Bualan Manikebu

Unknown 1 02.14





S
enja diwarung kopi begitu hangat, semua menikmati keindahan cahaya semburat yang masuk menyapa lewat bilik-bilik anyaman bambu. Ditambah dengan secangkir kopi dan kepulan asap tembakau  mengawinkan paduan keindahan serta aroma tiada tara. warung kopi adalah miniatur surgawi bagi para penikmat kopi disela-sela hiruk pikuk duniawi. Nampak dua sekawan yang asik bercengkrama dengan sangat hangatnya.

“Kebudayaan dan kesusastraan Indonesia dipertengahan tahun 1960-an diwarnai derai tawa dan air mata. Manifes kebudayaan muncul sebagai pendobrak hegemoni Lekra yang bersemboyankan (politik sebagai panglima).” Ungkap Gunawan sambil menyeruput kopi hangat pesananya.

“Iya wan, saya faham betul itu bapak saya dulu angota Lekra. Ya aku keturunan orang PKI. tapi jika waktu itu para sastrawan dan seniman yang ada dalam barisan manifes kebudayaan itu ada diposisi Lekra yang diatas angin, dengan kedekatan partai komunis dan rezim yang berkuasa mungkin juga akan sama ceritanya” celetuk Abduh sambil menyulut rokok kreteknya yang mati diterpa angin dan dinginya cuaca musim hujan.

Keduanya hanyut dalam keheningan nampak menikmati secangkir kopi dengan kontemplasi ringan, tandanya mereka mensyukuri nikmat Tuhan dengan berfikir dan berefleksi.

“terkadang aku juga bingung tentang apa yang diharap para sastrawan lewat karya-karyanya. Albert Camus dengan ke-absurdan karyanya membuat orang bingung, Lhu Shum yang melacurkan karyanya bagi komunisme cina Mao Zedong, Nawal El-Sadawi lewat novel-novel karyanya yang terlalu feminis memojokan kaum adam dan tidak obyektif, Pramoedya Ananta Toer roman nasionalismenya juga sarat akan kepentingan, meskipun juga ada para sastrawan Idealis seperti WS. Rendra, Wiji Thukul yang akhirnya hanyut dalam arus” tekas Abduh membuka kembali percakapan, sambil sesekali memandangi gedung-gedung perkotaan yang megah.

“Duh, kamu percaya bahwa kesenian itu membebaskan bukan.? Sastra adalah seni kebebasan dengan untaian kata-kata indah bagi penikmatnya, tanpa harus didikotomikan dan ditafsirkan secara kaku nan apologetik. Seorang pegiat seni bekerja untuk kesenian, ya seni untuk seni.! Bukan politik dan sederet kepentingan lainya” tutur Gunawan.
“Alah di zaman edan semua bisa dibeli dengan uang Gun, Idealisme tak terkecuali. Orang idealis juga butuh makan kok hahaha” cetus Abduh yang diiringi gelak tawa.

“Kayaknya kita harus membuat gerakan semacam manifes kebudayaan lagi Duh. Penikmat seni seperti kita hanya menjadi kroco-kroco permainan para sastrawan dan penguasa. Aku jadi geram melihat dunia kesenian Indonesia hari ini semua lebih condong pada kehidupan Hedonis dan percintaan masih menjadi bulan-bulanan topik yang laris manis dipasaran. Seakan-akan kita sengaja dibuat lupa tentang sejarah dan kondisi bangsa kita hari ini” timpal Gunawan dengan raut muka penuh keseriusan.

“Kamu gak usah ngurusi persoalan negara Gun. Urusi saja kuliahmu yang corat-marut itu hahaha..”

“Kalo semua orang paradigmanya seperti kamu, mau jadi apa negara ini kedepanya?” tutur Gunawan sok mengurui

“Haha aku Cuma bercanda kawan. Kemarin aku ikut bedah film “SENYAP” sebuah film dokumenter garapan orang barat yang menceritakan tentang fakta testimoni militer dalam pembantaian PKI. Saya penasaran bukan karena saya anak PKI dan bersimpati kepada PKI, tapi saya hanya ingin mengetahui duduk persoalanya secara mendasar.”

“Waduh seruh tuh kayaknya duh. Trus gimana menarik kah?”

“Nah itu persoalanya. Belum sampai kita mendiskusikanya eh ada segerombolan lelaki bertubuh kekar membubarkan forum kami. Ternyata orba belum mati hahaha”

“Tuh kan, kita masih sangat dibatasi, kita belum bebas. Bahkan untuk menikmati dan mengomentari sebuah film yang notabenya sebuah karya seni saja kita dibubarkan karena diangap bahaya bagi oknum-oknum tertentu”

“Memang benar wan katamu tadi, kita harus membuat manifesto kebudayaan lagi. Agar dunia kesenian kita dinamis, produktif dan tentunya berkualitas”

“Mari membubuhkan sederet tinta untuk kebenaran dan kebebasan. Agar pikiran, mulut, tindakan dan nurani kita benar-benar merdeka. Sejarah dan kesusastraan bukanlah suatu alat untuk menindas dengan segudang kebohongan yang tiran, tapi semuanya adalah pembebas.!”

Keduanya  menyeruput kembali kopi hitam dan bersulang untuk sebuah kebebasan dan kebenaran.!  

Revolusi itu dimulai dari meja kopi, dengan berbekalkan kesadaran dan impian yang terlalu indah untuk dijabarkan pada sang senja yang telah menyingsing.

Senja berkisah tentang Ayah

Unknown Reply 20.27


Sepeda bututku terus kukayuh mengiringi deburan ombak di bibir pantai Kuta, pantai yang semasa kecilku menjadi surga bagi anak-anak pesisir macam saya. Tapi kini surga itu telah berubah menjadi nestapa, pantai yang dulu sangat indah kini menjelma keruh karena limba dan sampah manusia.

Setiap sore datang, kuhabiskan waktu untuk memandangi luasnya lautan. Berbicara pada senja merupakan kegemaranku. Ya, sejak rumah dan keluarga tak lagi menjadi tempat terbaik untuk singgah ketika letihnya dunia mulai dirasakan oleh anak se-usiaku.

Aku selalu menitipkan rindu pada senja, rindu buat ayahku. Ayah yang tak kunjung datang setelah bulan lalu pergi untu menyusuri lautan mencari ikan. Sejak saat itu semua mata tetangga enatapku dengan air mata. Air mata penuh empati kepada seorang bocah kumal, miskin, tak ber-ayah.
Sepeda butut ini adalah kenangan terindah dari ayah. Anak udik pesisir macam saya, tidak pernah mendapatkan kejutan. Apalagi perayaan ulang tahun, tanggal lahirku saja aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya bagaimana besok adekku bisa terus sekolah, setelah ibukku akhir-akhir ini sering muntah darah.

***
Kini hanya senja yang mampu membuatku tenang dan kembali riang. Setiap kali aku melihat senja yang tersungkur di laut yang tak berujung. Yang kuingat hanya kenangan bersama Ayah. Betapa setiap senja menyingsing, Ayah selalu datang penuh riang mencium keningku dan menggendong adekku. Ayah yang setiap senja memberikan petuah bijaknya, bagaimana seharusnya menjadi lelaki sejati. Ayah yang setiap senja, selalu membawa cerita tentang indahnya lautan kita, juga tentang kekayaan  alam, ikan, dan eloknya terumbu karang. Ayah selalu mengajarkan pada kami bagaimana bersyukur dan bersahabat dengan semesta. 

Melalui senja, aku sering berbicara padanya bahwa tolong tunjukan arah jalan pulang pada Ayahku, Jika ia tersesat karena terlalu jauh menyusuri lautan. Setiap kali senja menyingsing. Aku juga selalu meminta senja untuk menjaga ayahku dari gelapnya malam. Lewat senjahlah rindu demi rindu seorang anak kepada ayahnya, terpancarkan menjingga begitu memikat setiap mata.

Aku masih ingat tentang salah satu cerita favorit ayahku, Tentang Thales. Seorang filosof yunani kuno yang meyakini bahwa ada satu unsur yang memberikan kehidupan bagi semesta, yaitu air. Aku selalu menghayal bahwa Thales adalah inspirasi ayahku yang terus melaut untuk memberi makan keluarganya. Ia, yakin bahwa lewat kekayaan laut kehidupan manusia bisa terpenuhi. Aku selalu tersenyum bila mengingat kisah itu.

Ingin rasanya aku mengadu bahwa aku lelah bekerja dan ingin bersekolah. Tapi ayah selalu mengajarkanku bahwa yang lebih penting dari kehidupan seorang lelaki adalah beramanfaat kepada manusia dan keluarga. bekerja merupakan kata nyata untuk mengisi kosongnya perut adekku. Ayah juga selalu berpesan bahwa seorang lelaki sejati adalah ia yang bisa mengembangkan senyum setiap orang yang ia cintai. 

***  
Uang hasil menjual minuman mineral di sepanjang pesisir pantai kurasa tidak cukup untuk membiayai kebutuhan keluargaku. Aku harus menjadi lelaki sejati laksana pesan ayahku. Aku juga harus percaya seperti kepercayaan Thales dan ayah tentang laut sebagai sumber penghidupan manusia dan semesta. Kuputuskan untuk melaut, dengan modal perahu tumpangan milik paman, kutelusuri lautan dengan gagah aku sangat bahagia laksana kebahagiaan ayah ketika bercerita tentang Thales, Ibnu Bathutah, Cheng Ho, dan Marco Polo. 

Aku pergi dengan senang dan riang, setiap deburan air, kurasakan ada Ayah disana. Hingga senja membawaku pergi selamanya menyusul ayah dengan bangga bahwa kejantanan seorang pria telah menaklukan kejamnya lautan serta ketakutan tentang kehidupan.






Jombang, 23-02-2016.




Kelamin Sastra

Unknown Reply 05.00


T
ubuhku dinikmati setiap hari oleh lelaki hidung belang yang ia ciptakan. Aku ditakdirkanya sebagai pemuas birahi dalam kerangka fiksi. Semua orang membacaku sebagai perempuan hina yang tidak kenal norma apalagi Agama.

Nira, namaku yang dia sematkan dalam karyanya. Aku berterimakasih karena dihadirkan dalam narasi-narasi indah karyanya. Takdirku ditentukan oleh imaginasinya, tapi hatiku memberontak karena garis cerita hidupku digambarkan sebagai seorang pelacur dalam seri novel best seller yang ia tulis. Aku sedikit bangga namaku dibaca semua orang, disisi lain kebanggaan itu tiada artinya bila dibanding rasa malu karena diriku diceritakan sebagai wanita murahan yang terhinakan. Apalah daya, aku hanya goresan-goresan tinta hitam dalam lembaran-lembaran kertas, berdialog dengan sang tuan adalah impianku yang melangit. Ingin rasanya kubuncahkan beban-beban moral dalam diri, sekali lagi kesadaranku menyapa bahwa aku hanya seorang tokoh fiksi yang nasibnya ditentukan tuanku sang penulis cerita. Dan jalan hidupku telah digariskanya sebagai pemuas nafsu para lelaki.

***
“Nira, apa kamu bisa menemaniku untuk malam ini,” ucap lelaki yang ia hadirkan menggagahiku kali ini.
“Asal tarif  sesuai, kenapa tidak!” Ucapku ditulisnya.
Ingin rasanya kutahan suaraku namun itu hanya khayalan utopia. Ibarat mayat yang ingin hidup kembali dan menyeting jalan hidupnya sesuai kehendak sendiri tanpa campur tangan sang Tuhan, Mustahil.!
“Nir, Tubuhmu sangat indah dan mengairahkan,” rayu seorang lelaki dalam cerita. Ingin rasanya kutampar lelaki itu dan kuludahi tuanku yang tiada henti melecehkanku dalam ceritanya.

***

Apa karya sastra tidak cukup lagi menjual estetika dibalik diksi-diksi indah. Hingga tuanku ciptakan keindahan lain dengan eksotika birahi dalam cerita, tanpa pernah memikirkan imbas pada setiap pembaca. Karena dibenaknya hanya ada rupiah dan sanjungan para kritikus sastra liberal, keberanianya menyajikan adegan ranjang secara fulgar, menerobos norma realita dengan mengatasnamakan ‘kebebasan nilai’ pada sastra. keberanian ini menjadi nilai jual yang tidak dimiliki kebanyakan penulis sastra indonesia. Aku geram dan muak terus dihadirkan sebagai figur pemuas nafsu dan perusak generasi muda.

Penulis ceritaku mendapatkan royalti dari setiap penjualan bukunya yang laris manis menembus pasar dunia. Seakan kepuasan atas kesuksesanya merupakan harga mati yang tak tertawarkan lagi. Karyanya dibedah dan diterjemahkan di beberapa negara. Tapi kemana perginya pembela agama? Biasanya mereka hadir membrangus kemungkaran dengan api jihad. Apa mereka tidak pernah memperhatikan kisah-kisahku dalam setiap karya tuanku yang laris dipasaran?. Atau mereka tidak pernah membaca selain kitab suci agamanya?. Bukankah kedzoliman dikutuk oleh setiap Agama?. Lantas mengapa mereka diam.! Bredel buku ini, bakar, larang ia terbit.!! Berontaku dalam diri.


“Nira tewas ditangan pejabat negara setelah memuaskan hasrat.” Dan pada akhrinya aku bernafas lega, setelah tuanku mengoreskan kematianku secara sadis serta tidak terhormat. Namaku tidak akan disebut lagi, dilecehkan  oleh tuanku. Ya, aku telah dihapuskan dari khayalan imaginasinya yang porno. Harapanku menerawang terbang menemui Tuhan pencipta alam. Aku ingin terlahir di dunia nyata berdialog dengan sang tuan, atau bahkan menjadi majikan dalam realita. Aku sang penulis dan ia tokoh imaginasiku, agar ia mengerti bagaimana rasanya menjadi boneka. Akhirnya memusnahkan tuan seperti cara dia memusnahkanku secara sadis dalam cerita fiksinya adalah harapanku kini kepada Tuhan, Semoga Tuhan berbelas kasih padaku. Aku yakin Tuhan tidak seperti tuanku.















Memoar

Unknown Reply 04.32



“K

ala nanti malam, Kau bertemu Tuhan.
Tolong tanyakan padanya. Apakah Adam diciptakan untuk memeperkosa Hawa?”
Brak..!!
Buku itu dilemparnya jauh-jauh, sejauh ia berlari dari kenangan-kenangan yang memburu.
Pikiranya kacau, psikologisnya terguncang saat membaca bait demi bait kumpulan puisi Rieke Diah Pitaloka. Renungan Kloset, buku itu ia dapat dari tukang buku loakan langgananya tiga tahun silam, sebelum ia keluar sebagai seorang sarjana terbaik Universitas Indonesia. kali ini ia sial, maksud hati membaca untuk mengenang keberhasilan. Buku itu malah kembali membuka memoar kelam dalam hidupnya yang lama ingin ia buang ke laut lepas.

***
1998
Kala itu Dini hanyalah satu diantara mahasiswi yang melawan kerasnya pergaulan hidup kota Jakarta. Gadis polos dari desa, menuntut ilmu di Universitas tersohor di ibu kota. Perjumpaanya dengan Fian seorang senior di Fakultas Sastra telah mewarnai hari-hari Dini. Sejak itu ia semakin rajin berangkat kuliah, tentu dengan harapan dapat berjumpa Fian disela-sela kesibukan kuliah. Semakin hari rasa itu tumbuh subur diantara Dini dan Fian, mereka saling jatuh cinta bak tokoh Romeo Juliete Shakespear. Hari-hari sering mereka habiskan dengan canda tawa dan saling mengagumi satu sama lain. Ditengah hiruk pikuk kesibukan perkuliahan, dua insan yang jatuh cinta mampu mencuri waktu meski hanya bersua untuk saling sapa.

Sampai malam itu tiba, Dini dengan kepolosanya telah dengan mudah mempercayai Fian kekasih baru yang ia kenal tempo hari. Fian pria kelahiran Jakarta yang sudah terbiasa hidup ditengah kebebasan pergaulan ibu kota dengan mudah menjerat Dini dalam perangkap asmara dan birahi yang membabi buta. Satu tahun penuh mereka jalani dengan letupan-letupan asmara yang bergejolak menghiasi keseharian dua insan yang dimabuk cinta.
“Din, tahun ini abang wisuda,”
“iya, bang selamat ya. Tapi abang sabarkan menunggu sampai Dini sarjana,” ucap Dini bahagia dan melepas peluk hangat kepada kasihnya.
“iya sayang, abang tunggu Dini sampai selesai lalu kita menikah dan hidup bersama,” jawab Fian dengan lembut sembari mencium kening kekasihnya yang polos.
Setelah Fian menyandang gelar sarjana, ia bekerja pada perusahaan milik ayahnya. Pada bulan pertama selepas mereka terpisah, Fian masih intens memberi kabar pada Dini melalui surat, sesekali menelvon. Namun semuanya berubah ketika menginjak bulan kelima. Fian seakan hilang tertelan bumi, tak pernah sekalipun memberi kabar lewat surat maupun telefon. Sontak Dini terpuruk dan sedih merasa tertipu setelah semua yang ia miliki telah diberikan kepada kekasihnya, tak terkecuali kehormatanya sebagai wanita.

Masa-masa itu adalah masa terberat yang Dini lewati. Ia sangat terpuruk, hanya bisa meringkuk di losmen tempat tinggalnya. Dini merasa masa depanya hancur dan gairah belajarnya telah hilang sama sekali. Sempat terbesit dalam pikiranya untuk kedokter dan meminta agar dikebiri hingga naluri birahinya hilang kepada kaum Adam. Psikologisnya terguncang hebat, ia tidak mempercayai pria siapapun itu bahkan dosen dan ayah kandungnya sekalipu. Sampai akhrinya Fifi hadir bak malaikat yang diutus tuhan untuk Dini. Disaat kejatuhan Dini ia berjuang keras, dengan senang hati mendengarkan curahan hati dan sedikit demi sedikit membangun kembali semangat dan mengembalikan kembali  keceriaan Dini yang lama hilang.
***
2000
“ Renungan Kloset.
Ada baiknya,
Tak mencatat hidup dalam lembar-lembar buku harian
Suatu masa,
Jika membacanya lagi
Manis, membuat kita ingin kembali
Pahit, membuat duka tak bisa lupa
Ada baiknya,
Merenung hidup dalam kloset yang sepi
Tak perlu malu mengenang, tersenyum atau menangis
Setelah itu,
Siram semua, bersiap menerima makanan baru yang lebih baik dari kemarin.”

Tepuk tangan menggemuruh dari bilik tribun. Ribuan orang bertepuk tangan terkesima atas pidato yang diahiri puisi indah karya Rieke Diah Pitaloka, disampaikan seorang sarjanawati muda. Dini-lah orang tersebut, sebagai wisudawati terbaik dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Namanya dibicarakan baik oleh koleganya maupun media masa. Selepas pidato Dini langsung turun dari podium lalu menghambur kearah teman-teman angkatanya duduk berbaris di tribun pojok ruang wisuda.

“Din, selamat ya,” ucap Fifi sahabat dekat sekaligus teman seangkatan di Jurusan Sastra Indonesia.
 “Iya Fi, thanks a lot,” Dini melemparkan senyum haru dengan mata berkaca-kaca kepada sahabatnya.
“Pidatomu luar biasa, apalagi puisi yang kau bacakan it’s so amazing,”
“Ah, kau Fi. Ini semua karena jasa besarmu sahabat,” canda Dini diukuti gelak tawa kebahagiaan bersamaan.
***
Kini, Dini adalah seorang wanita karir yang bekerja pada penerbitan besar di Indonesia. kelulusanya sebagai wisudawan terbaik dari Universitas Indonesia, dengan IPK yang tinggi menjadikan beberapa perusahaan besar di Jakarta meliriknya. Sayang kecerdasan dan naluri kebebasanya hanya sebatas angan, karena ia harus rela menjadi pegawai di industri penerbitan. Meski dengan posisi strategis dan gaji tinggi tetap saja statusnya adalah buruh industri.

Orang memandangnya sebagai wanita karir yang cerdas dan kaya raya. Siapa sangka dibalik kesuksesan yang ia raih, tersimpan luka dalam yang setiap saat hadir menghantui setiap gerak pikir dan aktivitasnya. Sampai pada usia 35 tahun, Dini belum juga menikah. Hidupnya dihabiskan untuk bekerja dan berkarya. Dua hal itu telah menjadi nafas kehidupan sekaligus teman sejati dalam menuangakan pikiran dan curahan hati, setelah sahabatnya Fifi pergi mendahului menghadap sang ilahi.


Novel-novel karya Dini laris di pasaran, selain kekuatan bahasa yang indah Dini seolah menghadirkan tokoh-tokoh nyata dibenak pembaca setia bukunya. Entah sampai kapan kepercayaanya terhadap kaum adam akan kembali dan bersedia membuka hati yang lama mati. Ia tidak pernah memikirkan hal itu, seperti kloset ia telah menyiram kotoran dalam kehidupanya namun tidak dengan sisa kotoran yang menempel bak kebencian yang mengumpal menjadi batu. Sekali lagi Dini hanyalah penulis dengan paras cantik dikelilingi harta dan sederet kesuksesan lainya. Ia bukan Nelson Mandela yang berhati baja, ia hanya seorang gadis biasa yang pernah hancur karena pria.

Search

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut