Cerdas Bersosial Media

Unknown Reply 22.51

Kita hidup di era revolusi digital. Dimana generasi milineal lebih butuh kuota data tiap bulanya dari pada empat sehat lima sempurna (Pesan moral guru IPA). Media sosial menjadi tonggak perubahan cukup signifikan bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Dari mulai pusat informasi hingga lapak mencari sesuap nasi. Namun tidak jarang juga sosial media mencipta malapetaka. Dari judi online, porstitusi online hingga jualan agama pun dionlinekan, semua dipertontonkan lewat layar maya bernama sosial media.

Gadget dan internet menjadi dua benda yang tidak terpisah oleh generasi milenial. Dari tua hingga yang muda semua asik berselancar ria di sosial media. Norma, Etika dan budaya seringkali ditrabas atas nama hak asasi pengguna. Namun kebebasan kita bersosial media dibatasi oleh kebebasan pengguna sesama. Meski saya kurang setuju dengan fatwa MUI mengenai sosial media, kita hanya butuh kesadaran untuk kembali menemukan jati diri kita sebagai orang indonesia yang santun, respect, damai, plural, beradab nan berbudaya.

Di hari sosial Media, saya tidak berharap tanggal merah dan hari libur nasioanal (Karena pahlawan kita melawan penjajah tidak sebercanda selfie narsis di sosial media). Sebagai pengguna sosial media harapan saya hanya satu “Jangan kotori sosial media dengan makian, hinaan, propaganda perpecahan. Terlebih keluhan dan ratapan pada Tuhan berdo’alah dengan baik sesuai yang di ajarkan agamamu,  selain alasan kesopanan serta Tuhan tidak punya akun media sosial, percayalah bahwa Ia Maha Mendengar !”.

Sejak masa kuliah (sebelum Afi Nihaya hits) saya gunakan media sosial sebagai tempat mencari ilmu dan berbagi pengetahuan. Meski dalam hal berteman saya tidak pilah pilih baik yang profesor hingga petani biasa kami berkawan mesra (Ups..berkawan baik maksudnya). Media sosial juga tempat belajar bagi saya menyampaikan ide, gagasan melalui tulisan. Tempat bersilaturahim bertukar kabar dan gelak tawa kelakar. Oleh sebab itu saya kerasan bersosial media (dari mulai status fb alay, sampai kembali alay pakek bekgrond kekinian hehehe).


Mari fungsikan media sosial untuk merajut benang kusut di antara kita. Jangan jadi pengguna yang medioker, penebar fitnah, gemar propaganda dengan dalih suku, ras, dan agama yang berbeda. Karena Sosial media bukan hanya milik Jonru, Denny Siregar dan sejawatnya. (Jangan biarkan media sosial kita ruwet, cukup hidup hatters aja yang ruwet) Selamat hari sosial media, Make it enjoy boy!   

Dari Pancasila, Komunisme hingga Khilafah

Unknown Reply 18.00

Melarang ideologi dan pemikiran adalah suatu kesia-siaan. Pancasila sebagai dasar negara telah mengalami banyak rezim dan masa. Di era Soekarno pancasila menjadi azimat revolusioner pemuda dalam membangun bangsa yang beradab dengan jiwa sosial tinggi 'gotong royong'. Dalam salah satu pidatonya Bung Karno berpesan "salah kiranya seorang menganggap pancasila anti terhadap komunisme". Lebih dari itu Soekarno tidak mengakui anak ideologisnya bila anti
pada komunis. Tentu bung Karno adalah seorang Marxis, kisah Marhaen merupakan buah marxisme yang ditanam di bumi nusantara, bahasa kerenya pribumisasi marxis lah.

Lanjut era berdarah Soeharto. Pada era ini pancasila diperkosa oleh rezim penguasa. Pancasila dijadikan alat politik penguasa menumpas lawan politiknya. Selama 30 tahun lebih pancasila dijadikan diktat politik dipaksakan sebagai landasan seluruh organisasi baik bersifat politik maupun kemasyarakatan seperti NU. Usaha Soeharto merebut pancasila dari bung Karno terlihat dari pengkultusan hari kesaktian pancasila 1 oktober yang tak lain hari kemenangan rezim orba atas tragedi berdarah genosida '65.

Pasca reformasi, Pancasila kembali bernafas legah. Seluruh warga bisa memahami substansi kesilaan di dalamnya tanpa suatu dikte paksaan dari pemerintah. Sayangnya dampak politik orde baru menurunkan generasi yang hanya hafal pancasila di luar kepala tapi kering substansi dalam praktik keseharian. Bagaimana tidak, kita mengaku berketuhanan yang maha esa. Kerap kali Tuhan kita ajak bertikai antar sesama manusia demi kepentingan politik belaka. Kita mengamini kemanusiaan yang adil dan beradab, namun semakin hari kita lebih fasih mengkafirkan membenci sesama dengan prilaku yang tak beradab. Persatuan indonesia kita idamkan, tapi di mana-mana SARA kita gemborkan demi kepentingan golongan. Kerakyatan yang dipimpin hikmat dalam permusyawarahan perwakilan, para wakil kita sangat jarang yang memusyawarahkan kemaslahatan rakyat dengan penuh hikmat, malah korupsi memperkaya diri merajalela sana sini. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, pemerintah dan kita sebagai masyarakat kerap kali tidak bisa adil, kalo mengadili kitalah jagonya. Hal tersebut menjadi peluang bagi saudara kita HTI mempropagandakan khilafah atas nama ideologi dengan polesan frustasi.

Barangkali Soekarno menyaksikan segala kelucuan dan drama politik di negeri kita dengan penuh haru dan tawa. Toh dia juga sudah berpesan bahwa perjuangan melawan penjajah tiada apa-apanya dibanding melawan sebangsa sesama. Usaha merangkul ragam ideologi telah dilakukan oleh Soekarno meski bancak menuai pro-kontra. Nasionalisme Agama dan komunis (Nasakom), berbeda dengan kaum nasionalis dan agama, Komunisme dalam hal ini memang sudah habis. Tapi masih banyak generasi progresif ke kiri-kirian yang bermunculan hari ini, baik yang membela kaum papa maupun yang narsis dengan kaus Che Guevara. Juga kaum berjubah, berjenggot, berjidat hitam yang gemar mengembar-gemborkan khilafah. Percayalah, kembali pada substansi pancasila adalah jalan terang masa depan bernegara. Mengcover komunisme dan Khilafah bersama sebagai solusi di bawah naungan Pancasila & bhineka tunggal ika.

Jika Jokowi gagal merangkul keduanya, biarkan dek Raisa yang angkat suara menyanyikan indonesia raya. Buat para kamerad dan akhi fillah, "Internasionale dan pekikan takbir ditahan dulu ya." Sahut dek Raisa mencairkan suasana.

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut