Kelamin Sastra
T
|
ubuhku
dinikmati setiap hari oleh lelaki hidung belang yang ia ciptakan. Aku
ditakdirkanya sebagai pemuas birahi dalam kerangka fiksi. Semua orang membacaku
sebagai perempuan hina yang tidak kenal norma apalagi Agama.
Nira,
namaku yang dia sematkan dalam karyanya. Aku berterimakasih karena dihadirkan
dalam narasi-narasi indah karyanya. Takdirku ditentukan oleh imaginasinya, tapi
hatiku memberontak karena garis cerita hidupku digambarkan sebagai seorang
pelacur dalam seri novel best seller yang ia tulis. Aku sedikit bangga namaku
dibaca semua orang, disisi lain kebanggaan itu tiada artinya bila dibanding
rasa malu karena diriku diceritakan sebagai wanita murahan yang terhinakan.
Apalah daya, aku hanya goresan-goresan tinta hitam dalam lembaran-lembaran
kertas, berdialog dengan sang tuan adalah impianku yang melangit. Ingin rasanya
kubuncahkan beban-beban moral dalam diri, sekali lagi kesadaranku menyapa bahwa
aku hanya seorang tokoh fiksi yang nasibnya ditentukan tuanku sang penulis
cerita. Dan jalan hidupku telah digariskanya sebagai pemuas nafsu para lelaki.
***
“Nira,
apa kamu bisa menemaniku untuk malam ini,” ucap lelaki yang ia hadirkan
menggagahiku kali ini.
“Asal
tarif sesuai, kenapa tidak!” Ucapku
ditulisnya.
Ingin
rasanya kutahan suaraku namun itu hanya khayalan utopia. Ibarat mayat yang
ingin hidup kembali dan menyeting jalan hidupnya sesuai kehendak sendiri tanpa
campur tangan sang Tuhan, Mustahil.!
“Nir,
Tubuhmu sangat indah dan mengairahkan,” rayu seorang lelaki dalam cerita. Ingin
rasanya kutampar lelaki itu dan kuludahi tuanku yang tiada henti melecehkanku
dalam ceritanya.
***
Apa
karya sastra tidak cukup lagi menjual estetika dibalik diksi-diksi indah.
Hingga tuanku ciptakan keindahan lain dengan eksotika birahi dalam cerita,
tanpa pernah memikirkan imbas pada setiap pembaca. Karena dibenaknya hanya ada
rupiah dan sanjungan para kritikus sastra liberal, keberanianya menyajikan
adegan ranjang secara fulgar, menerobos norma realita dengan mengatasnamakan
‘kebebasan nilai’ pada sastra. keberanian ini menjadi nilai jual yang tidak
dimiliki kebanyakan penulis sastra indonesia. Aku geram dan muak terus
dihadirkan sebagai figur pemuas nafsu dan perusak generasi muda.
Penulis
ceritaku mendapatkan royalti dari setiap penjualan bukunya yang laris manis menembus
pasar dunia. Seakan kepuasan atas kesuksesanya merupakan harga mati yang tak
tertawarkan lagi. Karyanya dibedah dan diterjemahkan di beberapa negara. Tapi
kemana perginya pembela agama? Biasanya mereka hadir membrangus kemungkaran
dengan api jihad. Apa mereka tidak pernah memperhatikan kisah-kisahku dalam
setiap karya tuanku yang laris dipasaran?. Atau mereka tidak pernah membaca
selain kitab suci agamanya?. Bukankah kedzoliman dikutuk oleh setiap Agama?.
Lantas mengapa mereka diam.! Bredel buku ini, bakar, larang ia terbit.!!
Berontaku dalam diri.
“Nira
tewas ditangan pejabat negara setelah memuaskan hasrat.” Dan pada akhrinya aku
bernafas lega, setelah tuanku mengoreskan kematianku secara sadis serta tidak
terhormat. Namaku tidak akan disebut lagi, dilecehkan oleh tuanku. Ya, aku telah dihapuskan dari
khayalan imaginasinya yang porno. Harapanku menerawang terbang menemui Tuhan
pencipta alam. Aku ingin terlahir di dunia nyata berdialog dengan sang tuan,
atau bahkan menjadi majikan dalam realita. Aku sang penulis dan ia tokoh
imaginasiku, agar ia mengerti bagaimana rasanya menjadi boneka. Akhirnya
memusnahkan tuan seperti cara dia memusnahkanku secara sadis dalam cerita
fiksinya adalah harapanku kini kepada Tuhan, Semoga Tuhan berbelas kasih
padaku. Aku yakin Tuhan tidak seperti tuanku.
Posting Komentar