun sering kali para penulis mengalami fase keraguan dalam membagikan tulisan baik lewat sosial media, terlebih mengabadikan dalam bentuk karya buku. Kegiatan menulis akan menjadi penting jika keberanian menulis diseimbangkan dengan tradisi membagikan dan mengabadikan tulisan.

Agus Noor seorang sastrawan kontemporer dalam diskusinya semalam seolah membuat down para penulis pemula. Beliau mengatakan bahwa kecenderungan dunia sastra hari ini banyak yang mengangkat kisah-kisah yang kurang penting dengan gaya bahasa yang minus estetik. Menurut saya bagaimanapun suatu tulisan atau hasil karya baik sastra maupun tulisan artikel, essay bahkan penelitian. Mempunyai porsi dan bobot tersendiri dalam dunia kepenulisan. Apapun tulisanya jika sang penulis berani membagikan dan mengabadikan menjadi karya buku adalah keberanian tersendiri yang perlu untuk diapresiasi.

Maka point penting dari catatan tidak penting ini adalah yang lebih penting dari tradisi menulis adalah tradisi mengabadikan tulisan. Sejarah dan peradaban tidak akan terbangun jika para masyarakatnya kurang berani mengabadikan tulisan dalam bentuk karya. karena dari dunia literaturlah suatu bangsa dapat dinilai keberadaban dan kemajuan peradabanya. Lewat kekayaan yang direkam lewat tulisan. Selamat berkarya.

Senja Bersujud.

Kedai Kopi Kriwul
Malang. 24-10-2015


Selamat Hari 'Nyantri' ; Memoar dari Gresik

Unknown Reply 01.39



Dunia Pesantren meninggalkan banyak kenangan. Pada bilik-bilik pesantrenlah para santri mengantungkan asah, cita dan cintanya. Dalam tradisi saling asah, asih dan asuh. Tidak terhitung jumlahnya para agamawan, negarawan, ilmuwan jebolan pesantren. Tidaklah berlebihan jika pesantren sebagai instansi pendidikan tertua di Indonesia harus kita akui perananya dalam andil pembangunan peradaban bangsa.

22 Oktober telah resmi diperingati sebagai hari santri Nasional. Beragam kegiatan dihelat untuk memeriahkan hari santi Nasional dari beragam elemen dan organisasi masyarakat. Penulis hanya bisa merefleksikan semangat hari santri dengan kolom sederhana ini sebagai dedikasi untuk seluruh santri di belahan negeri dan para guru tercinta.

Secara kebetulan saya dilahirkan pada lingkungan dan tradisi pesantren. Orang tua dan pendahulu saya semuanya dibesarkan dan ditempa dalam tradisi yang sama. Kurang lebih 8 tahun masa kecil saya hingga remaja saya habiskan untuk menimba ilmu di pondok pesantren asuhan KH. Masbuhin Faqih Suci, Manyar, Gresik. Tradisi integrasi pesantren salaf dan modern di Mambaus Sholihin telah mengajarkanku banyak hal tentang bagaimana menghargai tradisi klasik dan menerima hal baru yang baik. Di pesantren saya dikenalkan dengan hukum fiqih berhaluan 4 madzhab sebagaimana pesantren NU lainya. Bahkan nama-nama besar imam madzhab di pesantren dijadikan nama marhala/mabna pada masing-masing asrama santri putra sehingga para santri diajarkan untuk terbiasa menerima perbedaan dan saling menghormati.

KH. Masbuhin Faqih adalah sosok inspiratif bagi para santrinya. Sebagai seorang kyai besar Hadratus syaikh mengajarkan bagaimana untuk tetap rendah hati dan rendah diri pada siapapun lebih-lebih pada para guru
. Pelajaran kitab kuning adalah pelajaran literatur yang mengedepankan teori. Laku seorang kyai di pesantren adalah teladan dan pelajaran berarti bagi para santri. Setiap senja menjelang maghrib tiba, hobi saya adalah menunggu sang kyai datang dengan mengayuh speda tuanya dari dalem asrama putri yang berseberangan dengan asrama putra. Bagi saya pribadi romansa ngaji bersama beliau adalah kenangan indah yang ingin selalu terulang. Kiyasan-kiyasan renyah dari penjelasan kitab kuning yang rumit untuk difahami adalah karakter beliau dalam mengajar.

Sampai saat ini pesan beliau yang paling saya kenang adalah "Tidak ada mantan Santri dan Kyai". Betapa hubungan batiniah telah mengalahkan status legal formal lainya. Selamat hari Nyantri bagi kita semua sebagai satu bangsa. Bahwa semangat resolusi jihad dengan terus belajar melawan kebodohan dan terus menyampaikan kebenaran lewat halaqoh/forum ilmu adalah tradisi dari para leluhur dan guru-guru kita ajarkan terhadap kita semua.
Hari santri bukan milik NU, maupun Muhamadiyah. Hari santri adalah milik kita sebagai bangsa yang beradab dan menghormati sejarah.
Selamat Hari Nyantri Kang.!

Malang-22-10-2015
Dedikasi Hadratus syaikh KH. Masbuhin Faqih semoga Allah memberikan kesehatan dan umur yang barokah. Amin.

UIN sandang nama perpustakaan Gus Dur. Pantaskah (?)

Unknown Reply 05.59
Nama Gus Dur memang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Nama Gus Dur juga masuk dalam rentetan tokoh besar dunia lainya. Di kampus saya kebesaran nama Gus Dur diabadikan dalam salah satu gedung penting dalam lingkungan kampus, yakni perpustakaan KH. Abdurrahman Wahid. Sejak 2011 silam nama besar Gus Dur resmi menjadi nama besar perpustakaan kampus UIN Malang. Namun hingga kini selama saya menuntut ilmu di UIN dan mengunjungi perpustakaan UIN belum saya temukan semangat dan karakter Gus Dur baik dilingkungan kampus maupun perpus.

Inisiatif memberi nama Gus Dur sebagai nama gedung di UIN selain sebagai tradisi yang ditancapkan oleh mantan rektor Prof. Imam Suprayogo dalam mengabadikan nama-nama mantan presiden republik Indonesia pada bangunan gedung di UIN Malang. Penamaan Abdurrahman Wahid menyimpan harapan dan impian besar.

Pada saat peresmian nama gedung dihadiri langsung oleh bu Shinta Nuriyah beliau berharap Gagasan menjadikan nama Gus Dur sebagai nama perpustakaan ini, semoga mampu menjadi obor yang menjadi sumber penerangan, inspirasi dan juga energi bagi ilmu pengetahuan dan pemikiran agama. Tidak hanya itu semangat meneladani Gus Dur juga semoga dapat terbangun pada mahasiswa UIN Malang.

Hingga hari ini harapan itu nampaknya belum terlihat hadir bila kita melihat aktivitas dan kualitas perpustakaan UIN Malang. Semangat Gus Dur salah satunya dapat dipelajari lewat karya-karya beliau semasa hidup. Namun di perpustakaan Gus Dur sayangnya sangat minim literatur otentik karya Gus Dur. Hal ini menjadi klise antara harapan besar dibalik nama Gus Dur dan kenyataan ketersediaan literatur karya beliau. Kita juga mengenal sosok Gus Dur lewat semangat membacanya yang tinggi. Sangat disayangkan dari ribuan mahasiswa UIN Malang yang melewatkan untuk sekedar mampir membaca diluar tugas kuliah sangat minim. Apalagi dalam konteks membudayakan tradisi membaca dan menulis dikalangan mahasiswa jika para dosenya saja krisis teladan. Sosok Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang membebaskan baik dalam konteks kemanusiaan maupun keilmuan. Sayangnya lagi, buku-buku di perpustakaan Gus Dur terbatas pada batasan ideologi yang terbilang 'normatif' dikalangan mahasiswa PTAIN. Buku-buku di perpustakaan juga kurang up to date dalam mengikuti perkembangan keilmuan, sangat kontra spirit sosok Gus Dur yang reformis dalam hal pengetahuan. Terlebih eksklusifisme pemikiran para dosen UIN Malang dalam menerima perkembangan wacana yang berseberangan dengan ideologi masing-masing.

Maka dengan beberapa hal yang kurang ideal diatas adalah sebuah tanda tanya besar atas nama Gus Dur di perpustakaan UIN Malang. Apakah hanya sekedar formalitas karena Gus Dur mantan presiden ataukah hanya sekedar numpang keren tanpa sebuah nilai yang membekas dalam aktivitas sosial dan pembelajaran di UIN Malang. Itu semua bukanlah tugas rektor atau pejabat kampus lainya. Semuanya adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada kata terlambat dalam melakukan perubahan sosial jika kesadaran kolektif terbangun dan saling bahu membahu membenahi diri kita dan lingkungan kita. Bukankah itu yang diajarkan Gus Dur pada kita masyarakat Indonesia.?
Wallahu A'lam.

Malang-21-10-2015
Kriwul coffee

‘Agama’ Balsem

Unknown 1 21.39



Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan dibekali nafu ilahiyah (Naluri ketuhanan). Maka wajar kiranya nenek moyang kita di Indonesia dahulunya adalah penganut kapitayan. Menyembah batu/pohon yang diyakini menyimpan kekuatan suprastruktur, sebelum datang saudagar dari timur tengah maupun imperialis eropa yang mengenalkan apa itu Tuhan dan Agama. Naluri ketuhanan juga dijelaskan dalam Al-Qur’an lewat kisah Ibrahim yang bergulat dengan pencarian Tuhan. Besarnya pengaruh naluri ke-Tuhanan manusia juga dibuktikan oleh ilmuan barat Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God, Sebagaimana yang dikutip oleh Karen Amstrong dalam bukunya History of God. Schmidt menyatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa/tuhan.

Sejarah panjang Agama di dunia bukan hanya diwarnai oleh doktrin ajaran semata. Atmosfer dan konteks sejarah keagamaan pula disertai dengan berkembangnya politik dan kebudayaan. Dua hal tersebut juga turut serta menopang eksistensi Agama sebagai doktrin maupun wacana. Dalam Islam sendiri Ad-diin oleh kalangan ulama’ diartikan sebagai Agama. Belakangan ini makna Ad-diin oleh pemikir kontemporer diartikan sebuah proses, kepasrahan, penyerahan diri.

Fungsi Agama terhadap umatnya sangat banyak. Tergantung bagaimana cara kita memahami ajaran Agama dan kontekstualisasinya dalam kehidupan sosial. Namun yang paling menonjol adalah pengayoman terhadap umat. Agama dengan kaum agamawanya memberikan narasi-narasi indah nan menenangkan hati disaat para umat gelisah akan persoalan dunia. Maka wajar kiranya penuturan Karl Marx mengenai Agama sebagai sebuah opium bagi penganutnya. Fungsi Agama disini layaknya balsem, yang hanya menenangkan untuk sesaat. 

Sayangnya di Indonesia wacana-wacana Islam progressif kurang mendapat sambutan hangat oleh elite Agamawan. Mereka cenderung mendengungkan narasi sufistik dan praktik suluk ketimbang harus berdialog dan memperjuangkan hal ikhwal duniawi. Semangat Agama dalam seruan memperjuangkan perlawanan terhadap ketimpangan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan semuanya terdapat dalam sendi setiap Agama. Namun sendi-sendi progressif seakan tercerabut dengan dominasi praktik keagamaan yang ‘normatif’ (Hanya mengejar kehidupan akherat). Persoalan minimnya pengetahuan dikalangan umat beragama pula sebagai faktor utama. 

Waba’du. Stabilitas dalam beragama antara proggresifitas dan spiritualitas (ubudiyah) harus dinamis dan saling melengkapi. Keduanya merupakan point penting dalam memahami dan implementasi nilai-nilai ajaran Agama. Antara kelompok pecinta suluk dan ulama’ proggresif harus mampu menjadi gas dan rem dalam Agama. Seperti yang dikatakan Gus Dur jika yang dominan hanya remnya saja maka Agama tidak akan bergerak, begitu juga sebaliknya jika yang dominan hanya gasnya maka Agama akan kebablasan. Semoga pemahaman dan praktik keagamaan kita tidak seperti fungsi balsem yang hanya menenangkan untuk sesaat. Wallahu A’lam.
Malang-21-10-2015

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut