Genjer-genjer 30 September; Rekonsosiliasi atau provokasi. (?)
Jas merah.! pesan bung karno. Sebagai sebuah bangsa kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan sejarah hitam perjalanan bangsa kita, agar tidak terulang dikemudian hari. 30 September 1965 sejarah mencatat mumentum berdarah pembantaian para jendral dengan motif pemberontakan kepada negara yang dituding digawangi oleh partai komunis Indonesia. yang hari ini oleh buku sejarah biasa disebut G30S PKI/gestapu 30 september. Aksi makar tesebut menjadi boomerang bagi kubuh PKI hingga berujung pada gnosida kader PKI, banom, dan simpatisanya.
Akhir-akhir ini tabir sejarah mulai terungkap. atas beberapa tesis dari para sejarahwan kontemporer mengenai keterlibat gestapu. Siapa membunuh siapa, apa motifnya, dan siapa dalang intelektual diblakangnya.? beragam fersi mewarnai penuturan sejarah tersebut dari mulai peneliti luar, peneliti orba, eks tapol, hingga fersi kelompok agamawan.
Doktrinasi yang mendalam atas G30S PKI oleh orde baru lewat film G30S PKI yang era 70-90-an menjadi tontonan wajib bagi anak sekolah disetiap tanggal 30 september. Upaya tersebut telah terbukti berhasil menanamkan pada alam bawa sadar kita bahwa PKI wajib dibrangus dan aksi heroik dari para militer dalam mengungkap kebengisan gestapu yang terkesan pencitraan.
Namun dalam tulisan ini. Penulis tidak membahas tentang dalang pembantaian atau aktor intelektual dalam penulisan sejarah gestapu. Namun perihal upaya rekonsiliasi dari berbagai pihak. Tentu kita masih ingat, ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden. Upaya rekonsiliasi pertama kali digaungkan oleh Gus Dur untuk meminta maaf pada eks-korban PKI. Meski pada ahirnya menuai banyak kritik. Termasuk, Pramoedya Ananta Toer secara keras menolak mentah-mentah rekonsiliasi dari pihak negara. "Memberi maaf tidak semudah membalikan tanggan, saya bukan Nelson Mandela" kutipan Pram dalam salah satu surat terbukanya untuk GM.
Sampai kini 50th kejadian telah berlalu, upaya rekonsiliasi terus gaungkan oleh beragam elemen, terlebih para aktivis NGO. Secara manusiawi sebenarnya negara telah menerima anak cucu orang-orang PKI, maupun eks tapol. mengungkit 'borok' lama sama halnya membuka kembali sejarah kelam konfrontasi yang terjadi dak aksi gnosida yang membuat risih anak cucu PKI. Terutama mereka yang menjadi pejabat negara. Sehingga kita harus benar dan berhati-hati betul atas upaya rekonsiliasi yang kita lakukan. Secara keberpihakan, penulis pro-atas upaya rekonsiliasi atas dasar kemanusiaan. Namun bila kita refleksikan rekonsiliasi telah terjadi secara nature dikalangan sosial. masyarakat telah berbaur dan menerima para eks PKI secara alamiah. Terkecuali klompok-klompok bentukan orde baru yang sampai saat ini menolak keras segala sesuatu yang berbau palu-arit.
wa ba'du, rekonsiliasi memang perlu. Namun jika rekonsiliasi telah terjadi secara alami. Aksi rekonsiliasi tidak perlu digemborkan kembali jika hanya mengusik telinga dan mengorek luka lama eks-tapol maupun korban PKI. Semoga rekonsiliasi kita tidak berbuah profokasi yang menyalakan api konfrontasi. Wa'allahu A'lam.
Mengenang setengah abad G30S