Belajar membaca dari Gus Dur

Unknown Reply 07.11



Membaca buku merupakan aktivitas yang jarang disukai kolega saya. Namun mereka yang membenci kegiatan ini ia tidak tahu betapa membaca memberi manfaat yang luar biasa bagi kita sebagai makhluk paripurna. Banyak diantara kolega saya yang mencibir para “pembaca buku” entah dari ejekan kutu buku, anti sosial, maupun tukang bacot. Senyum adalah jawaban bagi mereka yang mencibir para pembaca dengan apapun alasanya. Tentunya para pecinta pengetahuan dan pembaca buku akan merasa risih bila dicibir seperti diatas, tapi kegiatan membaca bagi para book lover telah menjadi candu yang memiliki kenikmatan tersendiri bahkan telah menjadi kebutuhan pokok yang asupanya sangat dibutuhkan untuk keluasan berpikir dan bertindak. Tentunya hal ini tidak dirasakan oleh mereka yang kurang intens dalam membaca, atau intens namun kurang menikmati kegiatan tersebut.

Belajar dari Abdurahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Patung Gus Dur kecil yang ada di taman Amir Hamzah Jakarta tersebut memberi inspirasi yang begitu mendalam tentang urgensi membudayakan membaca sejak dini. Patung tersebut adalah representatif dari sosok Gus Dur yang luas dalam berpikir dan bertindak dalam problematika keumatan dan kebangsaa. 

Tentunya hukum kausalitas berlaku.dimana kita melihat sosok Gus Dur yang meski kurang bagus dalam bidang akademik, namun berpengetahuan melampaui para akademisi semstinya. Betapa Gus Dur sesungguhnya telah memetik buah dari hasil menanamnya sejak dini. Koleksi buku KH. Wahid Hasyim adalah saksi sejarah betapa rakusnya Abdurrahman kecil dalam menghabiskan malam demi malam untuk membaca buku koleksi ayahnya. Dari mulai buku yang paling kanan hingga kiri beliau lahap dengan penuh keriangan tanpa adanya suatu paksaan dari ayahnya. Embrio ini yang kemudian beliau kembangkan dalam dunia tulis menulis. Sehingga terjadilah persingunggan antara dunia wacana dan realita yang beliau tuliskan dalam kolom-kolomnya yang renyah.

Terbentuknya sikap kritis, dewasa, humoris, dan retorika yang lugas dalam berbagai bahasa adalah buah ketekunan dalam membaca. Namun kegiatan membaca juga harus diimbangi oleh praktik atas gagasan-gagasan dalam teks sehingga terjadilah proporsionalitas alam ide dan alam materi. Sehingga teks-teks yang dikonsumsi tidak membusuk dalam alam ide yang absurd. 

Mari kita teladani sosok Abdurrahman Ad-Dakhil dalam segala aspek. Lewat membaca tradisi pembentuk epistemologinya. Terutama dengan cara membudayakan membaca. Wallahu A’lam.



Malang-16-juni-2015
Menjemput datangnya bulan penuh berkah “Ramadhan”

Politik Tasabuh ; Gerakan Nasionalisme masyarakat pinggiran

Unknown Reply 07.43



Indonesia merupakan Negara berkembang, dengan masyarakat yang heterogen. Kemerdekaan Negara Indonesia didapat tidak semudah membalikan telapak tangan. Semangat Nasionalisme membara dalam jiwa setiap masyarakat dalam mengusir segala bentuk imperialisme di tanah nusantara. Namun siapa sangka benih-benih nasionalisme bukan hanya difahami oleh kalangan terpelajar/bangsawan yang tergabung dalam organisasi Boedi Oetomo saja, yang dewasa kini telah banyak ditulis dalam sejarah nasional sebagai organisasi pelopor kemerdekaan. Dalam penulisan sejarah dan pemaparan sejarahwan tidak semuanya obyektif dalammenyajikan sejarah, masih ada kelas-kelas dan sederet kepentingan yang menyertainya. Kendati demikian penulis mencoba menuliskan kebenaran sejarah yang terlupakan. sebuah gerakan nasionalisme yang dipelopori oleh kaum pesantren dan pribumi yang tidak banyak ditulis, atau bahkan tidak pernah ditulis oleh para sejarahwan.

Jawa Timur, merupakan provinsi dipulau jawa dengan penduduk mayoritas petani dan nelayan. Masyarakat di provinsi ini mayoritas adalah muslim, tanpaharus mempersoalkan kelas-kelas antara Santri, Abangan, maupun bangsawan, seperti yang dituliskan Cliford Greatz dalam penelitianya “The Relegion of Java”. Dari Jawa Timur menuju Jombang. Sebuah daerah di provinsi jawa timur yang terkenal dengan kota santri. Dikarenakan banyaknya pondok pesantren yang berdiri diwilayah tersebut. Tebuireng sebuah pondok pesantren tertua di kabupaten tersebut sebagai institusi yang mengajarkan tentang berbagai keilmuan Agama Islam. Bertempatkan di daerah yang subur dengan masyarakat mayoritas petani, tempat ini menarik kaum kolonial belanda untuk mengeruk kekayaan alamnya, Terbukti dengan adanya pabrik tebuh milik Belanda yang sampai hari ini berdiri kokoh. 

Hadratus syekh KH. Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama’, intelektual organik yang berani menentang setiap kebijakan pemerintah hindia-belanda yang dinilai menindas kaum pribumi. Salah satunya dengan mengeluarkan dalil atau plat form politik yang dapat membangun semangat dan persatuan antar umat waktu itu. “Man Tasabaha bikaumin fahua minhum” (barang siapa yangmenyerupai kaum tersebut, maka termasuk dalam golonganya). Merupakan salah satu plat form politik yang digunakan beliau dalam menanamkan jiwa nasionalisme diantara masyarakat petani dengan pendekatan keagamaan dan kebudayaan tradisional.

Sebuah gerakan yang digalang oleh kaum pesantren dan masyarakat pinggiran tersebut, terbukti sangat efektif dalam mengusir penjajah. Puncak dari gerakan tersebut adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan platform “Hubbul Wathon minal Iman”. Bekerja sama dengan Bung Tomo, para santri dan arek-arek soerabaya berhasil mengusir kolonialisme yang ingin kembali menduduki Negara Indonesia. Sampai hari ini kita pringati sebagai hari pahlawan nasional 10 November.

Maka dari itu sebagaimana pesan Ir.Soekarno “Jasmerah” (Jangansekali-kali melupakan sejarah) melihat dan memahami sejarah dengan obyektif. Sekecil apapun peran andil kejadian tersebut sejarah tetaplah sejarah. Bukan barang yang sakral, namun penting sebagai pegangan dalam menatap masa depan. Wallahulmuwafiq ila aqwami thoriq.

Malang13-02-2015
disampaikan untuk sekolah ideologi

Gus Ulil yang saya kenal

Unknown Reply 02.40



                  “Menyampaikan buah pikir  bagi seorang intelektual adalah sebuah panggilan jiwa” –Uil Abshar Abdallah

          Tulisan ini sengaja saya tulis sebagai upaya saya dalam mengenali pikiran Ulil Abshar Abdalla yang kurang bisa diterima pada pemahaman ke-islaman di Indonesia. Pasca memberikan orasi ilmiahnya pada salah satu seminar di UIN Malang saya berkesempatan bertemu langsung dengan Ulil Abshar Abdallah untuk  wawancara majalah kampus. Sosok yang ramah ini mempersilahkan saya untuk masuk kedalam mobil dan melakukan dialog dalam mobil, pada mulanya saya sudah mempersiapkan list pertanyaan yang ingin saya lontarkan namun saya terbawa asik dengan dialog yang memicu rasa penasaran saya terhadap pemikiran sosok Ulil yang terkenal kontrofersial. Esai sederhana ini adalah sebuah rangkuman dari perbincangan kita yang kurang lebih berlangsung selama 2-3 jam.

Ulil dan Pesantren

        Adalah sebuah rahasia umum bahwa sosok Ulil tidak bisa terlepas dengan dunia pesantren, bukan karena beliau adalah menantu dari seorang kyai besar di pulau jawa. Namun sejak kecil Ulil sangat akrab dengan dunia pesantren, beliau nyantri di kajen pada Alm. KH. Sahal Mahfud. Beliau menyatakan pemikiran saya terbangun sejak dari pesantren, peran pesantren dalam membentuk pemikiran beliau sangat signifikan. Dari pesantrenlah beliau belajar membaca kitab klasik (Kitab kuning), dari pesantren juga beliau membaca literatur-literatur pemikiran kontemporer. “Saya membaca buku “Islam” karangan Prof. Fazlur Rahman ya sejak nyantri di kajen, saya membaca buku tersebut dengan bantuan kamus dan bekal bahasa inggris yang pas-pasan”. Dari pesantren juga beliau membaca jurnal prisma, pemikiran cak Nur, Gus Dur, Ahmad Wahib, Jalaludin Rahmat dan pemikir kontemporer lainya, ujar beliau kepada saya.

                Gus Ulil mengakui bahwa kebiasaanya diatas adalah terinspirasi  oleh sosok Alm. KH. Sahal Mahfud. “Beliau sangat inspired bagi saya, sosok kyai yang ideal selain mahir mengotak-atik kitab klasik, beliau juga cas-cis-cus mengunakan terminologi-terminologi kontemporer dan menjelaskan perkembangan keilmuan kontemporer, saya selalu mengikuti setiap pengajian dan ceramah beliau di pesantren.”. Namun tidak semua pemikiran Ulil sama persis seperti halnya Kh. Sahal, terbukti setelah Ulil mengembangkan pikiranya banyak ketidak sesuaian antara pemikiran Ulil dan Kh. Sahal dan hal ini diakui oleh beliau.

Ulil dan JIL

               Banyak yang mengatakan bahwa pemikir-pemikir neo-modernis Indonesia seperti cak Nur, Gus Dur, kang Jalal, Harun Nasution pemikiran mereka sangat dipengaruhi oleh basic keilmuan yang berkembang di barat, artinya pemikiran neo-modernis banyak dipengaruhi oleh kegiatan akademik barat dimana mereka ditempa. Tesis ini saya lontarkan kepada Ulil apakah pengalaman dan keilmuan di Boston University mempengaruhi paradigma pemikiran Ulil dalam JIL.? Ulil menepis tesis saya dengan mengatakan bahwa “Saya membentuk JIL tahun 2001  jauh sebelum saya belajar ke Amerika, jadi pemikiran-pemikiran itu sudah saya kembangakan ketika belajar di Jakarta”. Namun tidak menutup kemungkinan pemikiran JIL pra Ulil belajar di Boston dan pasca belajar di Boston mengalami perbedaan yang signifikan, seiring berkembangnya keilmuan yang Ia geluti.

               Gus  Ulil juga memaparkan tentang sekte yang kurang bisa menerima pemikiran JIL. “Pada dasarnya kita tidak bisa memaksakan suatu pikiran agar diakui kebenaranya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Asal tidak saling mengklaim kebenaran dan saling mengkafirkan antar sesama, bahkan saya merasa bangga lewat JIL saya bisa membantu ruang diskursus kajian keislaman di Indonesia. Saya tidak mengiginkan JIL di ikuti semua umat islam Indonesia atau NU, bagi saya asal ada ruang untuk berbeda pendapat dan ruang ini tidak dilarang sudah cukup untuk menciptakan diskursus keislaman”. Sejarah telah mencatat di Timur maupun Barat pemikir-pemikir yang berani mendobrak kenyamanan pemikiran dominan status quo, akan di singkirkan dengan berbagai cara seperti kasus hukuman mati Sokrates, Galilei Galileo, Giurdano Bruno di barat, di timur ada Al Hallaj, Ibnu Araby, Suhrawardi, Siti Jenar, Faraq Fauda mereka adalah pemikir-pemkir yang berani menerima segala resiko. “Karena sejatinya seorang pemikir/intelektual ketika tidak bisa menyampaikan gagasan pikiranya ada rasa sakit tersendiri, karena menyampaikan pikiran bagi intelektual adalah sebuah panggilan jiwa,” ucap Gus Ulil pada saya.

Tokoh-Tokoh yang membentuk pemikiran Ulil

                Ulil muda sangat dipengaruhi oleh KH. Sahal Mahfud ketika nyantri di Matholiul Falah kajen. Lewat LSM yang dibentuk utuk mengadvokasi dunia pesantren dan pengembangan sosial. Disana Ulil mulai bergelut dengan dunia sosial. Perpustakaan pondok KH. Sahal juga membentuk keluasan khazanah keislaman Ulil dengan menemukan banyak buu-buku pemikiran islam kontemporer.

“Benih-benih pemikiran saya dibukakan oleh kyai Sahal. Saya mengenal Cak Nur, Gus Dur, Masdar Farid Masdudi, Jalaludin Rahmat, A. Wahib, Djohan Efendi, Abu Ala Maududi, Fazlur Rahman, sayyid Quttub, Yusuf Qordawi. saya membaca berbagai macam aliran pemikiran  semuanya saya akses dari pesantren kyai Sahal. Namun terus terang yang membangun pemikiran saya adalah Cak Nur, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat, dan Masdar farid Masdudui.” Jelas Gus Ulil.


Di akhir pertemuan saya sodorkan buku karya Ulil “membakar rumah Tuhan” dan “Menyegarkan pikiran Islam” salah satu koleksi buku saya karya beliau. Beliau membubuhkan tanda tangan dan berpesan pada saya “Kamu masih mudah, terus belajar, berpikir dan berkarya. Cuma ini yang bisa orang tua pesankan pada anaknya”. Terima kasih Gus pertemuan yang asik dan semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.


Wajah Kampus Hari ini

Unknown 2 23.45



Dunia perguruan tinggi diyakini sebagai lembaga pendidikan yang dihuni oleh sekumpulan manusia beradab, berilmu, dan berpikiran maju.  Lembaga ini dipercaya sebagai chondrodimuko para cendekia untuk menenmpa berbagai macam keilmuan. Kampus juga tempat eksplorasi selain keilmuan juga segala bentuk keindahan. Dengan tradisi progresif, inovatif, dan produktif. Deskripsi diatas mungkin terlalu ideal jika kita lihat perkembangan lembaga tinggi ini di Indonesia. Nur Cholis Madjid dalam bukunya bilik-bilik pesantren telah mengakui bahwa lembaga perguruan tinggi yang berkembang di Indonesia tidaklah indigeous—baca mencirikan pendidikan murni yang lahir di Indonesia—melainkan kenang-kenangan kaum kolonial belanda. Diakui atau tidak lembaga ini meski bukan indigeous bila dibanding lembaga pesantren, secara survival lembaga ini memang terus mengalami perkembangan. Namun sayangnya perkembangan ini tidak disertai sikap serta prinsip yang tegas atas segala tantangan zaman kekinian.

Penulis tidak ingin membandingkan kampus era penjajah, orde lama, orde baru, sampai reformasi kekinian. karena memang setip zaman memiliki tantangan yang beragam. Namun yang penulis ingin angkat bahwa perkembangan kampus kekinian jauh dari kata ideal sebagai perguruan tinggi yang representatif atas kemajuan bangsanya. 

Ada beberapa penyakit yang mengerogoti wajah perguruan tinggi kita. Pertama lembaga perguruan tinggi di Indonesia secara sadar maupun tidak telah ikut serta mendemonstrasikan dan menuntun masyarakat untuk berpikiran pragmatis. Bila dilihat wajah kampus yang hadir mengiming-imingi orientasi bekerja, bahkan tidak jarang mengkomersialkan beasiswa dan fasilitas. Hal ini secara missi dan niat sudah melenceng dari hakikat mencari ilmu dan menciptakan manusia yang utuh. Kedua akhir-akhir ini kampus tidak ubahnya seperti tempat wisata. Yang didalamnya dijaga oleh satpam dan bila masuk harus membayar karcis. Sifat ekslusif seperti ini yang akan menciptakan kelas-kelas baru dalam tataran masyarakat. Berbedah jauh dengan tridarma perguruan tinggi yang menjunjung tinggi nilai pengabdian di masyarakat, yang hari ini juga mulai dikomersialkan oleh elite birokrat. Ketiga rendahnya tradisi akademik dan budaya ilmiah didalamnya. Kronisnya para dosen selain kurang berhasil mengiring para mahasiswanya kearah tersebut, juga krisis tauladan diantara para dosen. sehingga wajar kiranya jika produktifitas dalam berkarya mengalami stagnasi bahkan plagiasi menjamur. Hal ini juga dapat diakibatkan pragmatisme para dosen. Mereka memosikan diri sebagai “pekerja” setelah ngajar, ngisi seminar, ngasi tugas lalu pulang. Kinerjanya diukur oleh uang bukan pengabdian. Keempat kampus kembali membatasi kebebasan mahasiswanya, tradisi orde baru nampaknya masih tertanam. Terlihat dari kebijakan-kebijakan birokrasi hari ini. Batas usiadikampus dibatasi, kebebasan bersikap kritis dikebiri, dengan alih-alih “Sudahlah kuliah yang benar, lulus, dan kerja” pragmatisme ini menjangkit disemua elemen sehingga mahasiswa adalah calon buruh yang dipersiapkan hanya untuk bekerja pada pemilik modal-modal besar (Kapital).

Andai Ki Hajar Dewantara, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan  hidup di abad ini mungkin lembaga perguruan tinggi dan oknum-oknum birokrasi didalamnya akan merasa malu. Betapa pendidikan hanya dipakai untuk kepentingan personal maupun kelompok. Katakan tidak untuk kampus yang kolot,katakan tidak untuk kampus yang mahal, katakan tidak untuk kampus yang pragmatis, katakan tidak untuk kampus yang mengkapitalisasi keilmuan, katakan tidak untuk semuanya. Dan teruntuk para menteri baik M. Natsir, Anies Baswedan, maupun Lukman Hakim bersinergilah untuk pendidikan kedepanya. Teruntuk semua rektor dan dosenku, maaf jika mahasiswamu lancang mengumbar busuknya borok yang ada ditubuh kita yang tak kunjung diobati. Narasi ini bukan hanya romantisme ideal yang mengambang. Namun hanya bentuk kepedulian yang mendalam. Wallahu A’lam.



Java Corner Coffee
Malang, 10-06-2015

Kritik Marhenisme

Unknown Reply 08.04



Oleh: M. Abdur Rouf Hanifuddin

            Marhaen nama petani yang menjadi ideologi dari pikiran soekarno tentang kelas masyarakat Indonesia yang bercirikas berdikari dalam hal ekonomi. Kelas ploretar ini berbeda dengan ploretariat yang digambarkan Karl Marx dalam magnum opus das capital-nya. Mereka mempunya alat kerja sendiri, tempat kerja sendiri, serta bekerja dan mengambil keuntungan secara pribadi. Hal ini sebagaimana refrensi buku autobiografi Soekarno paling otentik karya jurnalis amerika Chindy Adam dalam biografi Ir.Soekarno “Penyambung lidah rakyat” :

Aku baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mulamula ia hanya  berupa  kuncup  dari  suatu  pemikiran  yang  mengorekngorek  otakku,  akan  tetapi  tidak  lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat pekerjapekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian masingmasing menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan yang bekerja sendiri dengan alatalat seperti tongkat kail, kailnya dan perahu  kepunyaan sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya. Orangorang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari  alat  produksi  mereka  sendiri,  jadi  mereka  bukanlah  rakyat  proletar.  Mereka  punya  sifat  khas tersendiri. Mereka  tidak  termasuk  dalam  salah  satu  bentuk  penggolongan.  Kalau  begitu,  apakah  mereka  ini sesungguhnya?  Itulah  yang  menjadi  renunganku  berharihari,  bermalammalam  dan  berbulanbulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian, yang  oleh  ahli  ekonomi  disebut  dengan  istilah  "Penderita  Minimum"?  

Di  suatu  pagi  yang  indah  aku bangun  dengan  keinginan  untuk  tidak  mengikuti  kuliah,  ini  bukan  tidak  sering  terjadi.  Otakku  sudah terlalu penuh dengan soalsoal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi. Sementara  mendayung  sepeda  tanpa  tujuan  —sambil  berpikir—  aku  sampai  di  bagian  selatan  kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masingmasing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri. 
Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku berdiri  disana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?".
Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan." Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersamasama dengan orang lain?". "0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya." "Tanah ini kaubeli?". "Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun." Ketika  ia  terus  menggali,  akupun  mulai  menggali  .....  aku  menggali  secara  mental.  Pikiranku  mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubitubi pula.
"Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka'il kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?" 
"Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?"
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkau
punya?"
"Ya, gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanja. "Marhaen." Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku  rakyat  Marhaen.

Diatas adalah kutipan dari autobiografi Ir.Soekarno yang ditulis Cindy Adam berdasarkan penuturan langsung dari mulut bung revolusi, sehingga menjadikan buku paling otentik dalam kajian biografi bapak proklamator.  Namun jika kita sedikit mengkritisi pikiran yang mengilhami ideologi marhen sah kiranya kita melakukan spekulasi-spekulasi nakal mengingat Soekarno adalah orang yang ahli beretorika dan menciptakan istilah-istilah sarat ideologi seperti Berdikari, Jasmerah, Nekolim, Islam Sontoloyo, dan sederet istilah ideologis lainya. 

Marhaen adalah salah satu diantara term-term diatas, jika melihat secara aspek historis maka sah-sah saja seorang Soekarno melakukan nomanklato bagi rakyat bangsanya yang dianggap unik secara pekerjaan. Namun secara filosofis perlu kita kritisi nama marhen sendiri cukup ganjil nampaknya dan sarat akan ragam karakter yang disingkat dalam satu istilah. Logikanya, dimasa pra-kemerdekaan kebanyakan masyarkat pribumi memberi nama sesuai agama maupun mitologi yang berkembang didaerahnya. Namun nama bapak Marhen sedikit berbedah jika dibandingkan nama-nama pada manusia pribumi pada umumnya. Marhen terkesan agak kebarat-baratan, dari sini penulis berspekulasi bahwa Marhen adalah istilah gabungan dari Marx, Hegel, dan Lenin. Tiga tokoh komunis ini adalah tokoh-tokoh berpengaruh dalam dunia wacana kiri dan perubahan sosial. Mengingat Soekarno muda selain anak bangsawan yang terdidik juga seorang pengagum faham kiri. Sebagai mana pidato beliau dalam pidatonya di gedung Tri Carya Cakti 1965

“Pancasila dipakai untuk mendemonstir anti kepada komunisme. Bahwa sebenarnya pancasila tidak bertentangan dengan komunisme, pendek kiranya saudara-saudara mengaku anak dari bung karno. Saya tidak mau mempunyai anak yang tidak kiri”

 Terlepas Soekarno seorang pro-komunis atau bukan. Andai bung revolusioner itu hidup dimasa sekarang saya ingin bercengkrama mengkritisi dan mempertanyakan tentang kebenaran Marhen. Jangan-jangan Soekarno sedang berfiksi untuk menyalurkan ideologinya untuk dapat diterima dikalangan pribumi. Ala kulli hal, kritikan spekulatif ini adalah bentuk kecintaanku sebagai seorang Soekarnois. Soekarno yang saya kenal adalah mempunyai rasa cinta yang tinggi akan 3 hal “Beliau mencintai bangsanya, mencintai wanita, dan mencintai dirinya sendiri”. Bukan berarti seorang Soekarnois tidak boleh mengkritisi segala sesuatu tentang bapak ideologinya bukan.?. Wallahu A’lam.

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut