Wajah Kampus Hari ini
Dunia perguruan tinggi diyakini
sebagai lembaga pendidikan yang dihuni oleh sekumpulan manusia beradab, berilmu,
dan berpikiran maju. Lembaga ini
dipercaya sebagai chondrodimuko para cendekia untuk menenmpa berbagai macam
keilmuan. Kampus juga tempat eksplorasi selain keilmuan juga segala bentuk
keindahan. Dengan tradisi progresif, inovatif, dan produktif. Deskripsi diatas
mungkin terlalu ideal jika kita lihat perkembangan lembaga tinggi ini di
Indonesia. Nur Cholis Madjid dalam bukunya bilik-bilik pesantren telah mengakui
bahwa lembaga perguruan tinggi yang berkembang di Indonesia tidaklah indigeous—baca
mencirikan pendidikan murni yang lahir di Indonesia—melainkan kenang-kenangan
kaum kolonial belanda. Diakui atau tidak lembaga ini meski bukan indigeous
bila dibanding lembaga pesantren, secara survival lembaga ini memang terus
mengalami perkembangan. Namun sayangnya perkembangan ini tidak disertai sikap
serta prinsip yang tegas atas segala tantangan zaman kekinian.
Penulis tidak ingin membandingkan
kampus era penjajah, orde lama, orde baru, sampai reformasi kekinian. karena
memang setip zaman memiliki tantangan yang beragam. Namun yang penulis ingin
angkat bahwa perkembangan kampus kekinian jauh dari kata ideal sebagai
perguruan tinggi yang representatif atas kemajuan bangsanya.
Ada beberapa penyakit yang
mengerogoti wajah perguruan tinggi kita. Pertama lembaga perguruan
tinggi di Indonesia secara sadar maupun tidak telah ikut serta
mendemonstrasikan dan menuntun masyarakat untuk berpikiran pragmatis. Bila dilihat
wajah kampus yang hadir mengiming-imingi orientasi bekerja, bahkan tidak jarang
mengkomersialkan beasiswa dan fasilitas. Hal ini secara missi dan niat sudah melenceng
dari hakikat mencari ilmu dan menciptakan manusia yang utuh. Kedua
akhir-akhir ini kampus tidak ubahnya seperti tempat wisata. Yang didalamnya
dijaga oleh satpam dan bila masuk harus membayar karcis. Sifat ekslusif seperti
ini yang akan menciptakan kelas-kelas baru dalam tataran masyarakat. Berbedah jauh
dengan tridarma perguruan tinggi yang menjunjung tinggi nilai pengabdian di
masyarakat, yang hari ini juga mulai dikomersialkan oleh elite birokrat. Ketiga
rendahnya tradisi akademik dan budaya ilmiah didalamnya. Kronisnya para
dosen selain kurang berhasil mengiring para mahasiswanya kearah tersebut, juga krisis tauladan diantara para dosen. sehingga wajar kiranya jika produktifitas
dalam berkarya mengalami stagnasi bahkan plagiasi menjamur. Hal ini juga dapat diakibatkan pragmatisme
para dosen. Mereka memosikan diri sebagai “pekerja” setelah ngajar, ngisi seminar, ngasi tugas lalu
pulang. Kinerjanya diukur oleh uang bukan pengabdian. Keempat kampus
kembali membatasi kebebasan mahasiswanya, tradisi orde baru nampaknya masih
tertanam. Terlihat dari kebijakan-kebijakan birokrasi hari ini. Batas usiadikampus
dibatasi, kebebasan bersikap kritis dikebiri, dengan alih-alih “Sudahlah kuliah
yang benar, lulus, dan kerja” pragmatisme ini menjangkit disemua elemen
sehingga mahasiswa adalah calon buruh yang dipersiapkan hanya untuk bekerja
pada pemilik modal-modal besar (Kapital).
Andai Ki Hajar Dewantara, Hasyim Asy’ari,
Ahmad Dahlan hidup di abad ini mungkin
lembaga perguruan tinggi dan oknum-oknum birokrasi didalamnya akan merasa malu.
Betapa pendidikan hanya dipakai untuk kepentingan personal maupun kelompok. Katakan
tidak untuk kampus yang kolot,katakan tidak untuk kampus yang mahal, katakan
tidak untuk kampus yang pragmatis, katakan tidak untuk kampus yang
mengkapitalisasi keilmuan, katakan tidak untuk semuanya. Dan teruntuk para menteri
baik M. Natsir, Anies Baswedan, maupun Lukman Hakim bersinergilah untuk
pendidikan kedepanya. Teruntuk semua rektor dan dosenku, maaf jika mahasiswamu
lancang mengumbar busuknya borok yang ada ditubuh kita yang tak kunjung
diobati. Narasi ini bukan hanya romantisme ideal yang mengambang. Namun hanya
bentuk kepedulian yang mendalam. Wallahu A’lam.
Java Corner Coffee
Malang, 10-06-2015
2 komentar
menurut saya, era sekarang jelas berbeda dengan era zaman perjuangan kemerdekaan juga sebelum reformasi. Agak wajar kalau perguruan tinggi sekarang cenderung pragmatis, karena memang kondisi bangsa ini yang masih berkembang. Permasalahan ekonomi salah satu penyebab hidup pragmatis yang coba ditawarkn PT sekarang. Namun idealism harus tetap di jaga agar tujuan pendidikn d negeri ini bisa berjalan seperti yg d harapkan.
Benar gan bersifat moderat itu harus untuk konteks kekinian. melulu pragmatis itu cupet, dan terlalu idealis juga hancur. prinsip ideal yang cocok yakni tetap ideal dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang mulai pragmatis.
Posting Komentar