Kontra Pancasila, PKI atau HTI.?

Unknown Reply 05.41
Belakangan ini publik dan media sedang gencar mengabarkan desas-desus kebangkitan PKI. Phobia terhadap PKI terasa sangat berlebihan. Gimana gak berlebihan, wong yang di takuti sudah tidak ada fisiknya. Sebuah ketakutan yang tidak masuk akal, ditengah kemelekan peradaban dan era digital. Karena pada dasarnya takut terhadap hal yang sudah tidak ada sama halnya mitos belaka apalagi sekedar takut dengan atribut palu arit. Ah, mungkin mereka pakar semiotika.

Sekarang coba kita melihat pada realita. Bukan sekedar membaca masalalu tapi lebih pada perkembangan hari ini. Secara ideologis, phobia terhadap PKI dikarenakan kontra-Pancasila dan NKRI. Kita takut kalau ideologi dan negara kita berganti komunisme. Lantas bagaiaman dengan Khilafah.?, sebuah dengungan proyek kontra-Pancasila dan demokrasi oleh kelompok islam Hizbut Tahrir Indonesia. Yang lebih nyata dan benar-benar ada hari ini, ketimbang hantu bernama PKI.

Selama masih ada ketidak adilan dan kesewenang-wenangan, selama itu pula perlawanan masih bersemayam. Masyarakat seolah disuguhkan konsumsi logika pemodal serta rezim orde baru, yang takut jika melihat orang pintar berkumpul, bergerilya, dan mengorganisir perlawanan. Jika memang yang kita perjuangkan adalah nasionalisme, dan Pancasila sebagai ideologi bersama maka apa yang lebih kita takuti dari sekedar pemikiran Marxisme-Leninisme yang secara praktik politik sudah hilang di Indonesia. Justru kita harus mawas diri dan lebih berhati-hati pada organ yang secara lantang mengatakan Indonesia, Pancasila, Sistem dan jajaran pemerintahnya adalah Thagut (SETAN). Dimana reaksi keberpihakan aparat dan militer kita atau karena mereka tidak sadar sedang di setankan, entahlah yang pasti ini konyol bagi orang yang mengaku bahwa nasionalisme dan NKRI merupakan harga mati.

Seharusnya sebagai masyarakat modern kita tidak segapang ini dibenturkan oleh isu-isu yang mempolarisasi rakyat terlebih isu tersebut utopis nan gak etis. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan  Pancasilais sejati, perlu dipertanyakan ia benar-benar faham Pancasila atau mengunakan Pancasila sebagai alasan kontra-kemanusiaan yang justru menjadi value Pancasila itu sendiri.


Mari merenung bersama. Bahwa Pancasila menjunjung tinggi ketuhanan, kemanusiaan, permusyawaratan, keadilan serta kesejahteraan. Seharusnya yang kita pukul mundur bukan saudara kita yang hanya memakai atribut PKI, serta sekedar membaca Manifest Komunis, Das kapital, dan roan-roman Pramoedya. Tapi yang perlu kita pukul mundur adalah upaya de-Pancasilais, de-Indonesianis, yang dilakukan oleh HTI dan gerakan politik transnasional lainya. Wong PKI saja kok di takuti, ISIS dan HTI lebih nyata dari sekedar isu-isu murahan tentang kebangkitan PKI.








Anak-anak Relokasi

Unknown Reply 23.14
Kini aku harus mengahbiskan usiaku di penjara. Kata banyak Orang saya telah membunuh Pak Lurah. Bosku sendiri, pemilik pabrik material terkaya se-kota. Kata media aku kesurupan, seperti harimau yang lapar menerka mangsa. Aku membunuh pak lurah tanpa senjata. Ya, hanya dengan tangan kosong dan diri yang tak sadarkan.

Semuanya bermula dari lima belas tahun silam.

Sore itu orang-orang berduyun datang ke kampungku. Jarang sekali desa kami didatangi orang rapi berdasi, bersepatu mengkilat, rambutnya disisir klimis melengket pomade seperti orang-orang di televisi. Seminggu kemudian kami sangat girang melihat alat-alat berat mulai memasuki kampung kami. Maklum anak-anak di kampung kami sangat jarang melihat mesin-mesin macam bego dan orang-orang proyek ber-helm kuning menunganggi mesin-mesin besar terlihat begitu gagah. 

Malam hari Pak Lurah mendatangi rumahku. Sudah dua minggu ini bapak di temui pak lurah bersama orang-orang kota keren itu. Awalnya saya sangat bangga, karena hanya rumah kami yang di datangi oleh mereka. Tapi kebanggan itu seolah sirna sudah. Setelah ibu bercerita bahwa ayah di laporkan ke polisi karena menolak tanahnya di beli oleh orang kota. Ayahku di tuduh komunis, pemberontak, tidak bertuhan, dan penghianat negara. Padahal saya tahu persis ayah selalu taat beribadah dan hafal pancasila. Saat itu adalah awal kebencianku kepada orang kota dan mesin-mesin berat yang ada di kampungku. Sampai suatu senja Ayah pulang kerumah dan mengajak kami sekeluarga untuk pindah.

"Pak kenapa orang-orang kampung di pindahkan.?"
"Dek, kampung ini akan bapak bangun menjadi kota. Semua ada disini supermarket, pabrik, wahana wisata. Apa adik gak mau kalo kampung adik kelak dikunjungi banyak orang dan terkenal" kata Pak lurah seolah merayuku.
Aku hanya manggut-manggut memandang gedung-gedung mulai berdiri tegak terbangun.

                                                                           ***
Sudah lima belas tahun berlalu, tapi ingatan masa kecil itu tetap melekat bersama tumbuh dewasa dan berlalunya masa. Tak salah, omongan pak Lurah waktu itu benar. Kini kampungku yang udik dulu telah menjelma menjadi kota besar. Banyak orang berdatangan membangun rumah, berwisata dan infestasi usaha. Ibuku seminggu yang lalu telah meninggalkan kami. Dokter berkata bahwa Ibu terkena gangguan fungsi ginjal, maklum sumber air di desa baruku tidak sehat, karena tercampur limbah. Kini aku hanya tinggal bersama ayah. Ayahku tidak selantang dahulu, usia dan beragam penyakit telah menggerogoti tubuh tuanya. Kata dokter penyakit ayah terlalu kompleks. Ia sering batuk darah, seiring sesaknya udara karena pabrik kota sebelah.

Sebagai anak kampung. Aku tumbuh dengan mitos-mitos di dalamnya. Ayah pernah mengatakan bahwa keluarga kami adalah trah keturunan ki Ageng Roso, konon beliau sangat ditakuti  para kolonial belanda, dengan kuku-kukunya yang ajaib. ia bisa mencabik-cabik tubuh orang-orang belanda yang hendak merebut sawah. Ia di buru dan konon mati bersama si pitung di bedil oleh gubermen belanda.
Kata ayah, kekuatan itu menurun kepada keluarga kami. Kekuatan itu tidak bisa disalah gunakan dan akan timbul hanya ketika kepepet saja.




                                                                            ***

Pagi ini pikiranku begitu suntuk. Kuteguk arak di meja kamarku sebelum berangkat kerja menuju pabrik milik Pak Lurah. Ya, kini aku menjadi kuli di pabrik material milik pak Lurah di kota sebelah. Kukayuh sepeda menuju kota sebelah. Sesampainya di Pabrik aku kaget melihat temanku di PHK karena ketahuan mengorganisir aksi May Day tempo hari. Sebelum menerima surat PHK ia di teriaki Komunis oleh Pak Lurah. Sontak mataku gelap dan hilang kendali kata itu mengingatkanku pada saat Ayah di penjarah dulu, saat melawan menjual rumah dan sawahnya kepada pemodal dan Pak Lurah. Kutemui diriku terbaring bersimbah darah, Kuku jari-jemariku seolah memanjang dan mencabik-cabik seonggok tubuh yang ada di depanku. Kubunuh kau, "K.O.M.U.N.I.S" pekikan terhair mengantarkan tubuhku ambruk tak sadarkan diri. 

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut