Umat demo 212, Aktivis islam moderat & liberal kalian ngapain.?

Unknown Reply 03.04

Aksi damai bela agama telah mencapai episode 3. Bak Sinetron umat disuguhkan tontonan yang dramatis, menegangkan, & terkadang memaksa kita untuk tertawa. Umat muslim radikal--mereka yang keras beragama secara formalistik--telah menemukan momentumnya. Isu Ahok adalah momentum berkumpul mempertontonkan power politik. Pernakah anda melihat muktamar khilafah di berbagai daerah?. Monas adalah saksi betapa revolusi kecongakan beragama mencongkol membusung dalam dada. Logika legitimasi kebenaran seolah kami suci anda berdosa. Padahal Rasulullah SAW sebagai panutan, mengajarkan bagaimanapun kita di dholimi oleh musuh senantiasa hati kita harus membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Bukan malah marah, egoistik, dan anarki. Tirulah akhlaq Rasul Muhammad, tragedi fathul makkah adalah puncak kasih kemanusiaan. Sampaikanlah ajakan kebenaran dengan penuh kebijaksanaan dan santun.
"Tangkap-tangkap, tangkap si Ahok, tangkap si ahok sekarang juga". Nyanyian tangkap si Ahok bergemuru saat Tito Karnavian memberi sambutan. Suara takbir juga bersahut sahutan, betapa religiusnya para umat yang terbakar amarah atas nama agama. Saat saudara kalian melakukan aksi, umat muslim moderat sampai liberal kalian ngapain.?. Pertanyaan ini menjadi menarik untuk diulas bersama.
Jadi gini, NU & Muhammadiyah sebagai basis ormas terbesar se-Nusantara telah menunjukan sikap tegasnya untuk melarang kader-kadernya mengikuti aksi 212. Seyogyanya orang pesantren moral santri terletak pada perintah para guru dan kyai. Begitu pula umat Muhammadiyah yang terdidik pandai menganalisa gejolak-gejolak persoalan sebagai hal yang logis atau tidaknya. Pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka proses hukum terus berjalan, mengadakan aksi lanjutan dengan tuntutan penistaan agama kurang logis dan bijak. Kecuali jika ada motif lain di dalamnya.
NU, Muhammadiyah mewakili umat moderat. Mereka setuju bahwa ucapan Ahok itu menyinggung. Tetapi juga menghormati proses hukum yang berjalan. Sebagaimana perkataan buya Syafi'i Ma'arif bahwa "kebenaran tidak bisa dikalahkan oleh amarah". Lantas mereka ngapain saat saudara seimanya panas-panasan di ibu kota.?. Kader mereka juga berjihad, para suami pimpinan keluarga tetap bekerja mencari nafkah, para pegawai negara tetap melanjutkan kerja, petani tetap ke sawah, santri tetap ngaji, para kyai mengajar. Dan semuanya menjalankan ibadah jumat secara khidmah di daerahnya masing-masing. Menjauhi kerusakan harus dikedepankan, agar terciptanya kerukunan dan kemaslahatan.
Sedangkan umat liberal sedang tertawa menonton TV melihat begitu banyaknya umat tidak bersalah dengan semangat agama tinggi dimobilisasi. Ditemani kopi, rokok dan buku Karen Amstrong Berperang Demi Tuhan. Sebagian sedang menyiapkan bahan diskusi.
Mereka semua sama-sama berjihad dengan cara mereka sendiri. Bukankah untuk mendapat tiket masuk pintu surga berbagai caranya. Kecuali jika ormas-ormas ekstrim menjadi calo tiket masuk surga terlebih memonopoli surga.
Take a beer.!

Mencintai Duri Mawar

Unknown Reply 01.09
Aku masih menunggunya sedari senja. kulihat kearah jarum jam, kegelisahanku semakin menghujam. Kopi pesananku telah terkikis habis. Iringan lagu The Beatles Don't let me down menggaung membawa ingatanku pada sosok pria yang kutunggu.

Joni, teman semasa kuliahku dulu. Aku dan Joni sudah berkawan sejak kuliah. Persahabatan kita terpisahkan sejak keberuntungan menghampiri Joni dan kesialan bersiam dalam diriku. Ia mendapat beasiswa untuk studi di Amerika, sedangkan aku di drop out oleh kampus karena ketahuan mentatto lenganku dengan gambar mawar. Aku suka pada mawar. Ia elok memikat mata manusia untuk memtiknya. Kecantikanya menyimpan duri-duri sebagi konsekuensi bagi siapa saja yang hendak memilikinya. Mawar mengajarkanku betapa cantik saja tidak cukup untuk dimiliki, demi melihat mawar memekar manusia harus menyiram duri-duri. Mawar juga mengajarkanku bahwa kecantikan menyimpan luka, manusia harus rela tertusuk duri untuk memetik mawar karena mawar melawan. Ia melindungi dirinya bersama duri-duri. Oleh sebab itu kurelakan tanganku kutatto setangkai mawar yang melawan.


"Cantik, sudah lama menunggu.?"
"Kau hampir membuatku kecewa"
"Jon, Ibuku ingin aku cepat menikah"
"Hai Reisa, kita masih muda. Nikmati kebebasan ini, karena masa tidak bisa kembali memuda"
"Jon, Aku serius"

Aku sangat kenal Joni. ia lelaki cerdas. ia selalu berbicara dengan bahasa yang tidak pernah aku mengerti. Ia selalu bercerita tentang manusia-manusia agung penuh bijak. Tapi hari ini kulihat Joni sebagai pengecut yang bersembunyi pada kepintaranya. Ia tidak berani melawan kenyataan.

"Jon, kau tidak bisa menikahiku?"
Joni mengalihkan pembicaraan pada lukisan Jhon Lennon yang mengantung pada dinding kafe.
"Jon, tak usah berbelit"
"Reisa, jangan jadi tua dan menyebalkan"
"Ini bukan soal tua Jon, ini tentang kesetiaan"
"Jika kau ingin segera menikah, carilah lelaki lain"
Ia meninggalkanku dengan meletakkan kumpulan cerita Jenar Maisya Ayu di atas meja kayu, kulihat judul bukunya "Jangan main-main dengan kelaminmu".  

Aku tak bisa membiarkan Joni pergi begitu saja. Alam bawah sadarku membawaku berlari ke dapur kafe. Kuambil pisau yang bergletak diatas meja dapur kafe. Kuraih pisau, aku berlari dengan nafas menjadi-jadi. Kususul Joni yang berjalan sambil handfone ditangan. Kutikam Joni dari belakang, Joni sempat melawan dalam makian.

"Pelacur bangsat.!"
kutikamkan lagi pisau pada tubuhnya. kucabik-cabik ulu hatinya. Ia tehuyung jatuh, kubisikan pada telinganya "Jangan main-main dengan kelaminmu".
Seperti mawar aku diajarkan bagaimana melukai oleh duri. Tak terkecuali pada orang yang mencintai.

 

Kontra Pancasila, PKI atau HTI.?

Unknown Reply 05.41
Belakangan ini publik dan media sedang gencar mengabarkan desas-desus kebangkitan PKI. Phobia terhadap PKI terasa sangat berlebihan. Gimana gak berlebihan, wong yang di takuti sudah tidak ada fisiknya. Sebuah ketakutan yang tidak masuk akal, ditengah kemelekan peradaban dan era digital. Karena pada dasarnya takut terhadap hal yang sudah tidak ada sama halnya mitos belaka apalagi sekedar takut dengan atribut palu arit. Ah, mungkin mereka pakar semiotika.

Sekarang coba kita melihat pada realita. Bukan sekedar membaca masalalu tapi lebih pada perkembangan hari ini. Secara ideologis, phobia terhadap PKI dikarenakan kontra-Pancasila dan NKRI. Kita takut kalau ideologi dan negara kita berganti komunisme. Lantas bagaiaman dengan Khilafah.?, sebuah dengungan proyek kontra-Pancasila dan demokrasi oleh kelompok islam Hizbut Tahrir Indonesia. Yang lebih nyata dan benar-benar ada hari ini, ketimbang hantu bernama PKI.

Selama masih ada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan, selama itu pula perlawanan masih bersemayam. Masyarakat seolah disuguhkan konsumsi logika pemodal serta rezim orde baru, yang takut jika melihat orang pintar berkumpul, bergerilya, dan mengorganisir perlawanan. Jika memang yang kita perjuangkan adalah nasionalisme, dan Pancasila sebagai ideologi bersama maka apa yang lebih kita takuti dari sekedar pemikiran Marxisme-Leninisme yang secara praktik politik sudah hilang di Indonesia. Justru kita harus mawas diri dan lebih berhati-hati pada organ yang secara lantang mengatakan Indonesia, Pancasila, Sistem dan jajaran pemerintahnya adalah Thagut (SETAN). Dimana reaksi keberpihakan aparat dan militer kita atau karena mereka tidak sadar sedang di setankan, entahlah yang pasti ini konyol bagi orang yang mengaku bahwa nasionalisme dan NKRI merupakan harga mati.

Seharusnya sebagai masyarakat modern kita tidak segapang ini dibenturkan oleh isu-isu yang mempolarisasi rakyat terlebih isu tersebut utopis nan gak etis. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan  Pancasilais sejati, perlu dipertanyakan ia benar-benar faham Pancasila atau mengunakan Pancasila sebagai alasan kontra-kemanusiaan yang justru menjadi value Pancasila itu sendiri.


Mari merenung bersama. Bahwa Pancasila menjunjung tinggi ketuhanan, kemanusiaan, permusyawaratan, keadilan serta kesejahteraan. Seharusnya yang kita pukul mundur bukan saudara kita yang hanya memakai atribut PKI, serta sekedar membaca Manifest Komunis, Das kapital, dan roan-roman Pramoedya. Tapi yang perlu kita pukul mundur adalah upaya de-Pancasilais, de-Indonesianis, yang dilakukan oleh HTI dan gerakan politik transnasional lainya. Wong PKI saja kok di takuti, ISIS dan HTI lebih nyata dari sekedar isu-isu murahan tentang kebangkitan PKI.








Anak-anak Relokasi

Unknown Reply 23.14
Kini aku harus mengahbiskan usiaku di penjara. Kata banyak Orang saya telah membunuh Pak Lurah. Bosku sendiri, pemilik pabrik material terkaya se-kota. Kata media aku kesurupan, seperti harimau yang lapar menerka mangsa. Aku membunuh pak lurah tanpa senjata. Ya, hanya dengan tangan kosong dan diri yang tak sadarkan.

Semuanya bermula dari lima belas tahun silam.

Sore itu orang-orang berduyun datang ke kampungku. Jarang sekali desa kami didatangi orang rapi berdasi, bersepatu mengkilat, rambutnya disisir klimis melengket pomade seperti orang-orang di televisi. Seminggu kemudian kami sangat girang melihat alat-alat berat mulai memasuki kampung kami. Maklum anak-anak di kampung kami sangat jarang melihat mesin-mesin macam bego dan orang-orang proyek ber-helm kuning menunganggi mesin-mesin besar terlihat begitu gagah. 

Malam hari Pak Lurah mendatangi rumahku. Sudah dua minggu ini bapak di temui pak lurah bersama orang-orang kota keren itu. Awalnya saya sangat bangga, karena hanya rumah kami yang di datangi oleh mereka. Tapi kebanggan itu seolah sirna sudah. Setelah ibu bercerita bahwa ayah di laporkan ke polisi karena menolak tanahnya di beli oleh orang kota. Ayahku di tuduh komunis, pemberontak, tidak bertuhan, dan penghianat negara. Padahal saya tahu persis ayah selalu taat beribadah dan hafal pancasila. Saat itu adalah awal kebencianku kepada orang kota dan mesin-mesin berat yang ada di kampungku. Sampai suatu senja Ayah pulang kerumah dan mengajak kami sekeluarga untuk pindah.

"Pak kenapa orang-orang kampung di pindahkan.?"
"Dek, kampung ini akan bapak bangun menjadi kota. Semua ada disini supermarket, pabrik, wahana wisata. Apa adik gak mau kalo kampung adik kelak dikunjungi banyak orang dan terkenal" kata Pak lurah seolah merayuku.
Aku hanya manggut-manggut memandang gedung-gedung mulai berdiri tegak terbangun.

                                                                           ***
Sudah lima belas tahun berlalu, tapi ingatan masa kecil itu tetap melekat bersama tumbuh dewasa dan berlalunya masa. Tak salah, omongan pak Lurah waktu itu benar. Kini kampungku yang udik dulu telah menjelma menjadi kota besar. Banyak orang berdatangan membangun rumah, berwisata dan infestasi usaha. Ibuku seminggu yang lalu telah meninggalkan kami. Dokter berkata bahwa Ibu terkena gangguan fungsi ginjal, maklum sumber air di desa baruku tidak sehat, karena tercampur limbah. Kini aku hanya tinggal bersama ayah. Ayahku tidak selantang dahulu, usia dan beragam penyakit telah menggerogoti tubuh tuanya. Kata dokter penyakit ayah terlalu kompleks. Ia sering batuk darah, seiring sesaknya udara karena pabrik kota sebelah.

Sebagai anak kampung. Aku tumbuh dengan mitos-mitos di dalamnya. Ayah pernah mengatakan bahwa keluarga kami adalah trah keturunan ki Ageng Roso, konon beliau sangat ditakuti  para kolonial belanda, dengan kuku-kukunya yang ajaib. ia bisa mencabik-cabik tubuh orang-orang belanda yang hendak merebut sawah. Ia di buru dan konon mati bersama si pitung di bedil oleh gubermen belanda.
Kata ayah, kekuatan itu menurun kepada keluarga kami. Kekuatan itu tidak bisa disalah gunakan dan akan timbul hanya ketika kepepet saja.




                                                                            ***

Pagi ini pikiranku begitu suntuk. Kuteguk arak di meja kamarku sebelum berangkat kerja menuju pabrik milik Pak Lurah. Ya, kini aku menjadi kuli di pabrik material milik pak Lurah di kota sebelah. Kukayuh sepeda menuju kota sebelah. Sesampainya di Pabrik aku kaget melihat temanku di PHK karena ketahuan mengorganisir aksi May Day tempo hari. Sebelum menerima surat PHK ia di teriaki Komunis oleh Pak Lurah. Sontak mataku gelap dan hilang kendali kata itu mengingatkanku pada saat Ayah di penjarah dulu, saat melawan menjual rumah dan sawahnya kepada pemodal dan Pak Lurah. Kutemui diriku terbaring bersimbah darah, Kuku jari-jemariku seolah memanjang dan mencabik-cabik seonggok tubuh yang ada di depanku. Kubunuh kau, "K.O.M.U.N.I.S" pekikan terhair mengantarkan tubuhku ambruk tak sadarkan diri. 

Amnesia Buku Dan Wajah Keresahan Pemodal

Unknown Reply 23.56













Seperti tradisi kompas dan surat kabar besar di Indonesia lainya. Yakni, memajang kolom-kolom elit intelektual, pemodal, birokrat, maupun akademisi. Hari ini nama besar Haidar Bagir seorang pemilik penerbitan islam kenamaan di Indonesia Mizan meluncurkan sebuah opini keresahan yang menarik meski agak berlebihan.

Sebagai penikmat buku yang selalu menyisahkan uang saku untuk belanja buku tiap bulan. Saya memiliki hak untuk mengomentari opini pengagas Islam Cinta tersebut. Artikel Haidar mentereng dengan judul Amnesia Buku. Di buka dengan keresahan, dengan memaparkan hasil riset Central Connectitute Institute Amerika dengan hasil cukup mengagetkan menempatkan Indonesia dalam ratting negara ke 60 dari 61 negara dalam budaya literatur. Artikel Haidar seolah tidak bisa menerima atas kemajuan technologi. Menghawatirkan generasi malas baca dengan semakin cepatnya akses technologi bernama internet merupakan wajah konservatistik. Terlebih yang paling di takutkan oleh Haidar adalah masa depan dunia penerbitan buku.

Logika pemodal apapun dalihnya dan seluhur apapun cita-citanya tidak akan lepas dari untung rugi jual beli. Meski dengan lantangnya Haidar mencemaskan generasi malas baca, dangkal wawasan dengan mengkambing hitamkan kemajuan technologi adalah hal yang klise. Betapa ia tidak pernah berfikir betapa buku sangat susah diakses oleh generasi muda karena harganya yang terlalu membumbung tinggi.?

Sebagai penggemar berat penerbitan Mizan yang selalu menerbitkan buku-buku islamic studies yang berbobot. Saya masih ingat harus menunggu ulang tahun untuk mendapat hadiah ulang tahun dari kekasihku untuk sebuah buku Karen Amstrong "Sejarah Tuhan" yang harganya terlampau mahal untuk sekelas anak petani udik macam saya.

Nampaknya kegelisahan Haidar Bagir tak lebih dari sekedar keresahan sebagai pemodal. Adakah upaya inspiratif dari penerbit sebesar Mizan untuk mengupayakan subsidi buku dari pemerintah ketimbang menghardik generasi kami yang terbelakang karena mahalnya buku bacaan. Sekali lagi salam hangat untuk pak Haidar, bahwa kami generasi unggul bangsa yang ingin terus membangun peradaban bangsa baik secara literatur dan lebih umumnya. Generasi kami memang tak seunggul generasi bapak, GM, apalagi Mochtar Lubis. Namun kami lebih tanggu dari generasi bapak karena kami punya semangat literasi yang tinggi di tengah mahalnya harga buku.

Tuhan, PMII-kah aku?

Unknown 1 04.37





Bila Gus Mus dalam puisi Islamnya menanyakan kepantasanya sebagai seorang muslim. Pada tulisan refleksi ini penulis ingin menanyakan ke PMII-an al-faqir. Awal ketertarikan saya terhadap PMII di kampus tidak lebih karena baground pendidikan saya di masa silam. Sampai hari ini setelah menjadi pengurus komisariat Sunan Ampel Malang, penulis masih bertanya-tanya tentang idealitas seorang insan pergerakan. Karena secara substansi ber-PMII tidak hanya sekedar baiat Mapaba, PKD, PKL namun ada tanggung jawab yang besar di balik sandang kader PMII baik secara ideologis maupun praktis.

PMII secara tegas memposisikan dirinya secara ideologis  pada gerbong aswaja dengan konsepsi sebagai metodologis berpikir dan bergerak. Pada rana pemikiran penulis sadar betul bahwa Aswaja PMII tidak jauh berbeda dengan konsepsi Aswaja NU yang secara teologis berkiblat pada Asy’ariyah dan Maturidi, dalam hukum Islam mengikuti 4 madzhab, secara suluk mengamini Al-Ghozali dan Junaidi Al-Baghdadi. Namun yang menjadi persoalan adalah wilayah implementatif betapa semakin tua dan bertambahnya ilmu semakin banyak kelalaian yang selalu al-faqir lakukan baik secara ubudiyah ilahiyah maupun insaniyah. Belum lagi nilai dasar ber-PMII yang secara sadar sering dipekikan hingga luar kepala. Namun kenapa masih banyak ketimpangan dalam beribadah, bersosial dan pelestarian Alam yang seringkali terabaikan.

Tuhan, Aku ingin bercerita. Di PMII selain hamba dibekali 2 hal di atas,  banyak hal baru yang hamba peroleh. Dari wacana paling kanan sampai paling kiri, Berdialektika dengan para sahabat dari warung kopi satu ke warung kopi lainya, Menulis untuk eksistensi dan keabadian, Berpolitik untuk menjaga tradisi status quo, hingga mengorganisir perlawanan kepada setip belenggu tiran.

Tuhan, kini organisasi PMII telah berusia 56 tahun. Betapa pada usia itu banyak hal yang terus menjadi keresahan hamba. Ya, seperti kehidupan pada umumnya. Di PMII juga hamba lihat beragam bentuk manusia dan hal ikhwalnya. Dari yang benar-benar tulus mengabdi hingga yang mencari hidup dengan menjual eksistensi dan organisasi.

Tuhan, al-faqir bahagia di PMII wanita begitu di muliakan. Dengan adanya naungan tersendiri bernama KOPRI. Desas-desus gender, kesetaraan, keadilan kita bicarakan secara fasih. Namun masih terlalu banyak hati yang terluka atas nama birahi dan cinta.

Tuhan,  dedikasi hamba di PMII tidak seperti sahabat-sahabatku yang super. Hamba memilih jalan kesunyian lewat setiap tulisan. Hamba sangat terinspirasi dengan Mahbub Djunaidi Allahu yarham, beliau seorang kyai, politisi namun juga penulis yang lihai nan cerdas. Hanya hal ini yang selalu saya usahakan istikomah dari mulai di rayon, komisariat dan di manapun berada. Terimakasih PMII telah mengajarkan saya bagaimana melawan lewat tulisan, sekalipun hanya melawan kebodohan.

Tanpa hamba ceritakan Engkaulah maha mengetahui. Refleksi sederhana  ber-PMII ini saya persembahkan untuk organisasi. Tiada hal yang istimewah, karena secara nyatanya sandang kader PMII  tidak pantas untuk al-faqir. Di usia PMII yang ke-56 ini hamba hanya ingin berbagi kisah sederhana ini betapa secara sadar dan insyaf hamba berterima kasih sebanyak-banyaknya atas ilmu yang tak bermuara dan pengalaman yang tiada harga. kepada 13 pendiri PMII, Organisasi yang kalian dirikan dulu kini berduyun-duyun banyak di lirik oleh kalangan mahasiswa semoga memberi amal jariyah. Untuk para kader hebat yang kini menjadi kabinet kerja, semoga jabatan tidak melunturkan idealisme kalian. Dan untuk diri saya pribadi, kapan mulai berbenah diri untuk menjadi benar. Sekalipun tidak ada kebenaran yang absolute, kebenaran selalu akan tetap diusahakan. Dirgahayu PMII, semoga bayang-bayang fanatisme tidak meruntuhkanmu. (Dur)

Wanita Pembawa Luka

Unknown Reply 01.33






Malang, sebuah kota dengan sejuta kenangan. Berjuta kisah tentang pengetahuan, persahabatan, dan kasih sayang. Telah kuukir indah di kota pendidikan.
Termasuk perjumpaanku dengan Mariana di salah satu pameran lukisan terbesar di kota Malang, perjumpaan istimewa awal kisah dimana hati, pikiran dan tenaga mengadu asah ditengah arus kehidupan kota.

***
Pagi itu, Saat langkahku kuarahkan menyusuri jalan menuju kampus, tiba-tiba ponselku bergetar pertanda sms masuk. Kurogoh saku celana dan segera kuraih ponselku, kulihat ternyata pesan dari bapak di kampung.
Le, mulai semester ini bapak gak bisa ngirimi kamu uang jajan lagi”
Seketika tubuhku merasa lemas dan mengeluarkan keringat dingin, setelah membaca pesan singkat dari bapak. Saya sadar benar betapa kondisi perekonomian keluarga saat ini sedang memburuk, setelah 4 bulan lebih tidak ada uang kiriman masuk ke ATM. Terlebih saat kuketahui dari koran bahwa perusahaan bapak mem-PHK ratusan buruh karena rupiah yang terus melemah . 

10 bulan, kujalani perkuliahan dengan jatuh bangun dan semangat yang hampir pupus. Setelah jam kuliah ranselku kukosongi untuk tempat botol bekas air mineral, lorong demi lorong kampus kulewati sembari mencari rongsokan botol bekas maupun bahan plastik lainya yang dibuang di tempat sampah para mahasiswa. Belum lagi aku harus bersaing beradu cepat dengan pemulung di kampusku. Semua ini kujalani demi menutupi kebutuhan hidup di kota perantauan, semenjak kirimanku diberhentikan. 

Setiap harinya aku mendapat lima sampai sepuluh ribu dari hasil penjualan barang bekas. Dengan hasil yang tidak seberapa aku terus bertahan dan berusaha demi pendidikan dan cita-cita yang kudambakan. Semester ini terakhir aku kuliah, dalam benaku hanya ingin cepat wisuda lantas menikah. Ya, menikah dengan Mariana gadis manis yang kutemui di pameran lukisan minggu lalu. Kami saling bertukar no telepon, berkomunikasi intens lewat sms sesekali bertelefon. Kedekatan diantari kami telah menumbuhkan benih-benih cinta, Hingga saat ini kami memutuskan untuk menjalin  hubungan pacaran.

***
Beban pikirku bertambah, setelah mendengar kabar Mariana dilamar orang. Untung saja dia bisa mempertahankanku dihadapan kedua orang tuanya. Rasa legah terobati, namun semuanya ada saratnya. Aku harus melamar Mariana selepas aku wisuda. Kini yang bersarang dalam pikirku hanya bagaimana cara agar tetap bisa kuliah ditengah keterbatasan biaya dan mengumpulkan nafkah untuk bekal menikah.

“Mas, Aku mengerti kondisi ekonomi keluarga sampean,” kata Mariana dari balik suara telefon.
“Ia Mar, kuharap sampean sabar menunggu mas sampai lulus sarjana. Percayalah Mar, seperti kepercayaan Mas terhadapmu selama ini,” pesanku terahirsebelum kami memutus pembicaraan di telefon.
Dalam hatiku bergumam“tekadku telah bulat untuk dapat hidup mandiri,”. Fokus targetku kali ini adalah wisuda dan menikah, semuanya demi kebahagiaan orang tua dan kau Mariana. 

***
Waktu berjalan begitu cepat.Satu tahun berlalu begitu singkat, kujalani hari-hariku dengan penuh giat belajar menyelesaikan skripsi sembari bekerja. Dari mulai loper koran, jual pulsa, sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan tetap sebagai penjual gorengan. Penghasilanku dari menjual gorengan cukup memuaskan ketimbang pekerjaan-pekerjaan yang kugeluti sebelumnya. Kini, setiap bulanya penghasilanku mencapai sembilan ratus ribu. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehariku serta kusisihkan sisanya untuk masa depanku bersama Mariana. 

Sampai tibalah saat-saat yang kunantikan, kusambut dengan gegap gempita penuh kemenangan. Setelah melewati getirnya masa-masa susah. Aku tidak sabar menunggu jarum jam yang kurasakan begitu menghujam. Kuraih ponselku untuk memberi kabar bahagia pada calon istriku Mariana.

“Mar, besok bapak ibuku datang diacara wisudaku. Kuharap kita bisa bertemu dengan keluargamu,”  pesan singkat itu kukirimkan kepadanya, berharap hari esok bukan sekedar keberhasilan membawa toga tapi juga cinta yang berlabu indah.
Sampai esok harinya kutunggu pesan balasan dari Mariana tak kunjung datang. Aku hubungi lewat telefon ponselnya tidak aktif. Aku semakin resah, didalam gedung aku saksikan kebahagiaan bertebaran disekelilingku. Teman-temanku berfoto ria membagi kebahagiaan bersama keluarga dan calon pendampingnya. Aku gusar, harap-harap cemas takut kalau nasib dan masa depan yang kuperjuangkan selama ini berujung pada kesia-siaan. Hanya kehadiran dan kabar dari Mariana yang aku nantikan saat ini.
“Feri Ardiansah Spd,” Namaku dipanggil sebagai wisudawan. Namun pikiranku tetap melayang-layang bersama anganku tentang Mariana.
Aku berjalan gontai dengan keringat dingin membanjiri tubuhku. Kuterima lampiran ijazah dan berjabat tangan dengan rektor. Aku kembali dengan perasaan tak menentu, pandanganku mencari sosok wanita yang kunantikan datang dan kabarnya sejak kemarin sore. Tapi semuanya serasa percuma, karena aku tidak mendapatinya.

***

“Nak, ayo kita pulang. Segera kemasi barangmu bapak dan ibu tunggu depan kos saja,”Pesan bapakku, aku hanya bisa mengangguk dan menuruti perintah orang tuaku.
Setelah kukemasi barang-barangku, kucobe telefon kembali Mariana. Berharap belas kasih Tuhan dan keajaiban menghampiriku. Nyatanya kembali kekecewaan yang kudapatkan. No ponsel Mariana tidak aktif,kini aku mengerti kenapa selama ini ia selalu merahasiakan alamat rumahnya setiap kali aku bertanya. Hubungan kami berjalan hanya lewat sms dan telefon. Sesekali kami janjian bertemu itu pun disuatu tempat, tak pernah sekalipun kuinjakan kakiku di rumah pacarku itu. Mariana aku menyesal terlalu jauh berharap pada seorang yang memang tak pantas diharapkan.

Sepanjang jalan dari kota Malang menuju Lamongan. Aku seperti kehilangan jati diriku sebenarnya, aku yang perkasa giat bekerja, kini harus tertunduk lesu tanpa asah karena cinta. Aku seperti tokoh dalam cerita fiksi legendaris Nizami abad 11 Masehi. Qois, Ya, pemuda yang tergila-gila oleh cintanya yang menghamba pada sesama manusia. Kini kutinggalkan kota Malang dengan penuh kenangan yang entah harus kusimpan atau bahkan kuhapuskan untuk selama-lamanya. Berharap Tuhan mempertemukanku dengan gadis desa yang lebih baik dari Mariana. Untuk mengobati luka hati karena besarnya cintaku pada Mariana,sang gadis kota pemberi harapan semu. Ya, kali ini aku berharap pada Tuhan bukan pada manusia yang selalu memberi rasa kecewa.

Amba; membaca sejarah dari kesusastraan

Unknown Reply 04.14
Karya sastra sering kali dinilai tidak bisa menjadi pijakan refrensi secara ilmiah. Terlepas unsur fiktif, sastra sering kali digunakan sebagai alat kepentingan penulis manuskrip sejarah. Kita telah banyak mengenal penulis dan karya sastra berbagroundkan sejarah dalam hal ini Pramoedya lewat roman tetralogi buruh dan novelnya yang lain banyak berkisah tentang setting sejarah pra-kolonial hingga post-kolonial.







Pasca reformasi bergulir genre karya sastra dengan setting sejarah nasional mulai marak muncul dipermukaan terutama mengenai tragedi gestapu '65 dan PKI menjadi objek renyah untuk diangkat. Seperti Novel Kubah karya Ahmad Tohari, Pulang dari Laila S, Hudori, Surat dari Praha Yusri Fajar, Amba Laksmi Pamuntjak, hingga penulis yang akhir-akhir ini namanya melejit Eka Kurniawan dengan bukunya Seperti dendam rindu harus dibayar tuntas.

Tulisan sederhana ini hanya ingin mengulas sedikit dari sederet judul karya sastra diatas. Amba menjadi menarik bagi penulis untuk mengomentari buku tulisan Laksmi Pamuntjak yang telah diterjemahkan di beragam negara.

Pertama, Setting cerita '65 dengan segala hita-putihnya menjadi nilai jual tersendiri. terlebih disajikan dalam bentuk cerita yang renyah dan estetik. menjadikan tren menulis cerita sejarah gestapu sebagai sebuah otokritik dan perlawanan dominasi sejarah. dalam hal ini Amba telah berhasil memotret dengan detail setiap sekuel dalam ceritanya.

Kedua,  Novel Amba bukan hanya sebagai anti tesa dalam membaca sejarah. Bila dikaji secara analitis feminis tokoh Amba bukan hanya potret realisme perempuan Indonesia  yang tegar, namun juga ada norma dan lokal wishdom yang berbenturan secara menarik dengan pemikiran-pemikiran ideologi besar dunia.

Ketiga, Laksmi Pamuntjak telah berhasil menyuguhkan karya sastra yang tidak membosankan. Dengan kepiawaian gaya bercerita tanpa mengurangi nilai estetik novel Amba saya rasa cocok di baca oleh semua kalangan. terutama bagi para pemuda progressif karena didalamnya banyak menyisipkan nama tokoh-tokoh progressif dan sastrawan kiri eropa, dalam hal ini menjadi oase pengetahuan tersendiri pada pembaca.

Demikian adalah review asal-asalan dari penikmat karya sastra Indonesia. sudah  bukan waktunya lagi mempertentangkan karya sastra yang ideologis revolusioner dan kelompok manikebu. tapi bagaimana membangun kesusastraan yang memberikan sisipan pengetahuan didalamnya. Maju terus kesusastraan Indonesia.

Hikayat dari Buru

Unknown Reply 18.50


 

S
atu bulan, setelah aku dipulangkan dari pengasingan. Asaku menerawang bergantung bersama awan dan kenangan. Pulau buru, aroma tanahnya dan pepohonan disana begitu akrab denganku. Sampai saat ini hatiku masih tertambat disana, bersama perasaan yang rela kutinggalkan mengiringikepulanganku ke kampung halaman.

***
Masa remajaku dihabiskan di tanah pembuangan. Aku diasingkan sebagai tahanan politik di tahun 1970-1999. Kiprahku dalam politik tidak begitu cemerlang, hanya saja aku dikaruniai kelebihan dalam bergulat dengan dunia kesenian. Kala itu aku tergabung dalam lembaga kesenian rakyat. Karena keikut sertaanku serta karir cemerlangku di Lekra menjadikan namaku ikut terseret dalam pemberantasan komunisme dengan dalih penyelamatan negara.
Aku telah memaafkan kesalahan-kesalahan rezim birokrasi masa silam. yang tidak pernah mengadiliku secara hukum, dan memeberikan kesempatan pada tapol untuk mengklarifikasi keterlibatanya dalam pemberontakan negara. Tapi tidak dengan perasaaanku, aku tidak bisa memaafkan hatiku yang ikut terbuang bersama kenangan yang kuukir indah di pulau pengasingan.
***
“Mas, ini jatah makan untuk sarapan” Tegur petugas dapur menaruh rantang dan bontotan nasi untuk sarapan kami setelah setengah hari berjuang menebas ilalang  ditengah panasnya terik mantari.
Aku terkesima oleh paras menawan petugas dapur yang berjalan meninggalkan tempat kita bekerja. Senyumanya bak busur panah yang melesat dan tertambat tepat di hatiku. Ya, aku tidak butuh waktu lama untuk menyimpulkan bahwa aku telah jatuh hati kepada petugas dapur tersebut.

Setiap hari tidak pernah kulewati tanpa mengagumi aura kecantikan yang terpancar begitu memikat. Kutuliskan sajak-sajak indah setiap harinya, untuk kutempel pada dinding dapur camp kami. Berharap ia senang membacanya tanpa harus tau siapa pengirimnya, tak ada masalah bagiku. Mungkin ini suratan takdirku, menjadi pujangga rahasia yang hanya bisa mengagumi dengan kata-kata indah, tanpa harus bersua bertatap muka dan saling cinta.

***

“Untuk penghuni camp 1, 2 dan 3, besok adalah hari terahir kalian di pulau ini. Sesuai intruksi surat keputusan presiden, kalian semua dibebaskan.” ucap petugas militer memberi informasi. Seketika teman-temanku di pulau buru jingkrak-jingkrak kegirangan, karena dapat kembali pulang kekampung halaman dan menemui keluarga. Tidak denganku, aku yang belum berkeluarga malah merasa sedih akan meninggalkan pulau ini.


Bukan karena aku benci kebebasan, hatiku terlanjur terbelenggu dan jatuh hati padanya. Berharap cerita indah dari pulau pengasingan ini tidak sirna begitu saja. Tidak ada yang bisa kuperjuangkan lagi setelah cap tahanan politik melekat padaku, hanya dia obor semangat yang kujaga menerangi gelapnya jalanku. Selamat jalan hati, aku pergi bersama kenangan tentang kita, sajak-sajak indah menjadi saksi semerbak bunga kasih yang pernah mekar mewangi.


Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut