Wajah Kampus Hari ini

Unknown 2 23.45



Dunia perguruan tinggi diyakini sebagai lembaga pendidikan yang dihuni oleh sekumpulan manusia beradab, berilmu, dan berpikiran maju.  Lembaga ini dipercaya sebagai chondrodimuko para cendekia untuk menenmpa berbagai macam keilmuan. Kampus juga tempat eksplorasi selain keilmuan juga segala bentuk keindahan. Dengan tradisi progresif, inovatif, dan produktif. Deskripsi diatas mungkin terlalu ideal jika kita lihat perkembangan lembaga tinggi ini di Indonesia. Nur Cholis Madjid dalam bukunya bilik-bilik pesantren telah mengakui bahwa lembaga perguruan tinggi yang berkembang di Indonesia tidaklah indigeous—baca mencirikan pendidikan murni yang lahir di Indonesia—melainkan kenang-kenangan kaum kolonial belanda. Diakui atau tidak lembaga ini meski bukan indigeous bila dibanding lembaga pesantren, secara survival lembaga ini memang terus mengalami perkembangan. Namun sayangnya perkembangan ini tidak disertai sikap serta prinsip yang tegas atas segala tantangan zaman kekinian.

Penulis tidak ingin membandingkan kampus era penjajah, orde lama, orde baru, sampai reformasi kekinian. karena memang setip zaman memiliki tantangan yang beragam. Namun yang penulis ingin angkat bahwa perkembangan kampus kekinian jauh dari kata ideal sebagai perguruan tinggi yang representatif atas kemajuan bangsanya. 

Ada beberapa penyakit yang mengerogoti wajah perguruan tinggi kita. Pertama lembaga perguruan tinggi di Indonesia secara sadar maupun tidak telah ikut serta mendemonstrasikan dan menuntun masyarakat untuk berpikiran pragmatis. Bila dilihat wajah kampus yang hadir mengiming-imingi orientasi bekerja, bahkan tidak jarang mengkomersialkan beasiswa dan fasilitas. Hal ini secara missi dan niat sudah melenceng dari hakikat mencari ilmu dan menciptakan manusia yang utuh. Kedua akhir-akhir ini kampus tidak ubahnya seperti tempat wisata. Yang didalamnya dijaga oleh satpam dan bila masuk harus membayar karcis. Sifat ekslusif seperti ini yang akan menciptakan kelas-kelas baru dalam tataran masyarakat. Berbedah jauh dengan tridarma perguruan tinggi yang menjunjung tinggi nilai pengabdian di masyarakat, yang hari ini juga mulai dikomersialkan oleh elite birokrat. Ketiga rendahnya tradisi akademik dan budaya ilmiah didalamnya. Kronisnya para dosen selain kurang berhasil mengiring para mahasiswanya kearah tersebut, juga krisis tauladan diantara para dosen. sehingga wajar kiranya jika produktifitas dalam berkarya mengalami stagnasi bahkan plagiasi menjamur. Hal ini juga dapat diakibatkan pragmatisme para dosen. Mereka memosikan diri sebagai “pekerja” setelah ngajar, ngisi seminar, ngasi tugas lalu pulang. Kinerjanya diukur oleh uang bukan pengabdian. Keempat kampus kembali membatasi kebebasan mahasiswanya, tradisi orde baru nampaknya masih tertanam. Terlihat dari kebijakan-kebijakan birokrasi hari ini. Batas usiadikampus dibatasi, kebebasan bersikap kritis dikebiri, dengan alih-alih “Sudahlah kuliah yang benar, lulus, dan kerja” pragmatisme ini menjangkit disemua elemen sehingga mahasiswa adalah calon buruh yang dipersiapkan hanya untuk bekerja pada pemilik modal-modal besar (Kapital).

Andai Ki Hajar Dewantara, Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan  hidup di abad ini mungkin lembaga perguruan tinggi dan oknum-oknum birokrasi didalamnya akan merasa malu. Betapa pendidikan hanya dipakai untuk kepentingan personal maupun kelompok. Katakan tidak untuk kampus yang kolot,katakan tidak untuk kampus yang mahal, katakan tidak untuk kampus yang pragmatis, katakan tidak untuk kampus yang mengkapitalisasi keilmuan, katakan tidak untuk semuanya. Dan teruntuk para menteri baik M. Natsir, Anies Baswedan, maupun Lukman Hakim bersinergilah untuk pendidikan kedepanya. Teruntuk semua rektor dan dosenku, maaf jika mahasiswamu lancang mengumbar busuknya borok yang ada ditubuh kita yang tak kunjung diobati. Narasi ini bukan hanya romantisme ideal yang mengambang. Namun hanya bentuk kepedulian yang mendalam. Wallahu A’lam.



Java Corner Coffee
Malang, 10-06-2015

Related Posts

Artikel 2366180721965828024

2 komentar

menurut saya, era sekarang jelas berbeda dengan era zaman perjuangan kemerdekaan juga sebelum reformasi. Agak wajar kalau perguruan tinggi sekarang cenderung pragmatis, karena memang kondisi bangsa ini yang masih berkembang. Permasalahan ekonomi salah satu penyebab hidup pragmatis yang coba ditawarkn PT sekarang. Namun idealism harus tetap di jaga agar tujuan pendidikn d negeri ini bisa berjalan seperti yg d harapkan.

Benar gan bersifat moderat itu harus untuk konteks kekinian. melulu pragmatis itu cupet, dan terlalu idealis juga hancur. prinsip ideal yang cocok yakni tetap ideal dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang mulai pragmatis.

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut