Malang, sebuah kota dengan sejuta
kenangan. Berjuta kisah tentang pengetahuan, persahabatan, dan kasih sayang.
Telah kuukir indah di kota pendidikan.
Termasuk perjumpaanku dengan Mariana
di salah satu pameran lukisan terbesar di kota Malang, perjumpaan istimewa awal
kisah dimana hati, pikiran dan tenaga mengadu asah ditengah arus kehidupan kota.
***
Pagi itu, Saat langkahku kuarahkan
menyusuri jalan menuju kampus, tiba-tiba ponselku bergetar pertanda sms masuk.
Kurogoh saku celana dan segera kuraih ponselku, kulihat ternyata pesan dari
bapak di kampung.
“Le, mulai semester ini bapak
gak bisa ngirimi kamu uang jajan lagi”
Seketika tubuhku merasa lemas dan
mengeluarkan keringat dingin, setelah membaca pesan singkat dari bapak. Saya
sadar benar betapa kondisi perekonomian keluarga saat ini sedang memburuk,
setelah 4 bulan lebih tidak ada uang kiriman masuk ke ATM. Terlebih saat
kuketahui dari koran bahwa perusahaan bapak mem-PHK ratusan buruh karena rupiah
yang terus melemah .
10 bulan, kujalani perkuliahan
dengan jatuh bangun dan semangat yang hampir pupus. Setelah jam kuliah ranselku
kukosongi untuk tempat botol bekas air mineral, lorong demi lorong kampus
kulewati sembari mencari rongsokan botol bekas maupun bahan plastik lainya yang
dibuang di tempat sampah para mahasiswa. Belum lagi aku harus bersaing beradu
cepat dengan pemulung di kampusku. Semua ini kujalani demi menutupi kebutuhan
hidup di kota perantauan, semenjak kirimanku diberhentikan.
Setiap harinya aku mendapat lima
sampai sepuluh ribu dari hasil penjualan barang bekas. Dengan hasil yang tidak
seberapa aku terus bertahan dan berusaha demi pendidikan dan cita-cita yang
kudambakan. Semester ini terakhir aku kuliah, dalam benaku hanya ingin cepat
wisuda lantas menikah. Ya, menikah dengan Mariana gadis manis yang kutemui di
pameran lukisan minggu lalu. Kami saling bertukar no telepon, berkomunikasi intens
lewat sms sesekali bertelefon. Kedekatan diantari kami telah menumbuhkan
benih-benih cinta, Hingga saat ini kami memutuskan untuk menjalin hubungan pacaran.
***
Beban pikirku bertambah, setelah
mendengar kabar Mariana dilamar orang. Untung saja dia bisa mempertahankanku
dihadapan kedua orang tuanya. Rasa legah terobati, namun semuanya ada saratnya.
Aku harus melamar Mariana selepas aku wisuda. Kini yang bersarang dalam pikirku
hanya bagaimana cara agar tetap bisa kuliah ditengah keterbatasan biaya dan
mengumpulkan nafkah untuk bekal menikah.
“Mas, Aku mengerti kondisi ekonomi
keluarga sampean,” kata Mariana dari balik suara telefon.
“Ia Mar, kuharap sampean
sabar menunggu mas sampai lulus sarjana. Percayalah Mar, seperti kepercayaan
Mas terhadapmu selama ini,” pesanku terahirsebelum kami memutus pembicaraan di
telefon.
Dalam hatiku bergumam“tekadku telah bulat
untuk dapat hidup mandiri,”. Fokus targetku kali ini adalah wisuda dan menikah,
semuanya demi kebahagiaan orang tua dan kau Mariana.
***
Waktu berjalan begitu cepat.Satu
tahun berlalu begitu singkat, kujalani hari-hariku dengan penuh giat belajar
menyelesaikan skripsi sembari bekerja. Dari mulai loper koran, jual pulsa,
sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan tetap sebagai penjual gorengan.
Penghasilanku dari menjual gorengan cukup memuaskan ketimbang
pekerjaan-pekerjaan yang kugeluti sebelumnya. Kini, setiap bulanya
penghasilanku mencapai sembilan ratus ribu. Cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehariku serta kusisihkan sisanya untuk masa depanku bersama Mariana.
Sampai tibalah saat-saat yang
kunantikan, kusambut dengan gegap gempita penuh kemenangan. Setelah melewati
getirnya masa-masa susah. Aku tidak sabar menunggu jarum jam yang kurasakan
begitu menghujam. Kuraih ponselku untuk memberi kabar bahagia pada calon
istriku Mariana.
“Mar, besok bapak ibuku datang
diacara wisudaku. Kuharap kita bisa bertemu dengan keluargamu,” pesan singkat itu kukirimkan kepadanya, berharap
hari esok bukan sekedar keberhasilan membawa toga tapi juga cinta yang berlabu
indah.
Sampai esok harinya kutunggu pesan
balasan dari Mariana tak kunjung datang. Aku hubungi lewat telefon ponselnya
tidak aktif. Aku semakin resah, didalam gedung aku saksikan kebahagiaan
bertebaran disekelilingku. Teman-temanku berfoto ria membagi kebahagiaan bersama
keluarga dan calon pendampingnya. Aku gusar, harap-harap cemas takut kalau
nasib dan masa depan yang kuperjuangkan selama ini berujung pada kesia-siaan.
Hanya kehadiran dan kabar dari Mariana yang aku nantikan saat ini.
“Feri Ardiansah Spd,” Namaku
dipanggil sebagai wisudawan. Namun pikiranku tetap melayang-layang bersama
anganku tentang Mariana.
Aku berjalan gontai dengan keringat
dingin membanjiri tubuhku. Kuterima lampiran ijazah dan berjabat tangan dengan
rektor. Aku kembali dengan perasaan tak menentu, pandanganku mencari sosok
wanita yang kunantikan datang dan kabarnya sejak kemarin sore. Tapi semuanya
serasa percuma, karena aku tidak mendapatinya.
***
“Nak, ayo kita pulang. Segera kemasi
barangmu bapak dan ibu tunggu depan kos saja,”Pesan bapakku, aku hanya bisa
mengangguk dan menuruti perintah orang tuaku.
Setelah kukemasi barang-barangku,
kucobe telefon kembali Mariana. Berharap belas kasih Tuhan dan keajaiban
menghampiriku. Nyatanya kembali kekecewaan yang kudapatkan. No ponsel Mariana
tidak aktif,kini aku mengerti kenapa selama ini ia selalu merahasiakan alamat
rumahnya setiap kali aku bertanya. Hubungan kami berjalan hanya lewat sms dan
telefon. Sesekali kami janjian bertemu itu pun disuatu tempat, tak pernah
sekalipun kuinjakan kakiku di rumah pacarku itu. Mariana aku menyesal terlalu
jauh berharap pada seorang yang memang tak pantas diharapkan.
Sepanjang jalan dari kota Malang
menuju Lamongan. Aku seperti kehilangan jati diriku sebenarnya, aku yang
perkasa giat bekerja, kini harus tertunduk lesu tanpa asah karena cinta. Aku
seperti tokoh dalam cerita fiksi legendaris Nizami abad 11 Masehi. Qois, Ya,
pemuda yang tergila-gila oleh cintanya yang menghamba pada sesama manusia. Kini
kutinggalkan kota Malang dengan penuh kenangan yang entah harus kusimpan atau
bahkan kuhapuskan untuk selama-lamanya. Berharap Tuhan mempertemukanku dengan
gadis desa yang lebih baik dari Mariana. Untuk mengobati luka hati karena
besarnya cintaku pada Mariana,sang gadis kota pemberi harapan semu. Ya, kali
ini aku berharap pada Tuhan bukan pada manusia yang selalu memberi rasa kecewa.