Bualan Manikebu
S
|
enja
diwarung kopi begitu hangat, semua menikmati keindahan cahaya semburat yang
masuk menyapa lewat bilik-bilik anyaman bambu. Ditambah dengan secangkir kopi
dan kepulan asap tembakau mengawinkan
paduan keindahan serta aroma tiada tara. warung kopi adalah miniatur surgawi
bagi para penikmat kopi disela-sela hiruk pikuk duniawi. Nampak dua sekawan
yang asik bercengkrama dengan sangat hangatnya.
“Kebudayaan
dan kesusastraan Indonesia dipertengahan tahun 1960-an diwarnai derai tawa dan
air mata. Manifes kebudayaan muncul sebagai pendobrak hegemoni Lekra yang
bersemboyankan (politik sebagai panglima).” Ungkap Gunawan sambil menyeruput
kopi hangat pesananya.
“Iya
wan, saya faham betul itu bapak saya dulu angota Lekra. Ya aku keturunan orang
PKI. tapi jika waktu itu para sastrawan dan seniman yang ada dalam barisan
manifes kebudayaan itu ada diposisi Lekra yang diatas angin, dengan kedekatan
partai komunis dan rezim yang berkuasa mungkin juga akan sama ceritanya”
celetuk Abduh sambil menyulut rokok kreteknya yang mati diterpa angin dan
dinginya cuaca musim hujan.
Keduanya
hanyut dalam keheningan nampak menikmati secangkir kopi dengan kontemplasi
ringan, tandanya mereka mensyukuri nikmat Tuhan dengan berfikir dan berefleksi.
“terkadang
aku juga bingung tentang apa yang diharap para sastrawan lewat karya-karyanya.
Albert Camus dengan ke-absurdan karyanya membuat orang bingung, Lhu Shum yang
melacurkan karyanya bagi komunisme cina Mao Zedong, Nawal El-Sadawi lewat
novel-novel karyanya yang terlalu feminis memojokan kaum adam dan tidak
obyektif, Pramoedya Ananta Toer roman nasionalismenya juga sarat akan
kepentingan, meskipun juga ada para sastrawan Idealis seperti WS. Rendra, Wiji
Thukul yang akhirnya hanyut dalam arus” tekas Abduh membuka kembali percakapan,
sambil sesekali memandangi gedung-gedung perkotaan yang megah.
“Duh,
kamu percaya bahwa kesenian itu membebaskan bukan.? Sastra adalah seni
kebebasan dengan untaian kata-kata indah bagi penikmatnya, tanpa harus
didikotomikan dan ditafsirkan secara kaku nan apologetik. Seorang pegiat seni
bekerja untuk kesenian, ya seni untuk seni.! Bukan politik dan sederet
kepentingan lainya” tutur Gunawan.
“Alah
di zaman edan semua bisa dibeli dengan uang Gun, Idealisme tak terkecuali.
Orang idealis juga butuh makan kok hahaha” cetus Abduh yang diiringi gelak
tawa.
“Kayaknya
kita harus membuat gerakan semacam manifes kebudayaan lagi Duh. Penikmat seni
seperti kita hanya menjadi kroco-kroco permainan para sastrawan dan
penguasa. Aku jadi geram melihat dunia kesenian Indonesia hari ini semua lebih
condong pada kehidupan Hedonis dan percintaan masih menjadi bulan-bulanan topik
yang laris manis dipasaran. Seakan-akan kita sengaja dibuat lupa tentang
sejarah dan kondisi bangsa kita hari ini” timpal Gunawan dengan raut muka penuh
keseriusan.
“Kamu
gak usah ngurusi persoalan negara Gun. Urusi saja kuliahmu yang corat-marut itu
hahaha..”
“Kalo
semua orang paradigmanya seperti kamu, mau jadi apa negara ini kedepanya?”
tutur Gunawan sok mengurui
“Haha
aku Cuma bercanda kawan. Kemarin aku ikut bedah film “SENYAP” sebuah film
dokumenter garapan orang barat yang menceritakan tentang fakta testimoni
militer dalam pembantaian PKI. Saya penasaran bukan karena saya anak PKI dan
bersimpati kepada PKI, tapi saya hanya ingin mengetahui duduk persoalanya
secara mendasar.”
“Waduh
seruh tuh kayaknya duh. Trus gimana menarik kah?”
“Nah
itu persoalanya. Belum sampai kita mendiskusikanya eh ada segerombolan lelaki
bertubuh kekar membubarkan forum kami. Ternyata orba belum mati hahaha”
“Tuh
kan, kita masih sangat dibatasi, kita belum bebas. Bahkan untuk menikmati dan
mengomentari sebuah film yang notabenya sebuah karya seni saja kita dibubarkan
karena diangap bahaya bagi oknum-oknum tertentu”
“Memang
benar wan katamu tadi, kita harus membuat manifesto kebudayaan lagi. Agar dunia
kesenian kita dinamis, produktif dan tentunya berkualitas”
“Mari
membubuhkan sederet tinta untuk kebenaran dan kebebasan. Agar pikiran, mulut,
tindakan dan nurani kita benar-benar merdeka. Sejarah dan kesusastraan bukanlah
suatu alat untuk menindas dengan segudang kebohongan yang tiran, tapi semuanya
adalah pembebas.!”
Keduanya menyeruput kembali kopi hitam dan bersulang
untuk sebuah kebebasan dan kebenaran.!
Revolusi
itu dimulai dari meja kopi, dengan berbekalkan kesadaran dan impian yang
terlalu indah untuk dijabarkan pada sang senja yang telah menyingsing.