Manikebu Jilid #2

Unknown Reply 00.04

 
Senja diwarung kopi begitu hangat, semua menikmati kehangatan cahaya semburat tersebut, dengan secangkir kopi dan kepulan asap tembakau yang mengepul perpaduan aroma tiada tara. warung kopi adalah miniatur surgawi bagi para penikmat kopi disela-sela hiruk pikuk duniawi. Nampak dua sekawan yang asik bercengkrama dengan sangat hangatnya.

  “Kebudayaan dan kesusastraan Indonesia dipertengahan tahun 1960-an diwarnai derai tawa dan air mata. Manifes kebudayaan muncul sebagai pendobrak hegemoni Lekra yang bersemboyankan (politik sebagai panglima).” Ungkap Gunawan sambil menyeruput kopi hangat pesananya.

  “Iya wan, saya faham betul itu bapak saya dulu angota Lekra. Ya aku keturunan orang PKI. tapi jika waktu itu para sastrawan dan seniman yang ada dalam barisan manifes kebudayaan itu ada diposisi Lekra yang diatas angin, dengan kedekatan partai komunis dan rezim yang berkuasa mungkin juga akan sama ceritanya” celetuk Abduh sambil menyulut rokok kreteknya yang mati diterpa angin dan dinginya cuaca musim hujan.

Keduanya hanyut dalam keheningan nampak menikmati secangkir kopi dengan kontemplasi ringan, tandanya mereka mensyukuri nikmat Tuhan dengan berfikir dan berefleksi.

  “terkadang aku juga bingung tentang apa yang diharap para sastrawan lewat karya-karyanya. Albert Camus dengan ke-absurdan karyanya membuat orang bingung, Lhu Shum yang melacurkan karyanya bagi komunisme cina Mao Zedong, Nawal El-Sadawi lewat novel-novel karyanya yang terlalu feminis memojokan kaum adam dan tidak obyektif, Pramoedya Ananta Toer roman nasionalismenya juga sarat akan kepentingan, meskipun juga ada para sastrawan Idealis seperti WS. Rendra, Wiji Thukul yang akhirnya hanyut dalam arus” tekas Abduh membuka kembali percakapan, sambil sesekali memandangi gedung-gedung perkotaan yang megah.

    “Duh, kamu percaya bahwa kesenian itu membebaskan bukan.? Sastra adalah seni kebebasan dengan untaian kata-kata indah bagi penikmatnya, tanpa harus didikotomikan dan ditafsirkan secara kaku nan apologetik. Seorang pegiat seni bekerja untuk kesenian, ya seni untuk seni.! Bukan politik dan sederet kepentingan lainya” tutur Gunawan.

   “Alah di zaman edan semua bisa dibeli dengan uang Gun, Idealisme tak terkecuali. Orang idealis juga butuh makan kok hahaha” cetus Abduh yang diiringi gelak tawa.

“Kayaknya kita harus membuat gerakan semacam manifes kebudayaan lagi Duh. Penikmat seni seperti kita hanya menjadi kroco-kroco permainan para sastrawan dan penguasa. Aku jadi geram melihat dunia kesenian Indonesia hari ini semua lebih condong pada kehidupan Hedonis dan percintaan masih menjadi bulan-bulanan topik yang laris manis dipasaran. Seakan-akan kita sengaja dibuat lupa tentang sejarah dan kondisi bangsa kita hari ini” timpal Gunawan dengan raut muka penuh keseriusan.

        “Kamu gak usah ngurusi persoalan negara Gun. Urusi saja kuliahmu yang corat-marut itu hahaha..”

        “Kalo semua orang paradigmanya seperti kamu, mau jadi apa negara ini kedepanya?” tutur Gunawan sok mengurui

“Haha aku Cuma bercanda kawan. Kemarin aku ikut bedah film “SENYAP” sebuah film dokumenter garapan orang barat yang menceritakan tentang fakta testimoni militer dalam pembantaian PKI. Saya penasaran bukan karena saya anak PKI dan bersimpati kepada PKI, tapi saya hanya ingin mengetahui duduk persoalanya secara mendasar.”

“Waduh seruh tuh kayaknya duh. Trus gimana menarik kah?”

“Nah itu persoalanya. Belum sampai kita mendiskusikanya eh ada segerombolan lelaki bertubuh kekar membubarkan forum kami. Ternyata orba belum mati hahaha”

“Tuh kan, kita masih sangat dibatasi, kita belum bebas. Bahkan untuk menikmati dan mengomentari sebuah film yang notabenya sebuah karya seni saja kita dibubarkan karena diangap bahaya bagi oknum-oknum tertentu”

“Memang benar wan katamu tadi, kita harus membuat manifesto kebudayaan lagi. Agar dunia kesenian kita dinamis, produktif dan tentunya berkualitas”

“Mari membubuhkan sederet tinta untuk kebenaran dan kebebasan. Agar pikiran, mulut, tindakan dan nurani kita benar-benar merdeka. Sejarah dan kesusastraan bukanlah suatu alat untuk menindas dengan segudang kebohongan yang tiran, tapi semuanya adalah pembebas.!”

Keduanya  menyeruput kembali kopi hitam dan bersulang untuk sebuah kebebasan dan kebenaran.! 
Revolusi itu dimulai dari meja kopi, dengan berbekalkan kesadaran dan impian yang terlalu indah untuk dijabarkan pada sang senja yang telah menyingsing.

.





Related Posts

cerpen 7960436728427312562

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut