Kritik Marhenisme

Unknown Reply 08.04



Oleh: M. Abdur Rouf Hanifuddin

            Marhaen nama petani yang menjadi ideologi dari pikiran soekarno tentang kelas masyarakat Indonesia yang bercirikas berdikari dalam hal ekonomi. Kelas ploretar ini berbeda dengan ploretariat yang digambarkan Karl Marx dalam magnum opus das capital-nya. Mereka mempunya alat kerja sendiri, tempat kerja sendiri, serta bekerja dan mengambil keuntungan secara pribadi. Hal ini sebagaimana refrensi buku autobiografi Soekarno paling otentik karya jurnalis amerika Chindy Adam dalam biografi Ir.Soekarno “Penyambung lidah rakyat” :

Aku baru berumur 20 tahun ketika suatu ilham politik yang kuat menerangi pikiranku. Mulamula ia hanya  berupa  kuncup  dari  suatu  pemikiran  yang  mengorekngorek  otakku,  akan  tetapi  tidak  lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Di kepulauan kami terdapat pekerjapekerja yang bahkan lebih miskin daripada tikus gereja dan dalam segi keuangan terlalu menyendihkan untuk bisa bangkit di bidang sosial, politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian masingmasing menjadi majikan sendiri. Mereka tidak terikat kepada siapapun. Dia menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain. Dan terdapatlah nelayannelayan yang bekerja sendiri dengan alatalat seperti tongkat kail, kailnya dan perahu  kepunyaan sendiri. Dan begitupun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya. Orangorang semacam ini meliputi bagian terbanyak dari rakyat kami. Semua menjadi pemilik dari  alat  produksi  mereka  sendiri,  jadi  mereka  bukanlah  rakyat  proletar.  Mereka  punya  sifat  khas tersendiri. Mereka  tidak  termasuk  dalam  salah  satu  bentuk  penggolongan.  Kalau  begitu,  apakah  mereka  ini sesungguhnya?  Itulah  yang  menjadi  renunganku  berharihari,  bermalammalam  dan  berbulanbulan. Apakah sesungguhnya saudaraku bangsa Indonesia itu? Apakah namanya para pekerja yang demikian, yang  oleh  ahli  ekonomi  disebut  dengan  istilah  "Penderita  Minimum"?  

Di  suatu  pagi  yang  indah  aku bangun  dengan  keinginan  untuk  tidak  mengikuti  kuliah,  ini  bukan  tidak  sering  terjadi.  Otakku  sudah terlalu penuh dengan soalsoal politik, sehingga tidak mungkin memusatkan perhatian pada studi. Sementara  mendayung  sepeda  tanpa  tujuan  —sambil  berpikir—  aku  sampai  di  bagian  selatan  kota Bandung, suatu daerah pertanian yang padat dimana orang dapat menyaksikan para petani mengerjakan sawahnya yang kecil, yang masingmasing luasnya kurang dari sepertiga hektar. Oleh karena beberapa hal perhatianku tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Dia seorang diri. 
Pakaiannya sudah lusuh. Gambaran yang khas ini kupandang sebagai perlambang daripada rakyatku. Aku berdiri  disana sejenak memperhatikannya dengan diam. Karena orang Indonesia adalah bangsa yang ramah, maka aku mendekatinya. Aku bertanya dalam bahasa Sunda, "Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?".
Dia berkata kepadaku, "Saya, juragan." Aku bertanya lagi, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersamasama dengan orang lain?". "0, tidak, gan. Saya sendiri yang punya." "Tanah ini kaubeli?". "Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun." Ketika  ia  terus  menggali,  akupun  mulai  menggali  .....  aku  menggali  secara  mental.  Pikiranku  mulai bekerja. Aku memikirkan teoriku. Dan semakin keras aku berpikir, tanyaku semakin bertubitubi pula.
"Bagairnana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ka'il kepunyaanmu juga?"
"Ya, gan."
"Dan cangkul?"
"Ya, gan."
"Bajak?" 
"Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?"
"Untuk saya, gan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Ia mengangkat bahu sebagai membela diri. "Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak?"
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" tanyaku.
"Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?"
"Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?"
"Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya."
Aku menunjuk ke sebuah pondok kecil, "Siapa yang punya rumah itu?"
"Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri."
"Jadi kalau begitu," kataku sambil menyaring pikiranku sendiri ketika kami berbicara, "Semua ini engkau
punya?"
"Ya, gan."
Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanja. "Marhaen." Marhaen adalah nama yang biasa seperti Smith dan Jones. Disaat itu sinar ilham menggenangi otakku. Aku akan memakai nama itu untuk rnenamai semua orang Indonesia bernasib malang seperti itu! Semenjak itu kunamakan rakyatku  rakyat  Marhaen.

Diatas adalah kutipan dari autobiografi Ir.Soekarno yang ditulis Cindy Adam berdasarkan penuturan langsung dari mulut bung revolusi, sehingga menjadikan buku paling otentik dalam kajian biografi bapak proklamator.  Namun jika kita sedikit mengkritisi pikiran yang mengilhami ideologi marhen sah kiranya kita melakukan spekulasi-spekulasi nakal mengingat Soekarno adalah orang yang ahli beretorika dan menciptakan istilah-istilah sarat ideologi seperti Berdikari, Jasmerah, Nekolim, Islam Sontoloyo, dan sederet istilah ideologis lainya. 

Marhaen adalah salah satu diantara term-term diatas, jika melihat secara aspek historis maka sah-sah saja seorang Soekarno melakukan nomanklato bagi rakyat bangsanya yang dianggap unik secara pekerjaan. Namun secara filosofis perlu kita kritisi nama marhen sendiri cukup ganjil nampaknya dan sarat akan ragam karakter yang disingkat dalam satu istilah. Logikanya, dimasa pra-kemerdekaan kebanyakan masyarkat pribumi memberi nama sesuai agama maupun mitologi yang berkembang didaerahnya. Namun nama bapak Marhen sedikit berbedah jika dibandingkan nama-nama pada manusia pribumi pada umumnya. Marhen terkesan agak kebarat-baratan, dari sini penulis berspekulasi bahwa Marhen adalah istilah gabungan dari Marx, Hegel, dan Lenin. Tiga tokoh komunis ini adalah tokoh-tokoh berpengaruh dalam dunia wacana kiri dan perubahan sosial. Mengingat Soekarno muda selain anak bangsawan yang terdidik juga seorang pengagum faham kiri. Sebagai mana pidato beliau dalam pidatonya di gedung Tri Carya Cakti 1965

“Pancasila dipakai untuk mendemonstir anti kepada komunisme. Bahwa sebenarnya pancasila tidak bertentangan dengan komunisme, pendek kiranya saudara-saudara mengaku anak dari bung karno. Saya tidak mau mempunyai anak yang tidak kiri”

 Terlepas Soekarno seorang pro-komunis atau bukan. Andai bung revolusioner itu hidup dimasa sekarang saya ingin bercengkrama mengkritisi dan mempertanyakan tentang kebenaran Marhen. Jangan-jangan Soekarno sedang berfiksi untuk menyalurkan ideologinya untuk dapat diterima dikalangan pribumi. Ala kulli hal, kritikan spekulatif ini adalah bentuk kecintaanku sebagai seorang Soekarnois. Soekarno yang saya kenal adalah mempunyai rasa cinta yang tinggi akan 3 hal “Beliau mencintai bangsanya, mencintai wanita, dan mencintai dirinya sendiri”. Bukan berarti seorang Soekarnois tidak boleh mengkritisi segala sesuatu tentang bapak ideologinya bukan.?. Wallahu A’lam.

Related Posts

Artikel 3936437206506025823

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut