Wanita Pembawa Luka

Unknown Reply 01.33






Malang, sebuah kota dengan sejuta kenangan. Berjuta kisah tentang pengetahuan, persahabatan, dan kasih sayang. Telah kuukir indah di kota pendidikan.
Termasuk perjumpaanku dengan Mariana di salah satu pameran lukisan terbesar di kota Malang, perjumpaan istimewa awal kisah dimana hati, pikiran dan tenaga mengadu asah ditengah arus kehidupan kota.

***
Pagi itu, Saat langkahku kuarahkan menyusuri jalan menuju kampus, tiba-tiba ponselku bergetar pertanda sms masuk. Kurogoh saku celana dan segera kuraih ponselku, kulihat ternyata pesan dari bapak di kampung.
Le, mulai semester ini bapak gak bisa ngirimi kamu uang jajan lagi”
Seketika tubuhku merasa lemas dan mengeluarkan keringat dingin, setelah membaca pesan singkat dari bapak. Saya sadar benar betapa kondisi perekonomian keluarga saat ini sedang memburuk, setelah 4 bulan lebih tidak ada uang kiriman masuk ke ATM. Terlebih saat kuketahui dari koran bahwa perusahaan bapak mem-PHK ratusan buruh karena rupiah yang terus melemah . 

10 bulan, kujalani perkuliahan dengan jatuh bangun dan semangat yang hampir pupus. Setelah jam kuliah ranselku kukosongi untuk tempat botol bekas air mineral, lorong demi lorong kampus kulewati sembari mencari rongsokan botol bekas maupun bahan plastik lainya yang dibuang di tempat sampah para mahasiswa. Belum lagi aku harus bersaing beradu cepat dengan pemulung di kampusku. Semua ini kujalani demi menutupi kebutuhan hidup di kota perantauan, semenjak kirimanku diberhentikan. 

Setiap harinya aku mendapat lima sampai sepuluh ribu dari hasil penjualan barang bekas. Dengan hasil yang tidak seberapa aku terus bertahan dan berusaha demi pendidikan dan cita-cita yang kudambakan. Semester ini terakhir aku kuliah, dalam benaku hanya ingin cepat wisuda lantas menikah. Ya, menikah dengan Mariana gadis manis yang kutemui di pameran lukisan minggu lalu. Kami saling bertukar no telepon, berkomunikasi intens lewat sms sesekali bertelefon. Kedekatan diantari kami telah menumbuhkan benih-benih cinta, Hingga saat ini kami memutuskan untuk menjalin  hubungan pacaran.

***
Beban pikirku bertambah, setelah mendengar kabar Mariana dilamar orang. Untung saja dia bisa mempertahankanku dihadapan kedua orang tuanya. Rasa legah terobati, namun semuanya ada saratnya. Aku harus melamar Mariana selepas aku wisuda. Kini yang bersarang dalam pikirku hanya bagaimana cara agar tetap bisa kuliah ditengah keterbatasan biaya dan mengumpulkan nafkah untuk bekal menikah.

“Mas, Aku mengerti kondisi ekonomi keluarga sampean,” kata Mariana dari balik suara telefon.
“Ia Mar, kuharap sampean sabar menunggu mas sampai lulus sarjana. Percayalah Mar, seperti kepercayaan Mas terhadapmu selama ini,” pesanku terahirsebelum kami memutus pembicaraan di telefon.
Dalam hatiku bergumam“tekadku telah bulat untuk dapat hidup mandiri,”. Fokus targetku kali ini adalah wisuda dan menikah, semuanya demi kebahagiaan orang tua dan kau Mariana. 

***
Waktu berjalan begitu cepat.Satu tahun berlalu begitu singkat, kujalani hari-hariku dengan penuh giat belajar menyelesaikan skripsi sembari bekerja. Dari mulai loper koran, jual pulsa, sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan tetap sebagai penjual gorengan. Penghasilanku dari menjual gorengan cukup memuaskan ketimbang pekerjaan-pekerjaan yang kugeluti sebelumnya. Kini, setiap bulanya penghasilanku mencapai sembilan ratus ribu. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehariku serta kusisihkan sisanya untuk masa depanku bersama Mariana. 

Sampai tibalah saat-saat yang kunantikan, kusambut dengan gegap gempita penuh kemenangan. Setelah melewati getirnya masa-masa susah. Aku tidak sabar menunggu jarum jam yang kurasakan begitu menghujam. Kuraih ponselku untuk memberi kabar bahagia pada calon istriku Mariana.

“Mar, besok bapak ibuku datang diacara wisudaku. Kuharap kita bisa bertemu dengan keluargamu,”  pesan singkat itu kukirimkan kepadanya, berharap hari esok bukan sekedar keberhasilan membawa toga tapi juga cinta yang berlabu indah.
Sampai esok harinya kutunggu pesan balasan dari Mariana tak kunjung datang. Aku hubungi lewat telefon ponselnya tidak aktif. Aku semakin resah, didalam gedung aku saksikan kebahagiaan bertebaran disekelilingku. Teman-temanku berfoto ria membagi kebahagiaan bersama keluarga dan calon pendampingnya. Aku gusar, harap-harap cemas takut kalau nasib dan masa depan yang kuperjuangkan selama ini berujung pada kesia-siaan. Hanya kehadiran dan kabar dari Mariana yang aku nantikan saat ini.
“Feri Ardiansah Spd,” Namaku dipanggil sebagai wisudawan. Namun pikiranku tetap melayang-layang bersama anganku tentang Mariana.
Aku berjalan gontai dengan keringat dingin membanjiri tubuhku. Kuterima lampiran ijazah dan berjabat tangan dengan rektor. Aku kembali dengan perasaan tak menentu, pandanganku mencari sosok wanita yang kunantikan datang dan kabarnya sejak kemarin sore. Tapi semuanya serasa percuma, karena aku tidak mendapatinya.

***

“Nak, ayo kita pulang. Segera kemasi barangmu bapak dan ibu tunggu depan kos saja,”Pesan bapakku, aku hanya bisa mengangguk dan menuruti perintah orang tuaku.
Setelah kukemasi barang-barangku, kucobe telefon kembali Mariana. Berharap belas kasih Tuhan dan keajaiban menghampiriku. Nyatanya kembali kekecewaan yang kudapatkan. No ponsel Mariana tidak aktif,kini aku mengerti kenapa selama ini ia selalu merahasiakan alamat rumahnya setiap kali aku bertanya. Hubungan kami berjalan hanya lewat sms dan telefon. Sesekali kami janjian bertemu itu pun disuatu tempat, tak pernah sekalipun kuinjakan kakiku di rumah pacarku itu. Mariana aku menyesal terlalu jauh berharap pada seorang yang memang tak pantas diharapkan.

Sepanjang jalan dari kota Malang menuju Lamongan. Aku seperti kehilangan jati diriku sebenarnya, aku yang perkasa giat bekerja, kini harus tertunduk lesu tanpa asah karena cinta. Aku seperti tokoh dalam cerita fiksi legendaris Nizami abad 11 Masehi. Qois, Ya, pemuda yang tergila-gila oleh cintanya yang menghamba pada sesama manusia. Kini kutinggalkan kota Malang dengan penuh kenangan yang entah harus kusimpan atau bahkan kuhapuskan untuk selama-lamanya. Berharap Tuhan mempertemukanku dengan gadis desa yang lebih baik dari Mariana. Untuk mengobati luka hati karena besarnya cintaku pada Mariana,sang gadis kota pemberi harapan semu. Ya, kali ini aku berharap pada Tuhan bukan pada manusia yang selalu memberi rasa kecewa.

Related Posts

cerpen 5825659699621987054

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut