Kelamin Sastra

Unknown Reply 05.00


T
ubuhku dinikmati setiap hari oleh lelaki hidung belang yang ia ciptakan. Aku ditakdirkanya sebagai pemuas birahi dalam kerangka fiksi. Semua orang membacaku sebagai perempuan hina yang tidak kenal norma apalagi Agama.

Nira, namaku yang dia sematkan dalam karyanya. Aku berterimakasih karena dihadirkan dalam narasi-narasi indah karyanya. Takdirku ditentukan oleh imaginasinya, tapi hatiku memberontak karena garis cerita hidupku digambarkan sebagai seorang pelacur dalam seri novel best seller yang ia tulis. Aku sedikit bangga namaku dibaca semua orang, disisi lain kebanggaan itu tiada artinya bila dibanding rasa malu karena diriku diceritakan sebagai wanita murahan yang terhinakan. Apalah daya, aku hanya goresan-goresan tinta hitam dalam lembaran-lembaran kertas, berdialog dengan sang tuan adalah impianku yang melangit. Ingin rasanya kubuncahkan beban-beban moral dalam diri, sekali lagi kesadaranku menyapa bahwa aku hanya seorang tokoh fiksi yang nasibnya ditentukan tuanku sang penulis cerita. Dan jalan hidupku telah digariskanya sebagai pemuas nafsu para lelaki.

***
“Nira, apa kamu bisa menemaniku untuk malam ini,” ucap lelaki yang ia hadirkan menggagahiku kali ini.
“Asal tarif  sesuai, kenapa tidak!” Ucapku ditulisnya.
Ingin rasanya kutahan suaraku namun itu hanya khayalan utopia. Ibarat mayat yang ingin hidup kembali dan menyeting jalan hidupnya sesuai kehendak sendiri tanpa campur tangan sang Tuhan, Mustahil.!
“Nir, Tubuhmu sangat indah dan mengairahkan,” rayu seorang lelaki dalam cerita. Ingin rasanya kutampar lelaki itu dan kuludahi tuanku yang tiada henti melecehkanku dalam ceritanya.

***

Apa karya sastra tidak cukup lagi menjual estetika dibalik diksi-diksi indah. Hingga tuanku ciptakan keindahan lain dengan eksotika birahi dalam cerita, tanpa pernah memikirkan imbas pada setiap pembaca. Karena dibenaknya hanya ada rupiah dan sanjungan para kritikus sastra liberal, keberanianya menyajikan adegan ranjang secara fulgar, menerobos norma realita dengan mengatasnamakan ‘kebebasan nilai’ pada sastra. keberanian ini menjadi nilai jual yang tidak dimiliki kebanyakan penulis sastra indonesia. Aku geram dan muak terus dihadirkan sebagai figur pemuas nafsu dan perusak generasi muda.

Penulis ceritaku mendapatkan royalti dari setiap penjualan bukunya yang laris manis menembus pasar dunia. Seakan kepuasan atas kesuksesanya merupakan harga mati yang tak tertawarkan lagi. Karyanya dibedah dan diterjemahkan di beberapa negara. Tapi kemana perginya pembela agama? Biasanya mereka hadir membrangus kemungkaran dengan api jihad. Apa mereka tidak pernah memperhatikan kisah-kisahku dalam setiap karya tuanku yang laris dipasaran?. Atau mereka tidak pernah membaca selain kitab suci agamanya?. Bukankah kedzoliman dikutuk oleh setiap Agama?. Lantas mengapa mereka diam.! Bredel buku ini, bakar, larang ia terbit.!! Berontaku dalam diri.


“Nira tewas ditangan pejabat negara setelah memuaskan hasrat.” Dan pada akhrinya aku bernafas lega, setelah tuanku mengoreskan kematianku secara sadis serta tidak terhormat. Namaku tidak akan disebut lagi, dilecehkan  oleh tuanku. Ya, aku telah dihapuskan dari khayalan imaginasinya yang porno. Harapanku menerawang terbang menemui Tuhan pencipta alam. Aku ingin terlahir di dunia nyata berdialog dengan sang tuan, atau bahkan menjadi majikan dalam realita. Aku sang penulis dan ia tokoh imaginasiku, agar ia mengerti bagaimana rasanya menjadi boneka. Akhirnya memusnahkan tuan seperti cara dia memusnahkanku secara sadis dalam cerita fiksinya adalah harapanku kini kepada Tuhan, Semoga Tuhan berbelas kasih padaku. Aku yakin Tuhan tidak seperti tuanku.















Related Posts

cerpen 4579662283244201391

Posting Komentar

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut