Kritik Marhenisme
Oleh: M. Abdur Rouf
Hanifuddin
Marhaen
nama petani yang menjadi ideologi dari pikiran soekarno tentang kelas
masyarakat Indonesia yang bercirikas berdikari dalam hal ekonomi. Kelas
ploretar ini berbeda dengan ploretariat yang digambarkan Karl Marx dalam magnum
opus das capital-nya. Mereka mempunya alat kerja sendiri, tempat kerja
sendiri, serta bekerja dan mengambil keuntungan secara pribadi. Hal ini
sebagaimana refrensi buku autobiografi Soekarno paling otentik karya jurnalis
amerika Chindy Adam dalam biografi Ir.Soekarno “Penyambung lidah rakyat” :
Aku
baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku.
Mula‐mula ia hanya berupa kuncup
dari suatu pemikiran
yang mengorek‐ngorek otakku,
akan tetapi tidak
lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di
kepulauan kami terdapat pekerja‐pekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam
segi keuangan terlalu menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik
dan ekonomi. Sungguhpun demikian masing‐masing menjadi majikan
sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak
kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak
mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayan‐nelayan
yang bekerja sendiri dengan alat‐alat —seperti
tongkat kail, kailnya dan perahu— kepunyaan sendiri. Dan
begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai
tunggal dari hasilnya. Orang‐orang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua
menjadi pemilik dari alat produksi
mereka sendiri, jadi
mereka bukanlah rakyat
proletar. Mereka punya
sifat khas tersendiri.
Mereka tidak termasuk
dalam salah satu
bentuk penggolongan. Kalau
begitu, apakah mereka
ini sesungguhnya? Itulah yang
menjadi renunganku berhari‐hari, bermalam‐malam dan
berbulan‐bulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah
namanya para pekerja yang demikian, yang
oleh ahli ekonomi
disebut dengan istilah
"Penderita Minimum"?
Di suatu
pagi yang indah
aku bangun dengan keinginan
untuk tidak mengikuti
kuliah, ini bukan
tidak sering terjadi.
Otakku sudah terlalu penuh dengan
soal‐soal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada
studi. Sementara mendayung sepeda
tanpa tujuan —sambil
berpikir— aku sampai
di bagian selatan
kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat
menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masing‐masing
luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku
tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang
diri.
Pakaiannya
sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada
rakyatku. Aku berdiri disana sejenak
memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah,
maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya
semua yang engkau kerjakan sekarang ini?".
Dia berkata
kepadaku, "Saya, juragan." Aku bertanya lagi, "Apakah engkau
memiliki tanah ini bersama‐sama dengan orang lain?". "0, tidak, gan. Saya sendiri
yang punya." "Tanah ini kaubeli?". "Tidak. Warisan bapak
kepada anak turun temurun." Ketika
ia terus menggali,
akupun mulai menggali
..... aku menggali
secara mental. Pikiranku
mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir,
tanyaku semakin bertubi‐tubi pula.
"Bagairnana
dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka'il kepunyaanmu juga?"
"Ya,
gan."
"Dan
cangkul?"
"Ya,
gan."
"Bajak?"
"Saya punya,
gan."
"Untuk
siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk
saya, gan."
"Apakah
cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat
bahu sebagai membela diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup
untuk seorang isteri dan empat orang anak?"
"Apakah
ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya
sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau
mempekerjakan orang lain?"
"Tidak,
juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah
engkau pernah memburuh?"
"Tidak,
gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk
saya."
Aku menunjuk ke
sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk
saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi
kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami
berbicara, "Semua ini engkau
punya?"
"Ya,
gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanja.
"Marhaen." Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones.
Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk
rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu
kunamakan rakyatku rakyat Marhaen.
Diatas
adalah kutipan dari autobiografi Ir.Soekarno yang ditulis Cindy Adam
berdasarkan penuturan langsung dari mulut bung revolusi, sehingga menjadikan
buku paling otentik dalam kajian biografi bapak proklamator. Namun jika kita sedikit mengkritisi pikiran
yang mengilhami ideologi marhen sah kiranya kita melakukan spekulasi-spekulasi
nakal mengingat Soekarno adalah orang yang ahli beretorika dan menciptakan
istilah-istilah sarat ideologi seperti Berdikari, Jasmerah, Nekolim, Islam
Sontoloyo, dan sederet istilah ideologis lainya.
Marhaen
adalah salah satu diantara term-term diatas, jika melihat secara aspek historis
maka sah-sah saja seorang Soekarno melakukan nomanklato bagi rakyat bangsanya
yang dianggap unik secara pekerjaan. Namun secara filosofis perlu kita kritisi
nama marhen sendiri cukup ganjil nampaknya dan sarat akan ragam karakter yang
disingkat dalam satu istilah. Logikanya, dimasa pra-kemerdekaan kebanyakan masyarkat
pribumi memberi nama sesuai agama maupun mitologi yang berkembang didaerahnya.
Namun nama bapak Marhen sedikit berbedah jika dibandingkan nama-nama pada
manusia pribumi pada umumnya. Marhen terkesan agak kebarat-baratan, dari sini
penulis berspekulasi bahwa Marhen adalah istilah gabungan dari Marx, Hegel, dan
Lenin. Tiga tokoh komunis ini adalah tokoh-tokoh berpengaruh dalam dunia wacana
kiri dan perubahan sosial. Mengingat Soekarno muda selain anak bangsawan yang
terdidik juga seorang pengagum faham kiri. Sebagai mana pidato beliau dalam
pidatonya di gedung Tri Carya Cakti 1965
“Pancasila dipakai untuk mendemonstir anti kepada komunisme. Bahwa
sebenarnya pancasila tidak bertentangan dengan komunisme, pendek kiranya
saudara-saudara mengaku anak dari bung karno. Saya tidak mau mempunyai anak
yang tidak kiri”
Terlepas Soekarno seorang pro-komunis atau
bukan. Andai bung revolusioner itu hidup dimasa sekarang saya ingin
bercengkrama mengkritisi dan mempertanyakan tentang kebenaran Marhen.
Jangan-jangan Soekarno sedang berfiksi untuk menyalurkan ideologinya untuk dapat
diterima dikalangan pribumi. Ala kulli hal, kritikan spekulatif ini
adalah bentuk kecintaanku sebagai seorang Soekarnois. Soekarno yang saya kenal
adalah mempunyai rasa cinta yang tinggi akan 3 hal “Beliau mencintai bangsanya,
mencintai wanita, dan mencintai dirinya sendiri”. Bukan berarti seorang
Soekarnois tidak boleh mengkritisi segala sesuatu tentang bapak ideologinya
bukan.?. Wallahu A’lam.
Posting Komentar