Dari Pancasila, Komunisme hingga Khilafah
Melarang ideologi dan pemikiran adalah suatu kesia-siaan. Pancasila sebagai dasar negara telah mengalami banyak rezim dan masa. Di era Soekarno pancasila menjadi azimat revolusioner pemuda dalam membangun bangsa yang beradab dengan jiwa sosial tinggi 'gotong royong'. Dalam salah satu pidatonya Bung Karno berpesan "salah kiranya seorang menganggap pancasila anti terhadap komunisme". Lebih dari itu Soekarno tidak mengakui anak ideologisnya bila anti
pada komunis. Tentu bung Karno adalah seorang Marxis, kisah Marhaen merupakan buah marxisme yang ditanam di bumi nusantara, bahasa kerenya pribumisasi marxis lah.
Lanjut era berdarah Soeharto. Pada era ini pancasila diperkosa oleh rezim penguasa. Pancasila dijadikan alat politik penguasa menumpas lawan politiknya. Selama 30 tahun lebih pancasila dijadikan diktat politik dipaksakan sebagai landasan seluruh organisasi baik bersifat politik maupun kemasyarakatan seperti NU. Usaha Soeharto merebut pancasila dari bung Karno terlihat dari pengkultusan hari kesaktian pancasila 1 oktober yang tak lain hari kemenangan rezim orba atas tragedi berdarah genosida '65.
Pasca reformasi, Pancasila kembali bernafas legah. Seluruh warga bisa memahami substansi kesilaan di dalamnya tanpa suatu dikte paksaan dari pemerintah. Sayangnya dampak politik orde baru menurunkan generasi yang hanya hafal pancasila di luar kepala tapi kering substansi dalam praktik keseharian. Bagaimana tidak, kita mengaku berketuhanan yang maha esa. Kerap kali Tuhan kita ajak bertikai antar sesama manusia demi kepentingan politik belaka. Kita mengamini kemanusiaan yang adil dan beradab, namun semakin hari kita lebih fasih mengkafirkan membenci sesama dengan prilaku yang tak beradab. Persatuan indonesia kita idamkan, tapi di mana-mana SARA kita gemborkan demi kepentingan golongan. Kerakyatan yang dipimpin hikmat dalam permusyawarahan perwakilan, para wakil kita sangat jarang yang memusyawarahkan kemaslahatan rakyat dengan penuh hikmat, malah korupsi memperkaya diri merajalela sana sini. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, pemerintah dan kita sebagai masyarakat kerap kali tidak bisa adil, kalo mengadili kitalah jagonya. Hal tersebut menjadi peluang bagi saudara kita HTI mempropagandakan khilafah atas nama ideologi dengan polesan frustasi.
Barangkali Soekarno menyaksikan segala kelucuan dan drama politik di negeri kita dengan penuh haru dan tawa. Toh dia juga sudah berpesan bahwa perjuangan melawan penjajah tiada apa-apanya dibanding melawan sebangsa sesama. Usaha merangkul ragam ideologi telah dilakukan oleh Soekarno meski bancak menuai pro-kontra. Nasionalisme Agama dan komunis (Nasakom), berbeda dengan kaum nasionalis dan agama, Komunisme dalam hal ini memang sudah habis. Tapi masih banyak generasi progresif ke kiri-kirian yang bermunculan hari ini, baik yang membela kaum papa maupun yang narsis dengan kaus Che Guevara. Juga kaum berjubah, berjenggot, berjidat hitam yang gemar mengembar-gemborkan khilafah. Percayalah, kembali pada substansi pancasila adalah jalan terang masa depan bernegara. Mengcover komunisme dan Khilafah bersama sebagai solusi di bawah naungan Pancasila & bhineka tunggal ika.
Jika Jokowi gagal merangkul keduanya, biarkan dek Raisa yang angkat suara menyanyikan indonesia raya. Buat para kamerad dan akhi fillah, "Internasionale dan pekikan takbir ditahan dulu ya." Sahut dek Raisa mencairkan suasana.
Posting Komentar