Mencintai Duri Mawar
Aku masih menunggunya sedari senja. kulihat kearah jarum jam, kegelisahanku semakin menghujam. Kopi pesananku telah terkikis habis. Iringan lagu The Beatles Don't let me down menggaung membawa ingatanku pada sosok pria yang kutunggu.
Joni, teman semasa kuliahku dulu. Aku dan Joni sudah berkawan sejak kuliah. Persahabatan kita terpisahkan sejak keberuntungan menghampiri Joni dan kesialan bersiam dalam diriku. Ia mendapat beasiswa untuk studi di Amerika, sedangkan aku di drop out oleh kampus karena ketahuan mentatto lenganku dengan gambar mawar. Aku suka pada mawar. Ia elok memikat mata manusia untuk memtiknya. Kecantikanya menyimpan duri-duri sebagi konsekuensi bagi siapa saja yang hendak memilikinya. Mawar mengajarkanku betapa cantik saja tidak cukup untuk dimiliki, demi melihat mawar memekar manusia harus menyiram duri-duri. Mawar juga mengajarkanku bahwa kecantikan menyimpan luka, manusia harus rela tertusuk duri untuk memetik mawar karena mawar melawan. Ia melindungi dirinya bersama duri-duri. Oleh sebab itu kurelakan tanganku kutatto setangkai mawar yang melawan.
"Cantik, sudah lama menunggu.?"
"Kau hampir membuatku kecewa"
"Jon, Ibuku ingin aku cepat menikah"
"Hai Reisa, kita masih muda. Nikmati kebebasan ini, karena masa tidak bisa kembali memuda"
"Jon, Aku serius"
Aku sangat kenal Joni. ia lelaki cerdas. ia selalu berbicara dengan bahasa yang tidak pernah aku mengerti. Ia selalu bercerita tentang manusia-manusia agung penuh bijak. Tapi hari ini kulihat Joni sebagai pengecut yang bersembunyi pada kepintaranya. Ia tidak berani melawan kenyataan.
"Jon, kau tidak bisa menikahiku?"
Joni mengalihkan pembicaraan pada lukisan Jhon Lennon yang mengantung pada dinding kafe.
"Jon, tak usah berbelit"
"Reisa, jangan jadi tua dan menyebalkan"
"Ini bukan soal tua Jon, ini tentang kesetiaan"
"Jika kau ingin segera menikah, carilah lelaki lain"
Ia meninggalkanku dengan meletakkan kumpulan cerita Jenar Maisya Ayu di atas meja kayu, kulihat judul bukunya "Jangan main-main dengan kelaminmu".
Aku tak bisa membiarkan Joni pergi begitu saja. Alam bawah sadarku membawaku berlari ke dapur kafe. Kuambil pisau yang bergletak diatas meja dapur kafe. Kuraih pisau, aku berlari dengan nafas menjadi-jadi. Kususul Joni yang berjalan sambil handfone ditangan. Kutikam Joni dari belakang, Joni sempat melawan dalam makian.
"Pelacur bangsat.!"
kutikamkan lagi pisau pada tubuhnya. kucabik-cabik ulu hatinya. Ia tehuyung jatuh, kubisikan pada telinganya "Jangan main-main dengan kelaminmu".
Seperti mawar aku diajarkan bagaimana melukai oleh duri. Tak terkecuali pada orang yang mencintai.
Joni, teman semasa kuliahku dulu. Aku dan Joni sudah berkawan sejak kuliah. Persahabatan kita terpisahkan sejak keberuntungan menghampiri Joni dan kesialan bersiam dalam diriku. Ia mendapat beasiswa untuk studi di Amerika, sedangkan aku di drop out oleh kampus karena ketahuan mentatto lenganku dengan gambar mawar. Aku suka pada mawar. Ia elok memikat mata manusia untuk memtiknya. Kecantikanya menyimpan duri-duri sebagi konsekuensi bagi siapa saja yang hendak memilikinya. Mawar mengajarkanku betapa cantik saja tidak cukup untuk dimiliki, demi melihat mawar memekar manusia harus menyiram duri-duri. Mawar juga mengajarkanku bahwa kecantikan menyimpan luka, manusia harus rela tertusuk duri untuk memetik mawar karena mawar melawan. Ia melindungi dirinya bersama duri-duri. Oleh sebab itu kurelakan tanganku kutatto setangkai mawar yang melawan.
"Cantik, sudah lama menunggu.?"
"Kau hampir membuatku kecewa"
"Jon, Ibuku ingin aku cepat menikah"
"Hai Reisa, kita masih muda. Nikmati kebebasan ini, karena masa tidak bisa kembali memuda"
"Jon, Aku serius"
Aku sangat kenal Joni. ia lelaki cerdas. ia selalu berbicara dengan bahasa yang tidak pernah aku mengerti. Ia selalu bercerita tentang manusia-manusia agung penuh bijak. Tapi hari ini kulihat Joni sebagai pengecut yang bersembunyi pada kepintaranya. Ia tidak berani melawan kenyataan.
"Jon, kau tidak bisa menikahiku?"
Joni mengalihkan pembicaraan pada lukisan Jhon Lennon yang mengantung pada dinding kafe.
"Jon, tak usah berbelit"
"Reisa, jangan jadi tua dan menyebalkan"
"Ini bukan soal tua Jon, ini tentang kesetiaan"
"Jika kau ingin segera menikah, carilah lelaki lain"
Ia meninggalkanku dengan meletakkan kumpulan cerita Jenar Maisya Ayu di atas meja kayu, kulihat judul bukunya "Jangan main-main dengan kelaminmu".
Aku tak bisa membiarkan Joni pergi begitu saja. Alam bawah sadarku membawaku berlari ke dapur kafe. Kuambil pisau yang bergletak diatas meja dapur kafe. Kuraih pisau, aku berlari dengan nafas menjadi-jadi. Kususul Joni yang berjalan sambil handfone ditangan. Kutikam Joni dari belakang, Joni sempat melawan dalam makian.
"Pelacur bangsat.!"
kutikamkan lagi pisau pada tubuhnya. kucabik-cabik ulu hatinya. Ia tehuyung jatuh, kubisikan pada telinganya "Jangan main-main dengan kelaminmu".
Seperti mawar aku diajarkan bagaimana melukai oleh duri. Tak terkecuali pada orang yang mencintai.