Bid'ah
Lubis adalah seorang keturunan Arab
dengan latar belakang keluarga muslim yang taat. Ia dilahirkan dilingkungan
masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Setiap hari lubis
menghabiskan waktunya untuk mushola dari mulai kegiatan jamaah sholat
hingga bersih-bersih, ia lakukan sendiri diusianya yang hampir memasuki kepala
empat. Hasil pernikahanya dengan Masruroh dikaruniai dua orang anak, putra dan
putri.
Meskipun ia sudah lama tinggal di
kampung. Ia kesulitan berinteraksi dengan masyarakat yang ada. Dimata Lubis
masyarakat kampungnya masih dipertanyakan keislamanya, karena masih sering
melakukan ritual kejawen yang kontra ajaran agama seperti sedekah bumi dan
lainya.
Sampai suatu hari putra lubis yang
kedua jatuh sakit. Suhu tubuhnya begitu tinggi, dan sering batuk mengeluarkan
bercak darah. Sontak keluarga Lubis dirundung duka atas musibah yang
ditimpanya. Bebarapa dokter dan rumah sakit belum juga bisa menyembuhkan
penyakit anak Lubis. Sampai tiada lagi dana untuk berobat. Setiap hari lubis
semakin jarang melakukan aktivitas sosial. Waktunya dihabiskan untuk beribadah
dan memohonkan kesembuhan anaknya.
Selepas sholat dzuhur berjamaah. Ada
seorang warga yang memberanikan diri mendekati tempat Lubis berdzikir.
“Pak Lubis, nuwun sewu apa
benar putra bapak belum kunjung sembuh?” tanya pak kardiman salah satu kepala
adat di desa.
“iya, pak kardi. Sudah kami bawa
berobat kebeberapa rumah sakit dan dokter namun belum kunjung sembuh”
“Sabar pak. Kalo bapak berkenan kita
buat acara istighosah. Dengan hajjat semoga putra bapak lekas
diberi kesembuhan oleh gusti Allah”
“Owh tidak usah pak. Dalam pemahaman
agama saya, acara istighosah bukan tergolong praktik bid’ah. Serta mendekati praktik
budaya hindu-budha”
Pak kardiman hanya membalas dengan
senyum. Nampaknya pak kardiman mengerti betul bagaimana cara menyerukan
kebaikan dengan penuh cinta dan kebijaksanaan. Kardiman menghormati keputusan
dan pendirian Lubis. Bukankah dalam agama saja tidak ada suatu paksaan bukan?.
Hingga pak kardiman undur diri dengan sopan dan menghargai keputusan Lubis yang
enggan mengadakan istighosah untuk kesembuhan anaknya. Namun pak
Kardiman tidak sampai hati melihat anak Lubis yang terus sakit tanpa
pengobatan. Akhirnya Kardiman mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan warga adat
untuk mengadakan Istighosah dan sumbangan uang bagi pengobatan putra
Lubis.
***
Dalam heningnya malam ketika semua
penduduk terlelap, yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan katak di pekarangan
sawah dekat rumah Lubis. Terdengar langkah gamang menuju rumah Lubis.
“Tok..tok..tok. Assalamualaikum”
Terdengar ketukan dan ucapan salam
dari balik pintu rumah Lubis. “Wa’alaikumsalam” jawab Lubis sambil
berjalan menuju pintu dengan rasa penasaran siapa gerangan bertamu dilarut
malam. Sontak Lubis agak terkejut setelah tau bahwa sang tamu adalah kepala
suku adat.
“Pak Kardiman, Monggo pak
silahkan masuk”
Selang beberapa waktu, setelah
mereka duduk di ruangan tamu sembari menikmati pahit dan manisnya secangkir
kopi. Kardiman pun menyampikan maksud kedatanganya.
“Maaf pak menganggu istirahat keluarga. Maksud kedatangan saya kemari sebagai perwakilan dari warga setempat untuk memberikan sedikit uang hasil sumbangan warga selepas Istighosah untuk biaya pengobatan anak bapak. Mohon diterima pak” Jelas Kardiman sambil menyodorkan amplop kepada Lubis.
“Maaf pak menganggu istirahat keluarga. Maksud kedatangan saya kemari sebagai perwakilan dari warga setempat untuk memberikan sedikit uang hasil sumbangan warga selepas Istighosah untuk biaya pengobatan anak bapak. Mohon diterima pak” Jelas Kardiman sambil menyodorkan amplop kepada Lubis.
“Terima kasih banyak Pak Kardiman.
Tapi mohon maaf kita belum bisa menerima uang tersebut dengan alasan tertentu.
Biarkan musibah ini kami anggap sebagai ujian dari Allah”
“Pak..Anakmu pak anakmu” Terdengar jeritan istri Lubis dari belakang bilik kamar anaknya yang terbujur sakit.
Lubis dan Kardiman langsung beranjak menghampiri. Dengan dihantui rasa penasaran atas apa yang telah terjadi.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”
“Pak..Anakmu pak anakmu” Terdengar jeritan istri Lubis dari belakang bilik kamar anaknya yang terbujur sakit.
Lubis dan Kardiman langsung beranjak menghampiri. Dengan dihantui rasa penasaran atas apa yang telah terjadi.
“Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”
Suasana berubah menjadi haru. Hanya
isak tangis yang terdengar dari istri Lubis. Kardiman mencoba menenangkan Lubis
agar tetap sabar dalam menghadapi cobaan ini. Tidak lama kemudian suara
kentongan desa membangunkan para warga dan berduyung-duyung datang untuk nyelawat
dan mengurusi pemakaman anak Lubis.
Selepas jenazah dikebumikan Kardiman
dan warga berdoa bersama. Lubis yang tidak mempercayai sampainya doa pada ahli
kubur terisak haru dan tersentu hatinya melihat para warga dan tetangganya
mendoakan jenazah anaknya. Lubis menanti sampai bacaan yasin dan doa warga
selesai. Mereka kembali dari pemakaman bersama. Ditengah langkah gontai menuju
desa, tiba-tiba Lubis berpesan kepada Kardiman dan warga memecah keheningan
malam.
“Pak Kardiman tolong besok selepas
maghrib saya undang bapak dan warga semua untuk datang kerumah saya untuk tahlilan
atas kematian anak saya”
Angin malam berhembus menyapa para
warga yang berjalan menuju desa. Rembulan
dilangit berbentukan bulan sabit, seakan tersenyum menyaksikan kerukunan
dan kebaikan para warga. Ya, masyarakat desa adalah cerminan manusia Indonesia
yang hidup rukun ditengah perbedaan yang ada. Kemanusiaan harus diutamakan
diatas segala perbedaan.
Posting Komentar